Share

4.

"Assalamualaikum," sapa Hanif. Namun, tidak ada jawaban.

"Di ... Adia!" Hanif menaruh sepatu pada rak, berjalan ke ruang tengah yang kosong. Lelaki itu mendesah, kemudian memanggil istrinya lagi.

"Sayang, aku pulang." Matanya menyapu ke seluruh ruangan yang lengang, akhirnya Hanif memutuskan pergi ke dapur. Melihat apa yang tersaji di meja makan.

Tiba-tiba sebuah tangan melingkar di perutnya, dengan aroma shampo yang menguar. Hanif mendesis, sedikit jengkel dengan Adia.

"Kaget gak?" tanya Adia, masih membenamkan kepalanya di punggung Hanif.

Hanif mengelus lengan Adia yang melingkar, lantas menggeleng.

"Panik gak istrinya gak ada? Panik gak?" tanya Adia, kepalanya tiba-tiba muncul di depan Hanif. Kali kedua lelaki itu mengelus dada, kaget.

"Panik lah, masa nggak!" jawab Hanif sekenanya.

Adia melihat Hanif yang makan dengan lahap. Sesekali bibirnya tersungging, senang masakannya diterima di lidah lelaki itu.

"Kamu wangi banget, Di." Hanif menenggak segelas air. Adia cengir, cengengesan.

"Kamu juga wangi," balas Adia.

"Masa sih?" Hanif mengernyit, Adia mengangguk. "Coba sini peluk dulu kalo wangi." Lelaki itu melambaikan tangan, Adia langsung mendekat, bersembunyi di dekapan Hanif. Mencium aroma keringat yang menurutnya seksi.

****

Adia sudah siap mengenakan dres berbahan rayon dengan motif bunga-bunga, dia terlihat ceria sekali hari ini. Pasalnya, Adia akan menemani Hanif dan ayahnya memancing. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Adia mengikuti Hanif menaiki motor menuju rumah ayah.

"Motor disimpan disini aja, Neng." Ibu menyarankan, Adia dan Hanif menyetujui. Kemudian mereka sudah berada satu mobil dengan ayah dan ibu.

"Teteh jualan seblak, ya?" Anisa, biasa dipanggil Ica, adik Adia yang baru masuk SMA tiba-tiba bertanya.

"Iya, Ca. Kenapa, mau bilang suami teteh gak bisa nafkahin?" Adia sedikit sewot menanggapi adiknya, Ibu menengahi dengan memandang Adia dan Anisa bergantian.

"Teteh emang suka jualan aja sih," lanjutnya seraya meremas botol air mineral.

"Betul itu, kamu bagus di bidang marketing, Neng." Ayah menimpali tanpa melirik ke putri-putrinya.

"Dari kecil juga teteh mah gak pernah malu jualan ke sekolah, bahkan sampai kuliah juga." Ibu tersenyum, mengelus pundak Adia, anak gadisnya seketika tersenyum.

"Teteh mah dari jaman SMP udah bisa menghasilkan uang sendiri, Ca. Maaf ya sombong!"

Anisa berdesis, sebal. Lalu ia membuka ponsel, memperlihatkan saldo e-money-nya pada Adia. Sepersekian detik Adia tercengang.

"Aku juga kan, Bu?"

"Darimana kamu punya uang sebanyak itu?" tanya Adia sengit.

"Ica suka main game gitu, Neng. Ibu juga kurang ngerti, tapi dia sampai kebeli PC yang mahal itu loh," ujar ibu.

"Oh, jadi gamers nih." Hanif yang sedang nyetir menyela. Adia dan ibu berpandangan.

"Iya, A. Main game juga?" Anis terlihat lebih tertarik dengan kakak iparnya, sehingga ia mengabaikan ibu dan Adia.

"Kadang, cuma gak terlalu diseriusin sih," balas Hanif disertai senyum.

Anisa mendesah, sedikit kecewa.

"Kamu udah pro nih main game-nya ya? Sampai kebeli PC gitu?" Hanif berdecak kagum. Anisa menggaruk kepala, agak malu.

"Ah, biasa aja."

"Efek sampingnya suka begadang, jadi jarang keluar rumah. Gak baik ah anak gadis begitu." Ibu menggelengkan kepala.

Ayah terkekeh, melepaskan tab dan melirik Anisa yang sedikit mengerucutkan bibir.

"Boleh kok main game, tapi jangan sampai mengganggu sekolah, De. Kamu baru masuk SMA loh, perjuangan kamu masih jauh. Jangan terlalu fokus pada game."

Anisa mengangkat tangannya hormat, "Siap, Bos!"

Adia dan ibu memeluk gadis belia itu. Mencium puncak kepalanya dengan sayang.

Mobil terhenti di depan sebuah danau, mereka serempak keluar dari mobil. Adia dan Hanif memasang tenda, sementara ibu dan Anisa mempersiapkan pemanggangan dan alat makan. Setelah itu, ayah dan Hanif bergegas menuju tepi danau.

"Ca, jangan main hape mulu, bantuin teteh!" Adia berseru, dia sedang memanggang sosis dan frozen food lainnya.

Sedikit malas, tapi akhirnya mendekati kakaknya juga. Anisa mencium bau makanan yang menguar, ia tersenyum dan segera mengambil sosis dari piring.

"Ica ...." Ibu berdecak, anak gadisnya mengangkat bahu.

"Sayang, kamu mau frozen food?"

"Boleh," jawab Hanif dari kejauhan.

Adia tersenyum, menata makanan serta memberi sedikit mayones dan saus.

"Sini biar aku yang antar." Anisa menawarkan diri. Adia sempat mengerutkan dahi, tapi dibalas desisan kesal adiknya. "Aku gak bisa masak memasak, Teh." Akhirnya Adia membiarkan Anisa mengantarkan makanan pada ayah dan Hanif.

Melihat Anisa yang tertawa bebas bersama ayah dan Hanif, membuat ibu dan Adia melorotkan pundak.

"A Hanif minta kopi, Teh." Anisa membuka hodie, tersisa kaus oversize yang menyembunyikan tubuhnya dan sebuh celana pendek.

"Kamu ngomongin apa sama dia?" tanya Adia saat sedang mengaduk kopi.

"Banyak, teteh gak bakalan ngerti," ucap Anisa, menerima kopi panas dari Adia.

"Game?" Adia mengangkat alis, Anisa mengangguk.

"Dan banyak lagi!" Anisa terkekeh dan berlalu.

"Makasih, Ica." Ayah menepuk bahu putri bungsunya.

"Udah dapet, Yah?" Anisa berseru girang saat melihat beberapa ikan berukuran sedang di baskom kecil.

Ayah mengangguk, menyeruput kopinya sebentar, dan kembali memasang umpan.

Anisa berpindah duduk di sisi Hanif, melihat kakak iparnya yang tampak serius menunggu ikan memakan umpan.

"Sejak kapan kamu suka game, Ca?"

Anisa memeluk lututnya, "Dari SMP, hehehe."

Hanif mengangguk, mulutnya sedang mengunyah sosis bakar yang tadi Anisa berikan.

"Nif, aku makan duluan, ya. Lama banget sih!" gerutu Adia. Hanif menoleh, tersenyum dan menyetujui istrinya.

"Ih, makanya buruan. Aku mau bareng makannya!" Adia terlihat jengkel.

"Ayah ngasih ini ke Adia, ya." Ayah membawa ikan-ikan dalam baskom kecil itu.

"Biar Hanif aja."

Ayah mengangkat tangan sembari melangkah. Anisa dan Hanif memandang punggung ayah yang menjauh.

"A, kok mau sih sama teteh Ica?"

Hanif menyeringai, mengangkat pancingan yang terakhir. Setelah mendapatkan ikan dengan ukuran cukup besar, Hanif dan Anisa kembali pada Ibu dan Adia.

"Teh Adia itu cerewet, suka marah-marah gak jelas, kadang juga gak ngomong-ngomong kalau mood-nya lagi gak bagus." Anisa melihat kakaknya dari kejauhan. Adia terlihat kerepotan menata makanan.

"Saya mau sama orang karena tahu orang itu cocok untuk saya, Ca," balas Hanif, seketika langkah Anisa terhenti.

"Gimana? Otak Ica gak sampai, maaf hehehe."

"Coba bayangin gini, kamu pengin punya cowok yang kaya, ganteng, pokoknya perfect lah. Namun, setelah kamu mendapatkan yang seperti itu, ternyata dia tidak membuat kamu nyaman. Percuma dong kamu punya kriteria tinggi-tinggi, tapi akhirnya kayak gitu."

Anisa mengangguk, mulai mengerti pembicaraan Hanif.

"Jadi?" Anisa mengernyit.

"Kesimpulannya, kriteria tinggi tidak ada apa-apanya ketika sudah ditimpa nyaman dan sayang. Tak peduli orang berkata apa, yang penting kamu senang ya udah." Hanif mengangkat bahu, Anisa kembali menyetujui ungkapan kakaknya.

"Teh Adia cocok kah untuk A Hanif?" Anisa bertanya lagi.

"Ya, kami bisa pacaran selama 3 tahun, kemudian sampai di titik ini, karena sama-sama tahu kalau kami cocok, sefrekuensi. Kalau nggak gitu, ya nggak mungkin sampai menikah dong. Mungkin di awal-awal juga udah putus."

Hanif dan Anisa kembali melanjutkan berjalan. Dan, mereka menikmati makanan ditemani semilir angin segar .

"Udah sore nih, pulang yuk!" ajak Anisa.

Ibu dan Adia membenahi makanan dan peralatan lainnya. Setelah selesai segera menaiki mobil untuk pulang.

Perjalanan sore selalu menyenangkan. Di mana langit memberikan semburat jingga. Embusan angin memberantakan rambut. Sebuah lagu indie mengalun dari radio.

Anisa memotret jalanan, mengabadikan setiap sudut dengan ponselnya. Dia tersenyum setelah melihat hasil jepretannya tersebut.

Tiba-tiba Adia menggumam dari samping, "Fotoin teteh dong!" Meski enggan, Anisa memotret kakaknya yang terlanjur narsis.

"Nih, udah!" Anisa memperlihatkan.

"Sekali lagi. Foto ala-ala candid gitu, mumpung suami teteh lagi tidur."

Anisa membulatkan matanya. Namun, tetap menyanggupi permintaan Adia. Adia bersorak girang, meminta adiknya mengirim foto tersebut ke W******p.

"Pasti dibikin story langsung," cibir Anisa. Adia memelotot, tapi disertai seringai.

"Tahu aja kamu, De."

Adia segera mengunggahnya di story W******p dengan caption: 'Lelah banget ya sayang, ututu kasihan.' Setelah diunggah, Adia memandang Hanif sekali lagi. Lelaki itu tampak tidak terganggu, cukup lelap meski Anisa dan Adia kerap beradu argumen di sisinya.

Adia menyandarkan Hanif ke pundaknya. Lantas lelaki itu terdengar mendengkur halus. Adia mengusap lengannya untuk tertidur kembali.

"Romantis banget kalian!" Anisa menyindir.

"Apasih, De." Adia mendelik.

"Itu baru awal-awal aja, lihat nanti deh pas udah 5 tahun. Pasti ogah nih upload foto pake caption alay kayak gini."

"Anisa ...." Ibu menoleh ke belakang, putri bungsunya cengengesan.

"IRI BILANG BOS!" balas Adia sengit.

"Benar kan, Bu?" Anisa memajukan dagunya lagi.

Ibu menghela napas, melirik suaminya yang sedang mengemudi dengan tenang, sesekali mulutnya bersenandung.

"Tidak ada yang berubah kok, masih sama, dengan perasaan yang sama. Eh, jauh berbeda, makin sayang biasanya." Ibu terkekeh. Ayah juga ikut tersenyum.

"Setelah 5 tahun ogah upload foto dengan caption kayak begitu karena terlalu sibuk di dunia nyata, Ca. Ke media sosial hanya sesekali. Selebihnya, lebih asyik bercengkrama di dunia nyata. Setelah 5 tahun, nggak ada jaim-jaiman. Semuanya berjalan apa adanya. Ngobrolin apa aja, dari politik, konspirasi elite global, sampe hal receh, tidak luput dari pembahasan. Dan itu menyenangkan sekali."

Adia dan Anisa terperangah dengan ungkapan ayah.

Ayah melanjutkan, "Makanya, menikah itu harus dengan segala kematangan. Karena bukan hanya setahun-dua tahun, tapi untuk selama-lamanya kalau bisa. Kita mencari teman hidup, dan jangan sampai salah pilih. Mantapkan dulu segalanya, baru menikah."

"Ayah pernah bosan gak ke ibu?" tanya Adia hati-hati.

"Pun dengan ibu, pernah gak ibu ngerasa bosen, monoton gitu-gitu aja selama ini sama ayah?" Anisa ikut bertanya.

Kedua orang tua mereka tersenyum bersamaan. Ibu menjawab terlebih dahulu.

"Bosan itu pasti, kita manusia, mustahil tidak merasa bosan. Tapi ... setiap ibu merasa bosan, ibu selalu mengingat masa-masa menyenangkan saat bersama ayah. Ayah itu baik, penyayang banget, menghargai ibu, tidak ada alasan untuk ibu meninggalkan ayah."

Anisa mengangguk paham.

"Cara mudah menghadapi kebosanan adalah dengan bersyukur, Neng."

Adia mengerutkan kening, "Gimana, Yah?"

"Setiap bosan, coba ingat betapa bersyukurnya kamu punya dia. Betapa pasanganmu anugerah terindah yang Tuhan berikan untukmu. Dia baik, menghargaimu, selalu mengusahakan yang terbaik untukmu, menjadi orang paling khawatir padamu, selalu mendoakan panjang umur disertai kebaikan. Dan yang paling penting, dia mencintaimu. Itu luar biasa 'kan?"

Lagi-lagi ucapan ayah membuat Adia dan Anisa terdiam, mencoba menyerap kata-kata yang barusan dilontarkan.

"Sudah adzan, sholat magrib di masjid terdekat aja, Yah."

Setelah menyelesaikan ibadah, mereka menikmati bakso di depan masjid itu. Lantas melanjutkan perjalanan. Kali ini Hanif yang nyetir. Adia, Anisa dan ibu tertidur di jok belakang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status