May berdiri dengan napas yang belum stabil. Dia masih belum terima dicap ceroboh begitu saja. Dengan langkah cepat, gadis itu mengikuti sang bunda yang sudah lebih dulu masuk. “Bunda, tunggu dulu. Kenapa, sih, bilang aku ceroboh?” Ida berhenti di tengah ruangan. Bahunya naik turun, kemudian perlahan dia berbalik. Kedua mata itu menatap tajam. “Kamu tahu kenapa ayahmu bisa sampai ke sini?” “Karena dia nyari aku?” May mengerutkan dahi. “Salah. Dia nyari informasi.” Nada suara Ida tegas dan dingin. “Dan kamu dengan senang hati ngasih dia panggung buat baca situasi. Main catur, ngobrol soal nomor misterius, bahkan ngasih petunjuk kalau kamu mulai curiga itu dia.” May tertegun. “Tapi dari cara dia main tadi, aku bisa lihat kayaknya dia tahu sesuatu soal papan itu. Aku cuma pengin—” “May.” Ida mendekat, suaranya lebih rendah tapi penuh tekanan. “Bunda udah tahu itu bukan nomor ayahmu. Dari awal malah, tapi dia memang sedikit terlibat, sedikit tahu. Dan sekarang dia penasaran. Buk
"May, kamu kenapa? Kita tadi udah main dan kamu masih nggak percaya kalau Ayah memang sepayah itu?""Mungkin aja Ayah sengaja ngalah. Tadi jelas banget Ayah bisa membalikkan keadaan, tapi malah milih jatuh ke dalam jebakanku. Itu bukan kekalahan biasa, itu langkah yang disengaja. Iya, kan?"May menyipitkan mata. Pria dewasa, sosok masa lalu, pertanyaan yang sama, inisial A ... mungkinkah maksudnya adalah Ayah? Sengaja tidak menulis inisial H agar Bunda terkecoh?“Kita main sekali lagi. Ayah jangan nolak!”Untuk ketiga kalinya, papan catur kembali tertata di antara mereka. Kali ini suasana lebih sunyi. Tak ada suara canda atau basa-basi, hanya langkah-langkah bidak dan ketukan jemari May di tepi papan.May membuka langkah dengan pion E4. Gerakan yang sama seperti dua babak sebelumnya. Terlihat ringan, tapi sebenarnya itu perangkap awal yang pernah diajarkan sang bunda. Sebuah perangkap untuk memancing lawan keluar terlalu cepat.Hanan menanggapi dengan pion E5, mencoba bermain terbuka.
“Ayah tahu semuanya nggak akan pernah bisa balik kayak dulu, tapi tolong kasih Ayah kesempatan buat menebus semua dosa ini.” Suara Hanan pelan dan memelas, nyaris tenggelam dalam helaan napas penyesalan.May mendengkus. Sorot matanya mengeras lalu mendadak berkata, “Ayah masih cinta sama Tante Ulya?”“Apa maksudmu?” tanya Hanan tampak kaget.“Ah, nggak penting. Aku udah tahu jawabannya.”“May, Ayah tahu Ayah salah, Ayah tahu banget.”“Oh ya? Salah apa?”Hanan menghela napas panjang, kemudian menjawab pelan, “Sehari sebelum nikah sama Bunda, Ayah malah nikah duluan sama Tiara karena Ayah diancam. Setelah itu, saat udah punya kalian, Ayah malah selingkuh sama temen sendiri. Ayah tahu itu salah. Tapi waktu itu, Ayah ngerasa bundamu sering nyindir. Kamu tahu, kan, kadang Bunda suka ngomong nyelekit? Walaupun mungkin cuma bercanda, Ayah ngerasa sakit hati. Terus Bunda juga nggak nyaman kalau diajak pulang kampung, beda sama Nanda.”Mendengar itu, May menoleh pelan. Senyumnya mengembang, ta
“Dulu, waktu muda, Bunda sering main catur buat nenangin pikiran. Kadang coba-coba juga main go. Dari situ Bunda belajar satu hal penting, meski cuma tersisa satu bidak, permainan belum tentu selesai. Dalam catur, kamu bisa punya banyak bidak, tapi kalau gak tahu kapan dan bagaimana melakukan skak mat, itu percuma. Kadang, lawan sengaja biarkan kamu menyerang terus, sampai kamu lengah. Satu langkah salah, kamu bisa kehilangan raja.” “Aku gak ngerti, Bun.” Ida menghela napas. “Jangan terlalu asyik menyerang, May. Musuh yang cerdas justru suka kelihatan lemah di depan. Dia biarkan kamu nyerang lalu jebak kamu dari belakang. Kayak misal kasus si Arga ini. Dia belum bertindak, kan?” May terdiam. Kalimat itu terasa berat, seperti teka-teki, bahkan dia belum sepenuhnya paham cara main catur, tetapi sang bunda sudah menyebut permainan go. “Permainan go itu lebih rumit, May. Kamu harus tahu kapan menutup celah, kapan mengepung. Permainan ini ngajarin sabar, strategi, dan cara berpikir
“Setelah mikir-mikir, kayaknya aku tahu deh kenapa selalu kalah kalau main catur sama Bunda.” May berjalan mendekati meja makan lalu menarik kursi di seberang bundanya yang sedang menyeruput teh hangat sambil sesekali menyuap pisang goreng. Di sudut ruangan, Risa sedang membongkar lego, sedangkan Raya sudah berangkat sekolah sejak pagi. “Kenapa coba?” tanya Bunda sambil menoleh sekilas. “Aku terlalu sibuk ngincer raja, ngatur serangan, bikin skak-mat yang megah sampai lupa kalo bentengku udah dimakan dari tadi. Kuda dan gajahku udah dipojokin, dan pionku habis satu per satu tanpa aku sadari.” “Itu karena kamu cuma fokus nyerang, padahal catur itu bukan soal gebuk duluan, tapi soal sabar nunggu lawan salah langkah.” May mengangguk pelan. “Iya, dan biasanya aku baru sadar udah dikepung pas Bunda geser menteri pelan-pelan ke pojok. Tinggal satu langkah, habis aku.” “Catur itu soal ngatur napas. Kamu bisa punya pasukan lengkap, tapi kalau pikiranmu ribut, kamu tetap kalah.” “Pa
“Dewasa, iya. Tapi bukan berarti nggak menyimpan luka masa kecil. Apalagi kalau selama ini dia merasa ibunya mati karena Bunda.”May menegang. Jantungnya berdetak lebih cepat. “Dia tahu alamat rumah baru kita, namaku, bahkan nomor Whats.App-ku. Bunda sadar, kan, itu nggak main-main?”“Bunda tahu, May. Justru karena itu Bunda curiga. Dia bukan anak bodoh dan dia nggak kerja sendirian.”“Jadi, menurut Bunda, dia dibantu Om Adam?” May menatap bundanya lekat-lekat.“Bunda masih mencoba mengurai semuanya, May. Dan kalau tebakan Bunda benar, mereka bukan cuma pengirim papan catur. Mereka lagi mainin kita.”“Tapi aku rasa Om Adam nggak punya alasan buat balas dendam,” gumam May sekali lagi menyentuh papan catur itu."Pokoknya kamu tenang aja. Bunda pastikan satu hal, Bunda bakal selalu selangkah di depan dia. Kamu tinggal bales aja tuh chat dia, seolah-olah kamu percaya dia emang ayah kamu."May menggertakkan gigi pelan. “Bunda mikir nggak, kalau dia beneran Ayah? Gimana kalau semua ini cuma