Beranda / Rumah Tangga / TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS / Part 6 Wanita Bukan Berarti Tak Bisa

Share

Part 6 Wanita Bukan Berarti Tak Bisa

Penulis: Rita Febriyeni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-04-13 00:31:42

 

Sebenarnya komunikasi itu penting dalam hubungan suami istri. Bukan masalah anak atau keluarga saja, tapi juga tentang dunia kerja suami atau sebaliknya. Tapi yang aku alami tidak seperti itu. Bahkan hari pertamaku kerja, Mas Arga tak tahu posisiku. Yang ada dipikirannya bisa kredit mobil dari gajiku.

 

Terus, ini masalah menghargai. Pak Rudi seperti kurang menghargaiku setelah tahu aku istri Mas Arga. Apa karena Mas Arga bawahannya? Tapi ini hanya perusahaan swasta. Toh belum tentu bekerja lama. Bisa jadi dunia berputar, dan yang dulu bawahan bisa jadi atasan. Kecuali perusahasn itu milik sendiri. Jika status hanya pegawai, tidak usah berlagak sok. Bukan berarti tidak tegas. Asal sesuai SOP perusahaan.

 

"Jangan bercanda, Sar. Ini posisi buat pria loh." Bahkan setelah aku jujur, Mas Arga tidak juga percaya.

 

"Bentar, aku telpon Pak Ismail dulu. Nggak mungkin deh seorang wanita." Pak Rudi mulai fokus ke ponselnya.

 

Jadi ia juga masih tidak percaya? Masih berlagak sok dengan menghubungi pak Ismail. Emangnya aku tak pantas menduduki jabatan itu. Atau karena ia mendengar ucapan Mas Arga hingga ikut tak percaya. Logikanya, jika orang luar dengar komunikasi kami mungking tidak percaya. Masa suami sindiri tidak tau jabatan istri di kantor. Tapi tak mungkin juga dijabarkan semuanya.

 

"Mas, apa kamu lupa jika aku dulu juga posisi manager. Masa kamu meremehkan aku?" Lalu kupalingkan pandangan ke pak Rudi. "Pak, apakah ada masalah jika manager proyek adalah seorang wanita?"

 

"Bukan gitu, Sar. Kamu udah dua tahun nganggur. Lagian posisi itu tak sembarangan orang. Apalagi nggak mungkin semudah itu dapat posisi manager meskipun kamu berpengalaman."

 

Sebenarnya Mas Arga berusaha ingkar atau memang tidak percaya? Aduh, kenapa justru suami sendiri meragukan kemampuanku. Apa selama ini ia seperti itu. Seharusnya ia sadar kenapa aku bisa beli motor sport dengan cash. Itu bonus dari proyek yang aku tangani dulunya.

 

"Jangan banyak bicara yang merendahkan istri. Malu didengar orang." Aku masih berusaha bicara baik, meskipun hati ini sakit.

 

"Halo Pak Ismail, apa kabarnya?" Pak Rudi mulai bicara di ponsel dengan mengaktifkan speaker ponsel, hingga aku bisa mendengar.

 

"Halo Pak Rudi, gimana? Udah bertemu Sarah? Tadi saya sudah utus ke sana." Tanpa ditanya, pak Ismail sudah memberitahu keberadaanku. 

 

Akan tetapi, Mas Arga kenapa terpana melihatku? Entah apa yang ia pikirkan. Yang jelas aku harus buat mereka menghargaiku. Wanita bukan berarti tidak bisa di posisi ini dong.

 

"Maaf, Pak. Jadi Bu Sarah Manager baru PT Bajatama?"

 

"Iya, Pak Rudi. Mulai hari ini, tapi jangan khawatir, Sarah udah biasa menangani proyek. Makanya saya minta ia ke sana meskipun hari pertama kerja." 

 

"Oooh, iya, Pak. Maaf mengganggu. Bu Sarah sudah di sini. Saya kira Bapak yang ingin ke sini," jawab pak Rudi sambil melirikku.

 

"Istri saya sakit, Pak. Makanya Sarah yang ke sana."

 

"Baiklah, Pak. Maaf menganggu, semoga istrinya cepat sembuh."

 

"Nggak apa-apa, Pak Rudi. Terima kasih."

 

Pembicaraan mereka di ponsel sudah berakhir. Pak Rudi memasukkan ponselnya ke saku celana. Lalu ia menghela napas panjang sambil mengarahkan pandangan padaku.

 

"Bu Sarah, maaf, saya tidak tau jika Bu Sarah manager baru PT Bajatama."

 

"Saya sudah beritahu sebelumnya, tapi Bapak tidak percaya. Lagian apa salah jika saya menduduki posisi itu?" Kutantang mata pak Rudi. Ya, aku kesal tapi tetap berusaha tenang.

 

"Sudahlah, Sar. Pak Rudi atasanku. Nggak usah diperpanjang masalahnya," tegur Mas Arga. Seperti itulah ia, jika sudah terbukti tidak benar, dengan gampangnya mengabaikan. Padahal akulah korbannya. Namun tak selamanya aku mengalah.

 

"Pak Arga, dari pihak PT Bajatama, saya kecewa. Jangan mentang-mentang pengawas lapangan kami sedang sakit, hingga Bapak mengabaikan tanggung jawab.  Sesuai MOU, kita sudah sepakat waktu pengerjaan proyek ini. Mungkin tidak ada tenggang waktu." Kali ini aku berucap tegas. Maafkan aku ya, Tuhan. Sebenarnya ada rasa berdosa karena Mas Arga suamiku.

 

"Kamu kok ngomong gitu sih, Sar?" Alis Mas Arga bertaut seolah tak suka.

 

"Oh ya, Pak Rudi, semoga saja kerjasama ini bisa berlanjut. Ibarat sebuah hubungan, jika tak nyaman buat apa diteruskan." Sebenarnya ingin menghujat dia, tapi aku tak mau bersikap yang membuat diriku rendah karena mengeluarkan kata-kata kasar.

 

"Jangan bilang gitu, Bu Sarah. Kami sudah sering kerjasasama dengan Pak Ismail. Jangan karena masalah kita hingga merugikan perusahaan."

 

Enak saja dengan mengatakan 'masalah kita'. Ia yang mulai kenapa seolah aku disuruh mengalah. Untuk terjun kelapangan, aku tak boleh tunduk atau lemah. Ini dunia kerja. Yang lemah bisa dimakan. Yang dibutuhkan skil dan tata cara menghadapi bermacam sifat orang. Jika tak salah jangan takut. Biar mereka lelaki berotot, tapi aku wanita punya otak untuk menghadapi.

 

"Sebaiknya saya lihat kondisi lapangan saja." Aku berlalu dari hadapan mereka.

 

Akan tetapi, Mas Arga dan pak Rudi mengikutiku dari belakang. Sekilas kupalingkan, terlihat mereka berbisik. Entah membicarakan apa. Aku tetap mengelilingi lokasi sambil mencatat di pikiran, apa yang dirasa kurang atau tidak sesuai.

 

"Sarah." Mas Arga mendekatiku. 

 

"Ya," jawabku memalingkan pandangan ke belakang. Terlihat pak Rudi berdiri tak jauh dari kami.

 

"Pak Rudi ingin bicara. Ayok," ajak Mas Arga sambil menarik tanganku.

 

"Tunggu!" Aku menarik tanganku hingga terlepas dari Mas Arga. "Apa begini cara kalian bekerjasama?" Sengaja suaraku dikeraskan agar ia mendengar. Bukan saja itu, para pekerja lapangan juga memperhatikan meskipun sedang bekerja.

 

Enak saja aku yang harus menuruti dia. Toh ia yang ada perlu.

 

Aku merasa pak Rudi menggunakan jabatannya menekan Mas Arga. Jangan kira aku tunduk dengan manusia seperti pak Rudi. Coba kalau ia bersikap ramah, mungkin kedatanganku tidak setegang ini.

 

"Biar aku ke sana, Ga," ucap pak Rudi, lalu ia melangkah mendekat.

 

Sudah jelas tak ramah masih juga berlagak sok. Dan Mas Arga, astaga, ia tak segarang saat berada di rumah.

 

"Sarah, Arga sudah seperti adikku meskipun ia bawahanku. Bahkan ia teman paling dekat daripada yang lain. Jika proyek ini tak ada masalah, kerjaan Arga juga yang bakalan lancar. Bukankah ia suamimu?"

 

Wow, sekarang ia bersikap sok akrab dengan menyebut namaku tanpa disertai 'bu' seperti sebelumnya. Cepat sekali ia berubah baik. Pasti jabatanku membuatnya begini. 

 

"Sebelumnya saya tak tahu kalian berteman. Bahkan saya tak pernah melihat Bapak datang ke rumah. Untuk masalah proyek tidak ada hubungannya dengan status kami suami istri. Aku hanya bekerja pada Pak Ismail." 

 

"Sarah! Kamu kenapa begini sih?" Mas Arga marah. Kelihatan matanya melotot hingga pak Rudi tersenyum sinis.

 

"Ini bukan rumah, jangan permalukan diri," jawabku tetap tenang. Hingga Mas Arga terdiam dengan muka merah.

 

"Oh ya, Pak Rudi. Pondasi itu harus lebih dalam. Ini bangunan bertingkat. Takutnya tidak kuat jika gempa." Aku menunjuk pondasi yang baru semeter di semen.

 

"Itu sudah cukup kuat, Bu. Lagian jika runtuh kan kita untung ada proyek lagi," jawabnya nyeleneh. Astaga, darahku makin naik menghadapinya.

 

"Bukan saja kerugian materi. Bisa jadi nyawa penghuninya. Jika menanamkan yang baik akan ada hasil baik. Begitulah sebaliknya."

 

"Santai aja, Bu Sarah. Ini hanya bercanda. Lagian itu sudah semeter disemen. Masa bongkar lagi."

 

"Lebih baik bongkar satu meter daripada satu ruangan yang sudah jadi. Ini proyek, kepercayaan klien itu penting. Saya rasa tak perlu mengajari Bapak karena mungkin ini bukan pengalaman pertama." Lalu aku melangkah ingin meninggalkan lokasi ini. Terlihat muka pak Rudi merah dengan keterdiamannya.

 

"Oh ya, Pak Rudi. Jika tak suka dengan kerjasama ini, silahkan hubungi Pak Ismail," sambungku. Ia tetap dengan keterdiamannya.

 

Aku melangkah menuju mobil parkir. Sebenarnya tak ingin cari masalah. Tapi mereka mulai duluan. Jika aku tunduk dengan gampang akan diinjak. Ini dunia lapangan. Tak berpandai-pandai akan dimakan.

 

"Sarah! Sarah!" Terdengar suara Mas Arga dari arah belakang. Pintu mobil tak jadi dibuka. Lalu aku berbalik badan.

 

"Mau kamu apa sih? Mau aku dipecat?" Suaranya lantang hingga urat lehernya timbul.

 

"Seharusnya kamu membela jika ada orang lain tak menghargaiku. Lagian ia pantas digituin kok," jawabku.

 

"Kamu ingin aku kehilangan pekerjaan karena sikapmu itu?"

 

"Lagian jika kamu kerja belum tentu gajimu untukku, Mas. Toh Ibumu yang kasih uang." 

 

"Kamu tu sadar diri jadi istri! Aku suamimu!"

 

"Oh iya, aku lupa. Kamu kan kerja buat kasih makan anak istri, ibu dan adikmu berserta orang tuaku. Wow, kamu suami idaman, Mas," jawabku sambil tersenyum cemooh.

 

Bersambung ....

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Dian Rahmat
saat bekerja hrs profesional. biarpun dg suami, di kantor sebaiknya menggunakan panggilan formal sprt bapak/ibu
goodnovel comment avatar
Lindu Aji
Mantap thor....
goodnovel comment avatar
Sri Wahyuni
Mak jleb, sindiran yg bikin arga tutup mulut ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 119 Tamat

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 119 [Aku sudah menceraikan Ririn, Mamiku sudah meninggal.Sekarang aku sendirian, Sarah. Hanya berharap di sisa hidupku yang sepi, bisamelihat anakku tumbuh besar dan memanggilku ’papa’. Semoga kamu berbaik hatimembiarkan aku memenuhi kewajiban pada anak kita][Aku tidak akan memaksamu menerimaku lagi, meskipun sangatberharap. Aku sadar salah dengan lari dari tanggung jawab sebagai suami hinggasurat cerai kita keluar. Aku salah mempermainkanmu dan justru akulah yang kinidipermainkan nasib dengan kehilangan Mami, ulah dari wanita pilihan Mami.Mungkin ini karma bagi kami yang menyakitimu. Untuk minta maaf lagi rasanyamalu dan aku tak pantas mendapatkan itu]Dua pesan dari Mas Ismail masuk ke ponsel kala aku sedangmenyusui anak. Nama putraku adalah ‘Muhamad Abqari’. Melihat ia sedangmenikmati air susu, ada rasa bersalah kalau menjauhkannya dari Mas Ismail. Aku sangategois jika melakukan itu.[Aku tak akan memisahkanmu dari anakmu, Mas. Lakukanlah

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 118 Ditalak Di Penjara

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 118 (Ditalak di Penjara)Pov Ismail“Loh, kenapa ditolak, Tia? Oma memberikan karena Tia sudahmenjadi seorang kakak.”“Papa Ismail, aku nggak mau mencoreng maaf yang tulus dengansebuah bayaran. Jika aku menerima warisan itu berarti aku menjual ucapan maaf.Bukankah saling memaafkan harus ikhlas?”Di sini aku merasa malu. Anak yang masih berusia belia saja,bisa mengucapkan hal yang tak terpikirkan olehku. Malu ini karena kalah daripemikirannya. Entah bagaimana Sarah mendidiknya hingga ia seperti manusia yangtidak silau dengan harta.“Tia bisa gunakan uang itu buat kuliah keluar negeri atau....”“Maaf, Pa. Jika aku mengandalkan uang itu buat pendidikandan memenuhi semua kebutuhanku, aku akan jadi malas di usia muda karena sudahmerasa punya. Aku takut terlena dan lupa belajar.”Tidak bisa berkata apa-apa lagi. Ini benar-benar langka.Jarang anak seusia Tia berpikir seperti ini.Aku menoleh ke Sarah. “Sarah, tolong bujuk Tia,” pintaku.“Maaf, Mas. Ak

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 117 Lebih Baik Begini

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPART 117 (Lebih Baik Begini)Ini yang membuatku sulit, Tia berpendapat yang belum tentu bisa aku lakukan. Ada sifat dari Mas Ismail yang membuatku tak bisa menjalani rumah tangga dengannya. Aku akui ia berbakti pada orang tuanya. Ia lelaki yang setia dengan istri hingga dalam rumah tangga tak pernah terdengar selingkuh. Tetapi, satu sikap yang membuat semua itu tak berarti. Yaitu, tidak punya pendirian, dan tidak bisa mengambil sikap tegas memutuskan dalam sebuah masalah. Padahal ia seorang pemimpin rumah tangga. Yang lebih parahnya, ia bersikap tanpa memperdulikan efek dari apa yang dilakukan hingga penyesalan itu datang kala semua sudah terjadi.“Nak, Mama yang tau semuanya. Jika kamu berpendapat seperti itu, Mama hargai dan ini juga membuka hati Mama agar tidak memisahkan antar anak dan Bapak.”“Mama nggak mau menerima Papa Ismail lagi?”“Tidak semudah itu. Ada hal yang belum bisa Mama ceritakan.”“Tia ngerti, Ma. Tia hanya melihat di luar aja hi

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 116 Ucapan Tia Yang Tak Terduga

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 116 (Ucapan Tia Yang Tak Terduga)“Sarah, menurutmu gimana dengan Bobi?”Aku sedang menyusui tiba-tiba mengalihkan pandangan ke Emak.“Maksud Emak apa?”“Masa nggak ngerti maksud Emak? Kamu pasti tau lah arah pembicaraanini.”Emak bicara langsung-langsung saja. Bahkan ini agakterdengar sensitif untuk dibahas.“Kok malah diam? Kamu tu bukan anak kecil lagi pakai malusegala.” Emak menatapku. Waduh, Emak tahu saja apa yang aku rasakan.Menghela napas panjang, sejenak berpikir lagi dengan jawabanyang akan dilontarkan. Aku tak mau gegabah memutuskan karena sudah dua kaligagal dalam rumah tangga. Ditambah sekarang sudah punya dua orang anak. Kalaumenikah lagi, belum tentu suamiku nanti menerima wanita janda yang sudah punyaanak dua. Lagian anakku masih bayi dan butuh biaya besar.“Kalau kamu nggak yakin nggak masalah. Emak ngerti yang kamupikirkan. Hanya aja, jangan jadikan gagal berumah tangga dua kali itu ketakutanbuat maju menjalani jika ada yang

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 115 Sial!

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 115 (Sial!)Pov Siska / Kakaknya RirinSebenarnya aku sangat jijik masuk dan duduk di rumah ini. Lantainyasaja lebih bagusan kandang anjingku di rumah. Tikar ini juga sangat jelek danpasti banyak yang duduk dengan kaki kotor. Iiih! Geli sekali duduk di sini. Kalaubukan demi Ririn, ogah menginjakan kaki di sini. Huh! Sial!“Tolong bujuk Ismail agar mencabut tuntutan. Ririn hanyakorban sama sepertimu, Sarah.” Dengan muka sedih, aku memohon ke Sarah. Namun,sialan, itu nenek lampir kenapa dari tadi membuat aku kesal saja. Ia selalumenjawab dan lebih cepat berucap daripada anaknya.“Maaf, sepertinya salah alamat. Aku dan Mas Ismail sudahtidak ada hubungan lagi hingga ingin membujuknya.”“Iya, aku tau itu. Tapi hanya kamu yang bisa didengar Ismailsekarang ini. Ia masih mengharapkanmu dan pasti mau kalau kamu yang minta.Tolonglah, Sarah ..., hanya kamu yang bisa menolong adikku saat ini.”“Hey! Apa kamu udah gila? Adikmu hampir saja menembak Sarahdan

  • TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MAS   Part 114 Kedatangan Kakaknya Ririn

    TERIMA KASIH MEMINTAKU BEKERJA, MASPart 114 (Kedatangan Kakaknya Ririn)“Mbak yakin kita segera meninggalkan rumah sakit ini?” tanyapak Bobi setelah kami turun ke lantai satu rumah sakit.“Ya, Pak. Aku harus ngapain lagi di sini?”“Bukan begitu, Pak Ismail sepertinya ....” Ucapan Pak Bobitidak dilanjut. Terlihat ada keraguan.“Ia hanya mantan suami dalam pernikahan kilat, Pak,” ujarkumenjelaskan. Aku tahu ia merasa tidak enak karena mengira aku akan kembali padaMas Ismail.“Pernikahan kilat?” Pak Bobi menatapku dengan alis bertaut.“Hanya suami yang beberapa malam saja.”Tidak ada yang perlu disembunyikan. Jika aku mencoba membukahati dengan Pak Bobi, ia harus tahu semua kisah hidupku agar tak ada dusta diantara kami. Jika sekarang aku memutuskan membuka hati, agar berita tidakmenyudutkan aku seolah seperti penghancur rumah tangga Mas Ismail dan Ririn.Berita yang tersebar bermacam-macam, ada yang mengatakan kalau aku bukanpelakor dan sebaliknya.“Bu Sarah, apakah kami bisa wawancara

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status