"Bu Diah?" Kening Husna berkerut. Matanya menatap tajam pada sosok wanita paruh baya yang berdiri di balik tiang pagar. Dia adalah tetangga yang lebih sering mengaduk-aduk kabar ketimbang mengurus hidup sendiri. Sosok yang dikenal sebagai pusat semesta segala gosip, dengan mulut yang selalu siap menyulut bara di mana pun ada percikan."Kenapa? Terusin aja, aku dengerin, kok. Anggap aja aku tembok," jawab Bu Diah enteng, senyumnya lebar dan kedua tangannya kini bersilang di depan dada, seperti hakim yang siap menjatuhkan vonis.Husna menelan ludah. Ingin rasanya mengubur wajah ke tanah. Amarah dan malu campur aduk di dadanya. Perdebatan panas dengan Hanan baru saja berubah jadi tontonan umum dan yang menyaksikan adalah orang terakhir yang dia harap ada di sana.Sementara itu, rahang Hanan mengeras. Otot di pipi menegang, dan sorot matanya menyalak liar seperti bara yang hampir meledak jadi kobaran. Kedua tangannya mengepal di sisi tubuh, bergetar menahan dorongan naluriah untuk mengamu
Enam bulan berlalu sejak semuanya hancur. Di desa kecil tempat Hanan dilahirkan, dia kembali jadi nama biasa. Tak lagi dipanggil suami siapa, ayah siapa, atau pegawai teladan. Sekarang dia cuma laki-laki pengangguran yang tinggal bersama ibunya, Bu Siti, yang kini lebih sering batuk daripada berbicara. Setiap pagi dia bangun sebelum ayam jantan berkokok, berharap ada telepon masuk, ada kabar kerja, ada peluang. Namun, nihil. Baju-baju kerjanya yang dulu licin dan harum kini tergantung lusuh di balik pintu. Di balai desa, di warung kopi, di tepi sawah, namanya cuma dibisikkan orang-orang dengan nada sinis, dengan cemoohan yang tak pernah diucapkan langsung; terasa jelas menusuk. Siang itu, dia duduk sendirian di teras rumah. Kursi plastik reyot menopang tubuhnya yang mulai tirus. Di sampingnya, secangkir kopi hitam yang sudah dingin. Tatapan kosongnya menembus tanah kering di kejauhan. Hanan menarik napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya berat. Dia hidup dalam penyesalan. Berula
PoV MaySudah dua hari pesan dari Ayah tidak kugubris. Bukan karena benci, bukan juga karena dendam. Aku hanya belum tahu harus bagaimana dan rasanya bukan waktu yang tepat untuk bicara pada Bunda. Dia sedang fokus menyelesaikan bab terakhir novel yang terus ditagih pembaca. Aku tahu, kerja kerasnya bukan untuk dirinya sendiri, tapi untuk kami semua.Pesan itu masih ada di ponselku, belum kuhapus. Entah kenapa, bagian dariku merasa suatu hari nanti pesan itu akan penting. Mungkin bukan untuk dijawab, mungkin hanya untuk diingat. Nenek di kampung sedang sakit. Itu alasan Ayah pulang. Aku harap Nenek tetap diberi umur panjang biar suatu hari, kalau semua ini sudah reda, kami bisa bertemu lagi tanpa amarah yang menggantung di udara.Aku menghela napas panjang. Takdir memang seperti itu. Selalu punya cara sendiri untuk mengejutkan manusia.Malam menebarkan gelapnya. Aku masih duduk di teras, menunggu Tante Ira pulang. Ada hal yang harus kusampaikan, tapi aku juga tidak ingin menjadi pemic
PoV HananSepulang dari rumah Bu Nian, aku menyetir tanpa arah, membiarkan roda mobil menggilas jalanan kota yang tak lagi terasa familiar. Angin sore menyapu kaca jendela yang sedikit kubuka, membawa bau hujan yang menggantung di langit kelabu. Aku tidak tahu harus ke mana. Kepalaku penuh, dadaku sesak. Sampai tiba-tiba, di ujung trotoar sebuah pertigaan, mataku menangkap sosok yang membuat kakiku refleks menginjak rem.Dia berdiri di sana, seperti sedang menunggu seseorang. Lengannya terlipat dengan wajah tengadah ke arah langit dan rambutnya yang panjang tergerai, mengenakan blus krem tipis dan celana hitam.Nanda. Wanita yang dulu kucintai atau mungkin hanya kubayangkan sebagai cinta. Napasku tercekat. Rasanya seperti mimpi buruk yang tiba-tiba muncul tanpa aba-aba. Aku turun dari mobil. Langkahku panjang dan cepat, amarah menyusul di belakangnya.“Nanda!” Suaraku melengking, menghentikan langkahnya yang hendak menjauh. Dia menoleh, sedikit mengangkat alis, seolah tak terkejut mel
“Mama? Mama tahu aku ada di sini?” Kiara tersentak.Tante Tiara mendekat. Sekilas dia melirik pada Ayah yang berdiri canggung, seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri permen. Tubuhnya yang biasanya tegap kini tampak menyusut di antara dua wanita yang pernah dia yakinkan dengan janji yang sama.Wajahnya pucat, keringat dingin mengilap di pelipis, dan tangannya sibuk meremas-remas tangan yang sudah tidak memakai cincin. Tebakanku sudah dijual.Di depan Bunda yang berdiri tenang seperti tebing batu dan Tante Tiara yang duduk dengan tatapan tajam, Ayah terlihat kecil, terlalu kecil untuk menanggung semua luka yang dia tinggalkan.Matanya tak tahu harus menatap ke mana. Saat Bunda bersedekap dengan dagu terangkat dan mata yang tak berkedip, Ayah menunduk. Saat Tante Tiara bersikap seolah sedang menahan diri untuk tidak mencibir, Ayah gelagapan bicara.Bibirnya bergerak-gerak, mencoba menjelaskan sesuatu, tapi tak satu pun kata keluar dengan utuh. Suaranya tersangkut, seperti menol
"Jadi, Ayah mikirin perasaan Kiara?""Kenapa nggak? Dia anak Ayah juga. Seorang ayah tentu peduli perasaan anaknya sendiri. Hanya karena sejak kecil dia masuk ke pondok pesantren, bukan berarti Ayah nggak peduli. Ayah harap dia bisa mengerti soal ini."Aku tersenyum miring. Ternyata dalam keadaan seperti ini pun Ayah masih sulit meminta maaf dengan tulus dan malah terus mencari pembenaran. Arogan.Sekilas aku menoleh pada Kiara dan dia tersenyum tipis. Aku tidak tahu mengapa dia sulit marah dan meledam. Apa karena dia selama ini dididik untuk tetap patuh meskipun ada trauma dalam hidupnya?"Kiara, kamu percaya sama Ayah, kan?""Ayah, Kiara bukan anak kecil lagi. Dia seusia sama aku," selaku sudah semakin sulit menahan diri dan hari ini aku berjanji untuk mengeluarkan semua unek-unek, "Ayah nggak usah cari-cari alasan lagi sekarang. Siapa pun di rumah ini, bahkan Risa yang lagi main di dalam sama Nek Nian, nggak bakalan percaya. Percuma.""May, Risa mana?""Ayah ngerasa udah paling heb