"Maksud Bunda apa?”Aku tertawa dalam hati melihat ekspresi Ayah yang sok bingung. Keningnya berkerut, matanya menyipit seolah sedang mengerjakan soal ujian yang terlalu rumit untuk otaknya yang licik. Dunia ini aneh, kenapa harus ada lelaki seperti dia? Plaing menyedihkan lagi adalah karena dia ayahku.“Kalung itu jatuh dari saku celana Ayah. May yang nemu dan malah kebawa ke rumah Tiara. Nanda pasti tahu soal ini juga.” Bunda menjawab pelan, tenang, tapi nada suaranya menampar lebih keras dari amarah.Kekacauan itu begitu indah dilihat dari tempatku duduk. Tante Nanda mulai gelisah, kakinya bergeser resah, tangannya tak sadar meremas bagian bawah celananya yang tadinya rapi. Wajahnya memucat, seperti kehilangan semua darah dan keberanian sekaligus. Ayah? Dia sibuk mengatur napas dan mencari-cari alasan di udara yang makin sesak. Matanya melirik ke segala arah, berharap ada lubang untuk menyelinap keluar dari situasi memalukan ini.Sementara itu, Bunda tetap menyeruput teh yang sudah
Karena menerima telepon dari suaminya, Tante Hanen terpaksa pulang kampung tadi malam. Katanya, masih ada urusan distribusi pupuk untuk para petani. Ada pesanan seratus kotak.Rumah ini terasa lebih sepi dari biasanya. Hari-hari lewat begitu saja, datar, dan membosankan, seakan semua sedang menahan napas menunggu sesuatu meledak.Akhir pekan datang, dua adikku mulai merengek ingin ke rumah Nek Nian. Mereka kangen main sama sepupu. Bunda mengantar mereka tanpa banyak tanya, lalu kembali dengan wajah yang sama—tenang, nyaris tanpa ekspresi. Dia langsung ke kamarnya, lanjut menulis novel yang sudah ditagih pembaca.Sementara aku? Masih terpaku di meja belajar, menatap lembaran kosong. Tahun depan harus kuliah, entah di mana. Satu hal yang pasti, aku harus lebih serius belajar bahasa Inggris. Dunia makin gila dan aku tak mau jadi sarjana pengangguran yang hanya bisa menatap langit.“May." Suara Bunda terdengar dari balik pintu. “Tadi Bunda telepon Nanda. Suruh dia datang ke sini.”Aku men
Menjelang sore, Tante Hanen akhirnya datang juga. Aku langsung menariknya ke ruang tengah. Ada yang ingin kutahu. Bukan cuma soal kunjungannya ke rumah sepupunya, tapi juga kenapa dia terlihat begitu gelisah. Ini memang urusan pribadi, tapi sekarang keluarga sedang retak. Aku harus tahu bagian mana yang perlu dijahit dan mana yang sebaiknya dibiarkan robek.“Bundamu ke mana, May?”“Nen, kamu udah nyampe?” Bunda muncul dengan senyum datar, duduk santai seolah semuanya baik-baik saja, padahal dua adikku tadi tertidur karena habis menangis.“Mbak, aku barusan dari rumah Mbak Tiara. Eh, di sana malah ketemu Mbak Nanda juga.”“Oh, iya." Bunda mengangguk pelan. “Pasti lagi bahas kalung yang ada tuliaan 'Nannan' itu, ya?”"Kok, Mbak Ida bisa tahu?"Tante Hanen menatap Bunda dengan senyum tipis, kepalanya pun sedikit miring. Kekaguman kecil menyelinap di sorot matanya. Aku sendiri belum sempat cerita apa pun, tapi Bunda sudah tahu lebih dulu.Wanita kesayanganku ini memang bukan orang biasa.
Sepanjang jalan tadi, pikiranku seperti ditarik paksa ke dalam lorong sempit penuh bayangan. Baru sekarang aku benar-benar mengakui bahwa keluarga yang berantakan karena masa lalu dan orang ketiga itu … ternyata keluargaku sendiri. Yang dulu katanya keluarga cemara, kini berubah menjadi semak berduri yang saling melukai diam-diam.Di sudut kamar, aku meringkuk memeluk lutut. Dalam kisah-kisah pengkhianatan, anak selalu dianggap penonton yang tak terluka, padahal kami bukan daun kering yang tak bisa robek. Aku tidak pernah berharap mereka berpisah. Aku hanya ingin Ayah kembali waras dan Bunda tetap jadi perempuan bermartabat.Air mata menetes perlahan. Rasa perih dalam dada menjalar cepat, seperti luka terbuka yang disiram air jeruk. Membakar. Menyengat. Menorehkan garis luka yang tak kasat mata, tapi menyesakkan. Aku butuh pelukan. Aku butuh dada yang bisa kutumpangi tangis ini tanpa harus menjelaskan kenapa. Dunia terlalu berisik. Aku lelah hidup dalam skenario yang ditulis oleh oran
"Digigit serangga.”Aku tersenyum mendengarnya. Alasan itu terlalu sering jadi penyelamat dalam drama-drama, juga di novel online yang penuh konflik rumah tangga. Mereka selalu menyalahkan hewan kecil tak berdosa itu, padahal kalau pasangan mereka benar-benar berubah jadi serangga, apa mereka masih bisa tidur nyenyak tanpa rasa geli? Atau malah histeris sendiri di tengah malam?“Kamu nggak percaya, May?” tanya Tante Tiara saat melihat senyumanku yang tak berusaha ditahan. Dia pasti mencoba membaca gerak-gerikku, mencoba menebak untuk apa aku datang tiba-tiba ke rumah ini. Bisa jadi karena takut—mungkin juga merasa bersalah—karena aku sempat melihat Ayah di sini tadi.Wajar kalau dia takut. Aku anak dari istri sah. Dalam sistem kerajaan mana pun, meskipun istri pertama, kalau statusnya hanya selir, tetap tidak punya hak atas takhta seperti ratu yang dinikahi secara resmi. Dan Bunda, tidak peduli hadir sebagai yang kedua, tetaplah yang sah.Wajah tirusnya menegang. Ada garis ketegangan
PoV MayBegitu keluar kamar, Bunda langsung memberi isyarat halus. Aku tahu arah langkahku mesti ke pintu utama, tempat Tante Hanen berdiri agak gelisah."Siapa, Tan?" tanyaku tentu saja sekadar basa-basi."Mas Hanan, ayahmu. Gimana, May? Risa udah tidur, lho.""Siapa yang datang, Nen?" Suara Bunda terdengar dari belakang. Saat kutoleh, dia sudah berada di dekat kami. Piyama satin itu memang sederhana, tapi tak sedikit pun mengurangi kecantikan dan wibawanya. Elegan seperti biasa.Aku tersenyum. Lagi-lagi terpukau. Bunda tak pernah membiarkan dirinya terlihat lemah, bahkan di tengah badai rumah tangga yang hampir karam. Aku ingin menjadi sekuat itu suatu hari nanti."Bun, ini Ayah." Lelaki itu langsung berdiri. Aneh. Gerak-geriknya tak seperti orang yang baru saja meninggalkan rumah dengan amarah meluap. Bukankah sore tadi dia bersumpah takkan kembali?Keningku berkerut melihat binar matanya. Ada yang tumbuh di situ, seperti sebuah harapan. Senyumnya lebar dengan wajah yang penuh deng