PoV HananSudah dua pekan aku hidup seperti gelandangan. Malam-malam kulewati di dalam mobil, makan seadanya di warung kaki lima, dan untuk mandi pun harus menumpang di masjid.Aku tak pernah menyangka hari seperti ini akan datang. Dulu, semuanya terasa rapi. Ida selalu bisa mengurus segalanya. Dia bukan tipe istri yang boros, malah sering mengalah saat aku ingin sesuatu. Bahkan pernah, aku yang memaksa dia membeli tas dan sepatu hanya agar dia terlihat senang.Aku mengembuskan napas panjang. Uang di dompet tinggal beberapa lembar. Itu pun hasil menjual tablet dan cincin kawin kami.Nanda tinggal di kost. Tiara? Malah menolak mentah-mentah saat aku memohon untuk sekadar menumpang semalam, padahal dulu, dia yang bersumpah cinta mati. Dan Ida ... jangan ditanya. Tak perlu teriak-teriak seperti Tiara. Cukup satu kalimat dan rasanya seperti jantungku diremas.Kantuk mendadak menyerang. Aku rebahkan badan ke kursi belakang. Kaki harus dilipat, dan rasanya nyeri luar biasa. Mungkin besok ak
“Berani juga, ya, dia datang ke sini.” Tante Ira menyeringai kecut. Tubuhnya terangkat dari lantai yang beralas karpet tanpa ragu, melangkah tegas ke arah pintu utama.Aku tidak bisa melihat apa yang terjadi di luar, tapi dari caranya membuka pintu dengan hentakan, aku tahu, badai akan segera meledak. Bunda tetap duduk diam. Tak ada gerakan, tak ada kata. Matanya menatap kosong ke depan, seolah sedang menghitung langkah-langkah berikutnya. Mungkinkah dia tengah menyusun ulang skenario agar tidak kalah di ronde terakhir?Syukurlah Risa sudah terlelap. Kalau tidak, dia pasti akan merengek minta Ayah menginap, tanpa tahu betapa kusut dan kotornya situasi yang sedang kami hadapi. Untuk apa Ayah datang ke sini? Tidak punya tempat pulang? Atau sekadar ingin menunjukkan bahwa dia masih punya nyali?“Heh, Mas. Kamu itu harusnya punya malu. Udah selingkuhin Mbak Ida, sekarang ngapain berdiri sok tak berdosa di sini?” Suara Tante Ira mengguncang rumah seperti dentuman petir.Bunda langsung berd
“Apa, Bun?” tanyaku pelan, nyaris tak terdengar karena aku tahu kalimat berikutnya pasti bukan hal ringan.“Berdamai dengan diri sendiri,” jawab Bunda tenang, matanya menatap jauh, seperti menembus tembok kamar, “kalau terus nyimpan dendam, rasanya Bunda nggak akan pernah benar-benar bahagia. Luka ini terlalu dalam, May. Tapi terus marah juga nggak menyembuhkan. Bunda harus melepaskan semuanya termasuk ayahmu. Cepat atau lambat, perceraian itu akan terjadi.”Suasana jadi hening. Sunyi. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar mengiringi detak jantungku yang entah kenapa malah jadi lebih cepat. Kalimat itu—tentang melepaskan Ayah—terdengar lebih nyata dari sebelumnya.Setelah itu, Bunda memintaku mengemasi barang-barang. Rumah ini akan dikosongkan untuk sementara. Katanya, untuk kesehatan batin. Aku diam saja, menuruti. Mengambil beberapa lembar baju yang cukup untuk dua atau tiga pekan. Rasanya aneh, seperti lagi liburan, padahal nyatanya kami sedang mengungsi dari luka.Bunda jug
“Mas Adam, maafin aku!” Suara Tante Nanda menggema nyaring dari kejauhan. Namun, kalimat itu seakan hanyut di udara dan tak satu pun dari kami menoleh.Om Adam tetap melangkah mantap ke arah mobil, tak sedikit pun menanggapi. Dingin. Terlalu dalam luka itu untuk dijahit dengan sekadar permintaan maaf.Perjalanan pulang berjalan dalam diam yang menyayat. Tidak ada suara selain napas tertahan dan deru ban di atas aspal. Tante Tiara duduk membatu di sampingku, pandangannya kosong menembus jendela. Pipinya basah oleh air mata yang terus turun pelan tanpa suara, seolah rasa bersalahnya menolak dihibur.Di depan, Bunda hanya menghela napas panjang sekali-dua kali, wajahnya datar, tenang, bahkan terlalu tenang untuk seseorang yang baru saja mengorbankan begitu banyak. Namun, ketika aku menangkap tatapannya ke langit-langit mobil, sekejap matanya berkaca. Mungkin sedang menahan tangis yang tak ingin jatuh di depan siapa pun.Om Adam yang menyetir tampak gelisah. Tangannya mencengkeram setir t
Pak Fandy menutup map dan pergi begitu saja. Tidak berkata sepatah pun. Suara sepatunya menggema di lantai, bukan karena ruangan ini terlalu hening, tapi karena semua orang sedang sibuk mencerna serpihan kejut yang baru saja dilempar ke kepala mereka.Pintu tertutup pelan, tapi rasanya seperti ledakan diam-diam. Meledak ke dalam, bukan ke luar.Ayah duduk lemas, mungkin merasa tak ada lagi upaya mengejar Bunda dan jelas tidak akan ada lagi pelukan buat Tante Nanda. Wajahnya retak bukan secara harfiah, tapi seperti topeng yang tak lagi bisa bertahan di wajah manusia bernama Hanan. Tangannya gemetar, menggenggam udara, seperti mencoba menangkap waktu yang sudah terlanjur lepas.Tante Nanda masih di lantai. Menunduk sambil meremas ujung celana Om Adam, riasan wajahnya hancur seperti badut yang kehabisan lelucon. Om Adam berdiri di depannya, diam, tapi tatapannya tajam. Beku. Tidak penuh amarah, tapi juga jauh dari belas kasih.“Aku mungkin bisa maafin kamu, Nanda,” ucap Om Adam datar. Te
"Nggak mungkin aku berani kalau kamu juga nggak mau, Nanda. Aku bahagia sama istri dan anak-anakku, tapi kamu malah ngegoda aku. Kamu ngerusak rumah tangga aku!”Aku tertawa dalam hati melihat wajah Ayah yang merah padam. Entah karena murni amarah, atau malu karena topengnya mulai terkelupas. Mungkin dua-duanya. Yang jelas, aku sangat bahagia melihatnya hancur perlahan. Seperti menonton bangunan runtuh yang berisik, tapi memuaskan.Bukan berarti aku lupa siapa dia bagiku. Bukan berarti aku menghapus semua kenangan baiknya, semua tawa yang pernah ada saat kami main sepeda bareng. Akan tetapi luka ini, luka yang dia biarkan tumbuh di hati Bunda bertahun-tahun, terlalu dalam untuk disembuhkan hanya dengan maaf.Sejak awal, rumah tangga itu sudah retak. Tante Nanda bukan penyebab utama. Dia hanya satu dari sekian banyak batu yang mempercepat robohnya tembok. Dan sekarang? Bahkan penyesalan pun sudah kehilangan gunanya. Masalah ini belum puncak. Masih ada satu babak lagi.“Kalian nggak usa