Satu jam kemudian, Naima sudah sampai di kontrakannya. Dia mendapati Bela yang sedang berkemas seluruh pakaiannya.
"Sudah, Bel?" tanyanya begitu masuk ke dalam rumah. "Sedikit lagi, Kak," jawab Bela sembari memasukkan pakaian ke dalam tas besar. "Apa orang-orang itu sudah datang?" "Belum, Kak," "Yasudah, Kakak lihat Bapak dulu, ya! Kamu lanjutkan itu," Bela mengangguk dengan titah sang kakak. Naima membawa dirinya masuk ke dalam kamar sang ayah, kamar berukuran 3x2 meter itu hanya berisi satu kasur dan satu lemari plastik yang sudah kosong isinya. Terlihat raga sang ayah terbaring tak berdaya dengan bekas luka yang membiru di hampi sekujur tubuhnya. "Pak ...." sapa Naima lembut mengusap bahu ayahnya yang tengah berbaring memunggungi pintu. "Nduk, Nai ...." balas sang ayah berbalik menatap Naima yang sudah duduk di tepian kasur. Naima menatap miris kondisi ayahnya. Wajah yang masih membengkak dan membiru di beberaoa sisi, bibir juga membengkak meski sudah tak separah kemarin. Semua itu adalah ulah dari anak buah juragan Hamid yang menghajar ayah Naima dengan tanpa belas kasihan. "Nai ...." "Nai dapat uangnya, Pak! Kita bisa pulang ke kampung segera," beritahu Naima dengan suara bergetar. "Kamu dapat dari mana uangnya, Nai? Kamu tidak mencuri 'kan, Nak?" tanya sang ayah juga dengan suara yang bergetar. Naima menggeleng sambil mengulas senyum di wajah cantiknya. "Bapak jangan khawatir, Nai dapat pinjam dari orang baik, Pak." jelas Naima dengan berbohong. "Pinjam lagi?" "Iya, tapi orangnya baik, Pak. Beliau, mengijinkan Nai pakai uangnya dulu." jawab Naima lagi. "Tapi--" "Sudah, Bapak jangan banyak pikiran. Yang terpenting kita bisa bayar hutang Juragan Hamid dan kita bisa pulang ke Jogja. Bukankah Bapak sudah sangat merindukan makam Ibu?" Mata ayah Naima berkaca-kaca, detik berikutnya bulir kristal memenuhi dua kelopaknya yang nampak sipit sebab bengkak membiru di bagian luar. "Terimakasih, Nduk! Terimakasih banyak ... maafkan Bapak yang menyusahkan kamu ...." tangis ayah Naima pecah juga. Ia memeluk Naima dengan erat, menumpahkan tangisnya dalam pelukan Naima. Naima tak kuasa menahan tangis, mereka menangis bersama. Tak terbayangkan andai dia tidak mendapatkan uang itu, sudah dipastikan ayahnya akan meregang nyawa di tanah orang. Awal mulanya ayah Naima pergi merantau karena dijanjikan pekerjaan di sebuah proyek. Namun, baru 1 bulan berjalan, beliau jatuh sakit. Akhirnya, tidak bisa melanjutkan pekerjaan di proyek. Naima yang saat itu sudah lulus SMA mengajak Bela untuk menyusul sang ayah, karena tidak tega membiarkan ayahnya sakit di tanah rantau. Dengan bekal dari menjual salah satu kebun teh milik ayahnya, Naima berangkat ke Kalimantan bersama Bela yang saat itu baru lulus SD. Dengan uang yang dia pegang, Naima merawat ayahnya serta menyekolahkan Bela masuk ke SMP di Kalimantan. Tak hanya itu, Naima juga bekerja untuk bisa menyambung hidup di sana yang ternyata biaya hidupnya jauh lebih mahal dari kampung halamannya di Jogja. Kehidupan Kalimantan yang serba mahal, membuat Naima kewalahan. Setelah sembuh pun ayahnya juga bekerja serabutan. Apa saja mereka kerjakan asal bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka. Lambat laun, mereka membutuhkan biaya besar untuk biaya sekolah Bela dan juga kebutuhan mereka sehari-hari. Kemudian ada seseorang yang menawarkan pinjaman. Dari sanalah awal mula mereka mengenal Juragan Hamid. Namun sayangnya mereka ditipu habis-habisan. Uang pinjaman yang hanya 8 juta itu dalam waktu singkat sudah beranak pinak menjadi 10 kali lipat karena Naima dan ayahnya tidak sanggup mengembalikan pada tempo waktu yang diberikan dan berakhir mencekik leher Naima dan ayahnya. Tak jarang, orang suruhan Juragan Hamid datang untuk menagih, tetapi karena Naima dan ayahnya tak mampu membayar maka orang-orang itu akan memukuli ayahnya sampai babak belur. Ancaman dan kekerasan fisik kerap mereka terima, akan tetapi warga sekitar seolah tutup mata dan tak ada satu pun yang bisa membantu Naima dan ayahnya. Brak! Brak! Suara gadih dari luar membuyarkan lamunan Naima, dengan segera dia keluar untuk melihat apa yang tengah terjadi. Rupanya anak buah juragan Hamid yang datang. "Oh, kalian mau kabur rupanya?" todong salah satu dari 3 preman bertubuh sangar itu. Naima dengan tenang menghadapi mereka. "Hei Nona! Kau mau kabur dari hutang-hutangmu, hah?" "Saya tidak sepengecut itu, Tuan!" balas Naima tak kalah berani. Terang saja, karena dia sudah memegang uangnya. "Oh, kucing lucu yang biasanya sembunyi di ketiak ayahnya itu sekarang sudah berani menjawab rupanya," ejek preman itu lagi. "Jangan banyak tingkah! Cepat bayar hutangmu! Atau kalau kau memang tak bisa bayar, Juragan ada penawaran khusus untukmu, Nona!" tawa ketiga preman itu menggema di teras kontrakan Naima. Dengan tatapan mereka, yang menurut Naima menjijikkan. "Betul sekali, kau hanya perlu m3ng4ngk4ng sekali saja di hadapan Juragan kami, maka semua hutangmu lunas tanpa perlu bayar, Nona!" sambung yang lain lagi dengan tawa yang semakin menjijikkan terdengar telinga Naima. Dia sudah tahu ujungnya akan seperti ini, karena bukan sekali dua kali juragan mata keranjang itu mengatakan hal serupa padanya. Di saat para preman itu masih tertawa, Naima masuk ke dalam dan mengambil uang yang sudah dia siapkan lalu dia kembali dan melemparkan uang itu tepat ke wajah preman yabg berada di tengah. "Kubayar lunas hutangku pada juragan kalian! Berikut sedekahnya, kalau-kalau besok atau lusa juragan kalian dipanggil oleh yang maha kuasa!" ucap Naima sarkas membuat tawa ketiga preman itu sontak berhenti lalu menatap Naima dengan bengis. Salah satu dari ketiga preman itu mengambil amplop tebal yang terjatuh di kakinya, lalu mengecek isinya. Seketika matanya membulat sempurna melihat gepokan uang yang masih ada ikatan kertas dari sebuah bank ternama itu. Si preman pemegang uang segera menyikut rekannya, lalu tanpa kata lagi mereka undur diri dari hadapan Naima. Naima bernafas lega, kemudian kembali ke dalam melihat ayah dan adiknya saling berpelukan di kamar karena ketakutan. "Kita harus segera pergi dari sini. Ayo, Bel, Kakak bantu berkemas!" ajak Naima takut preman-preman itu datang lagi bersama juragan mereka karena sempat Naima hina tadi. Bela mengangguk, lalu berdiri cepat mengekor Naima yang kemudian membereskan sisa barang mereka. Baru selesai mereka menutup koper besar dan satu tas yang akan mereka bawa, pintu rumahnya dibuka paksa dari luar membuat mereka berjingkat kaget. "P3l4cvr kecil!""Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya. "Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri. Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana. "Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal. "Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati. "Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain. "Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya. "Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima.
Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T
Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa
"Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju
"Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu
"Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai