Share

6

Jogja selalu istimewa. Luar biasa. Menyenangkan dan menenangkan. Hanif dan Kian pulang ke kota kelahirannya. Bercengkrama hangat dalam sebuah rumah. Menceritakan ramainya kota dan kerinduan akan kampung halaman tercinta. Pelukan dari si mbah, eyang dan bude-bude sekalian membuat suasana menjadi terasa dekat nan rapat.

Sejenak Hanif melupakan kesakitan terdahulu di rumah itu. Hanif sekarang ingin bahagia, seiring dengan berjalannya waktu luka itu akan mengering, dan pelan-pelan Hanif akan membuka hati untuk memaafkan Ayah.

"Ini seblak kering, Bude." Adia menyodorkan oleh-oleh.

"Wah, Adia ini rajin, ya?" Bude tersenyum sembari menerima pemberian Adia. "Bude masak sekarang ah."

"Bude, aku mau."

"Aku juga dong sekalian," teriak yang lainnya.

"Sini ikut sama bude, jangan manja!" Bude Asih mengibaskan rambut, membuat keponakan-keponakannya mendesah dan mau tidak mau mengekor dari belakang.

"Kian kemana, Nif?" Adia celingukan.

"Nduk, sini dulu coba," panggil Bude Wulan tak jauh dari tempat duduk Adia dan Hanif.

"Kenapa, Bude?" Adia bertanya hati-hati.

Bude Wulan mengelus pundak Adia. Menatap mata perempuan itu dengan lembut. Adia beberapa kali mengubah ekspresi wajahnya, pasalnya, Bude Wulan hanya menatap tanpa berbicara sepatah katapun.

"Kamu manggil suamimu cuma menggunakan nama?" Alis bude Wulan yang berwarna hitam pekat itu terangkat.

Meski sedikit ragu, Adia tetap mengangguk. Membenarkan pertanyaan bude suaminya.

Bude Wulan tampak shock. Mengelus dada. Meminum segelas air putih. Memandang Adia. Mengalihkan pandangan. Dan begitu seterusnya.

"Nduk, jangan begitu."

Adia mengernyit. Namun, tidak bertanya lebih lanjut.

"Kita ini Jawa tulen. Wong Jowo itu ciri khasnya lembut, penurut, sopan. Itu kamu manggil suamimu Hanif doang, ndak sopan iku!" Kembali bude Wulan mengelus dada, masih merasa kaget.

"Ma, gak usah lebay, deh!" Ratna, putrinya yang sedari tadi fokus main ponsel akhirnya angkat bicara.

"Mas Hanif, iki kopimu. Aku siap dikeloni, Mas." Bude Wulan tidak menggubris putrinya. Ia malah mencoba mengajari Adia.

"Mungkin manggilnya nggak Mas, Ma. Sayang, Cinta, Beib kali," tambah Ratna lagi seraya menyusul saudaranya yang lain ke dapur.

"Adia manggil aku Sayang, Bude ...."

"Beneran?" Bude Wulan sedikit tidak yakin, meski beberapa kali Hanif dan Adia mengangguk.

"Wulan ... Wulan!" Si mbah berdecak mendengar perkataan bude Wulan ke menantunya.

"Hanif, bawa Adia istirahat ke atas, ya." Eyang tersenyum pada menantunya yang terlihat tidak nyaman dengan perkataan bude Wulan.

"Nif, kamu masih bisa bahasa Jawa, kan?"

"Hanif, ajarin Adia bahasa Jawa. Kita harus melestarikan budaya loh!"

Hanif menoleh dari anak tangga, senyum dengan terpaksa pada bude yang baru terlihat puas sekarang.

****

Selepas makan malam, Adia membantu membersihkan meja makan. Sementara suaminya ngobrol dengan si mbah di teras depan.

"Bagaimana keadaan ibumu, Nif?" tanya mbah, melirik cucunya yang mengangguk.

"Kondisi ibu stabil, Mbah. Alhamdulillah." Kian yang baru tiba langsung ikut nimbrung seraya membawa kopi.

"Kamu darimana aja, Ki? Mbak Adia nyariin loh, dia cemas takut kamu kemana-mana." Hanif berdesis jengkel. Sedangkan sang Adik nyengir tanpa dosa.

"Ini kota kelahiranku, Mas. Aku kangen sekali. Tadi ketemu sama teman-teman lama, hehehe."

Si mbah menyunggingkan senyum melihat kedua cucu lelakinya.

"Mbah, nanti ngobrol lagi, ya. Kian belum mandi, bau asem," ucap Kian lagi, diseruput kopinya sekali lagi sebelum pergi.

"Bapakmu, kamu masih sering ketemu dia, Nif?" tanya si mbah kembali.

"Nggak sesering dulu, Mbah." Hanif menyeruput kopi hitam yang ditinggalkan adiknya. Terasa pahit di tenggorokan, tapi Hanif akan menenggaknya lagi nanti.

"Apa dia sama keluarga barunya baik-baik saja?"

Hanif mengangkat bahu. Karena merasa tidak tahu pasti bagaimana keadaan sang ayah.

"Eh, beberapa minggu setelah Hanif menikah, mbak Diah datang ke rumah, minjam uang sama Adia. Waktu itu aku lagi di kantor, Mbah. Nggak sempat ketemu mbak Diah."

Menatap lurus ke depan, beberapa pertanyaan berkecamuk di pikirannya. Namun, si mbah tidak mau merusak momen kebersamaan ini. Ia kembali menepuk bahu cucunya yang kekar.

"Mbah kangen ibumu, Nif. Pas nikahan kamu ke Jakarta, tapi tidak sempat bertemu ibumu karena eyangmu sakit. Entah kapan lagi mbah bisa ketemu menantu yang satu itu." Si mbah menggeleng-gelengkan kepala.

"Doakan Hanif ada rezeki lebih, Mbah. Nanti ke Jakarta sama-sama." Hanif membisik optimis. Dibalas anggukan oleh si mbah.

Hanif dan si mbah melirik bersamaan pada eyang yang datang sembari membawa sepiring singkong goreng. Menikmati singkong goreng ditemani suara binatang malam, sesekali diseruput kopi pahit, sesekali menatap rembulan pucat yang menggantung di angkasa.

"Ibumu ... tidak bisakah dibawa pulang saja, Nak?" Eyang menggeser cangkir teh.

Hanif memasukkan singkong goreng sekali lagi ke mulutnya sebelum menjawab.

"Mungkin ibumu juga ingin menghirup udara luar rumah sakit, dia pasti bosan sekali di sana," ucap si mbah tanpa mengalihkan pandangan dari rembulan pucat itu.

"Kamu juga sekarang sudah berumah tangga, Nif. Kebutuhan kamu lebih banyak pasti. Kalau terus-terusan ibumu tinggal di sana, berapa perbulannya yang harus kamu keluarkan? Belum lagi Kian, kamu juga harus membayar uang kuliah adikmu." Eyang mengusap tangan yang sudah keriput, mengikuti suaminya menatap bulan.

"Kontrakan ibu masih jalan kok, Mbah. Meski tidak serame dulu." Hanif mendesah. Disandarkan kepala di kursi kayu itu, mulai memikirkan bagaimana jika ibu dibawa pulang?

"Lagipula, kalau ibumu pulang, siapa nanti yang akan menemani dia di rumah?"

"Sebenarnya mas Hanif dan mbak Adia tidak terlalu sibuk, tapi kami masih harus mempertimbangkan itu lagi, Eyang." Kian kembali dengan wajah sumringah.

Eyang membereskan gelas dan piring ke nampan. Sebelum berlalu, ditatap kedua cucunya. Mereka seperti kembar. Ganteng dan berwibawa.

"Ah, kalian ke sini mau berlibur. Seharusnya kami tidak membahas hal ini. Maafkan Eyang dan si mbah, ya, Nak."

Kian mengambil nampan dari tangan Eyang, tanpa permisi disimpannya ke dapur. Eyang menggelengkan kepala melihat perlakuan cucunya itu.

"Eyang gak boleh capek. Sekarang sudah malam, Eyang sudah harus istirahat!" seru Kian, seperti sedang mengobrol dengan seorang anak. "Baiklah, akan Kian antar sampai ke kamar, ya." Kian memegang pundak Eyang, lantas melewati lorong bersamaan untuk masuk ke kamar.

"Kamu tidak mau mendengar dongeng Eyang, Nak?"

Kian tampak menyesal, "Maafkan Kian, Eyang. Tapi Eyang harus sudah tidur jam segini, begitu kata dokter, kan?"

Eyang berdecak jengkel.

"Jangan membantah, Eyang. Harus nurut. Eyang harus sehat dan panjang umur, sampai Kian menikah, sampai Kian punya anak, sampai Kian tua." Kian melambaikan tangan dan menutup pintu. Saat kembali ke teras, si mbah dan kakaknya sudah tidak ada di sana.

Di mana mereka berdua?

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status