Share

Juragan Hamid

Author: Atiexbhawell
last update Last Updated: 2024-06-14 20:19:45

Di depan pintu sudah berdiri Juragan Hamid bersama ketiga preman yang tadi datang. Juragan yang usianya lebih tua dari ayahnya itu menatap ke arah Naima dengan tatapan nyalang.

Bela beringsut mundur, menyembunyikan diri di belakang tubuh kakaknya.

"Mau apa Anda datang, Juragan? Bukankah semua hutang kami sudah kubayar lunas? Atau, anak buah Anda mengadu yang tidak-tidak?" todong Naima berusaha menguasai dirinya.

Meski ada rasa takut, tapi Naima tak akan gentar menghadapi pria tua itu. Bukan kepada pria tua itu Naima ciut nyali, tetapi kepada anak buahnya yang bertubuh kekar. Karena bagaimana pun dia hanya seorang perempuan bertubuh kecil, yang tentu tenaganya tak sebanding dengan para pria itu. Dengan satu pria saja sudah pasti dia kalah telak, sedangkan yang dia hadapi 3 pria berbadan sangar.

Juragan tua itu terkekeh pelan, perlahan melangkahkan kaki pincangnya ke dalam rumah kecil Naima. Naima dan juga Bela mundur setiap Juragan itu maju.

"Kau sungguh berani, Cantik!" kekeh pria tua itu lagi yang terdengar menjijikkan di telinga Naima.

"Kenapa harus takut, Juragan?" tantang Naima membuat senyum di wajah pria tua itu menghilang begitu saja berganti dengan tatapan marah.

"Saya berhutang 8 juta rupiah, dalam satu tahun sudah menjadi 80 juta rupiah. Padahal dalam satu tahun itu saya ada bayar 3x dengan nominal 1,5 juta setiap kali bayar. Saya rasa, jika bukan hutang, saya taruh uang saya 10 juta di Anda dalam 1 tahun saya sudah bisa beli mobil baru, bukan?" ledek Naima disertai kekehan yang terasa sebagai hinaan di telinga Juragan Hamid.

Naima geleng-geleng kepala, menatap pria tua yang berdiri kurang dari 2 meter di hadapannya itu dengan tatapan jijik.

"Baru beberapa menit yang lalu anak buah Anda datang menagih, dan ya, sudah kubayar lunas semua hutang saya berikut lebihannya. Anggap saja sedekah saya, kalau-kalau dalam waktu dekat Anda dipanggil oleh yang maha kuasa." ujar Naima semakin berani.

Wajah pria tua itu merah padam, dia mengeratkan pegangannya pada tongkat kayu yang selalu dia bawa, sebagai penopang jalannya. Nafasnya memburu, tatapannya nyalang ke arah Naima seolah hendak menerkamnya hidup-hidup.

"Kvr4ng 4j4r!" hardiknya tak terima.

"Atau sedekahnya masih kurang, Juragan? 20 juta loh itu!" tantang Naima yang juga sudah diliputi amarah yang sama.

100 juta dia relakan begitu saja hanya untuk membayar hutang fiktif yang selama ini mencekik lehernya. Gara-gara hutang itulah dia harus menjual harga dirinya dan kehilangan kesuciannya.

"Sombong sekali mulutmu, J4l4ng! Kau lupa, akulah orang yang sudah menolongmu!"

Naima seketika tertawa mendengar ucapan pria tua itu.

"Menolong? Ya ... Anda memang menolong saya, Juragan! Menolong saya untuk m4ti perlahan di tangan Anda!" geram Naima menatap tajam pria tua itu.

Melihat kemarahan Naima, pria tua itu terkekeh pelan, "kalau saja kau mau menuruti permintaanku, kau justru akan hidup enak, J4l4ng,"

"Permintaan Anda yang mana, Juragan? Permintaan Anda untuk saya merelakan tubuh saya untuk Anda itukah?" kekehan Naima kembali mengusik kemarahan Juragan Hamid.

"Kurasa, untuk bernafas dengan baik saja Anda kesulitan, Juragan! Bagaimana mau mengimbangi pernainan saya di r4nj4ng!" ledek Naima dengan mata memerah. Meski bibirnya tersenyum tetapi jelas terlihat kemarahan itu dari matanya.

Plak!

Seketika tanparan keras mendarat di pipi kirinya, membuat Bela memekik ketakutan.

"Banyak b4c0t kau J4l4ng! Kau pikir kau siapa, hah?! Kau mau lihat betapa perk4s4nya pria tua ini, hah?" tantang Juragan Hamid dengan tatapan mengejek. Lalu mengisyratkan dengan tangan agar para anak buahnya mendekat.

"Bawa J4l4ng itu! Dia mau merasakan keganasan seorang Juragan Hamid di atas r4nj4ng!" tawa pria tua itu meledak membuat seluruh tubuh Naima merinding.

Dengan cekatan dua pria itu meneyeret Naima untuk dibawa keluar dari rumahnya.

Naima memberontak, berusaha melawan. Akan tetapi kalah telak karena tubuhnya yang terlampau kecil dibandingkan dengan dua preman yang memegangi lengannya.

Bela menjerit ketakutan, ayahnya yang sejak tadi mendengarkan di kamar keluar meski masih dalam keadaan sakit. Dia berusaha menolong Naima, akan tetapi satu kali tendangan dari anak buah Juragan Hamid yang lain sudah membuatnya tersungkur tak berdaya di depan pintu.

"Lepaskan, B4ngs4t!" jerit Naima ketika tubuh kecilnya dengan mudah diseret paksa.

Kegaduhan tak terelakkan lagi di komplek tempat tinggal Naima, ada yang iba tetapi juga tak bisa melakukan apapun untuk menolong gadis malang itu. Karena para warga sudah tahu bagaimana dan seperti apa Juragan Hamid.

Sebagian besar dari mereka pun pernah merasakan ada di posisi keluarga Naima, yang diperlakukan demikian dan tak bisa berbuat apa-apa untuk melawan.

Jeritan Bela dan ayahnya seolah alunan lagu yang indah di telinga Juragan Hamid. Apalagi umpatan dan jeritan Naima yang begitu indah di telinganya.

Jarak rumah Naima dengan jalan besar cukup jauh, sehingga sepanjang melewati rumah-rumah warga Naima menjadi tontonan. Sayangnya, mereka hanya menonton saja, tak bisa berbuat apapun untuk menolongnya.

Belum sampai di jalan besar di mana mobil Juragan Hamid terparkir, mereka berpapasan dengan dua orang laki-laki yang menghadang mereka. Dapat dipastikan dua orang laki-laki itu bukan berasal dari daerah mereka karena berani sekali menghadang Juragan Hamid yang akan membawa mangsa buruannya.

"Pria tua yang hanya berani menindas rakyat tak berdaya, apakah masih bisa disebut manusia?" ucap salah satu dari dua pria yang berbadan tak kalah sangar dari preman anak buah Juragan Hamid itu dengan sarkas.

"B3r3ngs3k! Siapa kalian?" bentak Juragan Hamid dengan nafas terengah.

"Kedua pria di hadapan Juragan Hamid itu saling tatap dengan senyum mengejek membuat Juragan Hamid dan anak buahnya meradang. Detik berikutnya, baku hantam tak terelakkan lagi, antara dua anak buah Juragan Hamid dengan dua orang asing yang menghadang mereka.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Rencana melapor

    "Nai, kamu ndak kerja?" tanya Sri yang melihat Naima masuk membawakan sarapan untuknya. "Nai berhenti kerja, Bulik, mau fokus sama Bapak dulu." jawabnya lalu ikut duduk di samping Sri. Sri menatap keponakannya itu dengan tatapan bersalah. Dia tahu kalau Hadi dirawat di sana juga karena tadi Naima sudah mengiriminya pesan, jadilah dia tak terkejut saat tiba-tiba Naima ada di sana. "Maafin Bulik, ya, Nduk, kami ndak bisa bantu apa-apa," ucap Sri penuh sesal. "Bulik sudah sangat banyak membantu kami. Justru kami yang minta maaf karena sudah terlalu banyak merepotkan Bulik dan Paklik," balas Naima setulus hati. "Kita keluarga, Nai, sudah seharusnya saling bantu." sahut Sri dan diangguki kepala oleh Naima tanda setuju. Sayangnya, hati Naima mengutuk perbuatan saudaranya yang lain. "Gimana Bapakmu?" tanya Sri menanyakan kondisi Hadi karena memang setelah kejadian semalam dia baru fokus pada suaminya. "Bapak sudah bisa tidur, Bulik, ternyata jahitannya infeksi." terang Naima.

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Dirawat lagi

    Pagi ini Naima bersiap lebih pagi, karena dia akan membawa bapaknya berobat ke rumah sakit. Semalaman bapaknya tak bisa tidur sebab demam tinggi sampai mengigil."Sudah, Bel?" tanyanya begitu melihat Bela keluar dengan membawa tas sedang berisi perlengkapan."Sudah, Kak. Mobilnya sudah datang, ya?" jawab dan tanya Bela. Naima mengangguk sebagai jawaban.Dia segera ke kamar dan membantu bapaknya untuk keluar karena mobil yang dia pesan dengan dibantu tetangga depan rumahnya sudah datang."Pelan-pelan, Pak," peringat Naima saat Hadi hampir saja oleng."Bapak pusing sekali, Nduk," keluh Hadi sambil berpegangan pada kusen pintu."Tahan sebentar, Pak, sedikit lagi saja." ucap Naima menenangkan.Bela datang setelah memasukkan tas ke dalam mobil lalu membantu memapah Hadi untuk segera naik ke mobil.Setelah Naima memastikan pintu rumah terkunci, mereka segera berangkat ke rumah sakit yang sama dimana Tarno juga sedang dirawat Di perjalanan, Naima sempat membalas pesan yang Dewa kirimkan. T

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Musibah

    Naima kembali duduk di samping bapaknya setelah para warga pamit pulang. Tak lupa Naima mengucapkan terimakasih karena mereka sudah berkenan menolong bapaknya."Apa yang sakit, Pak?" tanya Naima khawatir melihat bapaknya meringis memegangi lengannya yang dibebat perban."Ndak apa-apa, Nduk, nanti juga sembuh," jawab Hadi pelan."Apa perlu kita periksa ke rumah sakit saja, Pak?" tawar Dewa yang masih berada di sana."Ndak usah, Mas ... ini tadi sudah dijahit sama Bu Bidan." tolak Hadi lagi."Bagian lain ada yang terluka, Pak?" tanya Naima memastikan lagi."Ndak ada, kalian jangan khawatir!""Kejadiannya gimana, Pak? Kok, bisa Bapak dikeroyok orang tak dikenal?" tanya Dewa pada akhirnya setelah cukup lama ditahan.Bela datang membawakan air putih untuk bapaknya dan segelas teh panas untuk Dewa."Bapak juga ndak tahu, Mas ... tadinya Lek No yang dengar suara ribut-ribut di depan. Terus karena penasaran, kami keluar buat lihat karena kebetulan cuma kami yang masih di teras. Eh, baru sampa

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Jatuh cinta

    "Nai, besok aku pulang ke Jakarta dulu," ucap Dewa saat dalam perjalanan menuju rumah Naima."Mau bilang ke Mami soal rencana pernikahan kita." lanjutnya lagi membuat Naima menoleh ke arahnya."Mas Dewa yakin?" tanya Naima pelan, Dewa menoleh sekilas lalu kembali fokus pada jalanan."Sangat yakin, Nai." jawabnya tanpa ragu."Kenapa?" tanya Naima lagi. Terdengar keraguan dari nada suaranya."Maksud aku, alasan Mas Dewa kukuh mau nikahin aku itu kenapa?" jelas Naima pelan.Dewa meraih tangan Naima untuk dia genggam dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya fokus pada kemudi. Dia tak lantas menjawab pertanyaan Naima, dia memikirkan kalimat yang tepat lebih dulu."Aku gak tahu, Nai," jawabnya singkat.Alis Naima terangkat sebelah membuat Dewa terkekeh pelan melihatnya."Kamu masih ragu, Nai?""Wajar aku ragu, Mas. Kita baru beberapa kali ketemu, terus tiba-tiba kamu seniat itu mau nikahin aku. Aku jadi takut, kalau ternyata aku hanya kamu jadikan pelarian saja." ungkap Naima sejuju

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Jangan mengadu!

    "Eyang rasa itu memang bukan rencana yang buruk, Le, tapi resikonya akan lebih besar lagi kalau kamu melakukan itu." tanggap eyang Surti saat Dewa mengutarakan rencana yang ada di pikirannya."Benar, Dewa ... kita semua tahu seperti apa Mami kamu. Dia bisa marah besar kalau kamu melakukan itu dan dia tahu kami mendukung kamu." sambung Tantri yang juga berada di sana."Lalu Dewa harus gimana, Eyang, Tante?" "Pulanglah, bicaralah sama Mami kamu dengan baik-baik. Katakan kalau kamu sudah menjatuhkan pilihan kepada perempuan lain," saran eyang Surti kepada cucu pertamanya itu."Tapi Mami pasti nolak, Yang,""Coba dulu, Dewa! Jangan terus berpikir negatif tentang Mami kamu, siapa tahu kali ini Mamimu akan mendengarkan kamu." hibur Tantri yang sangat mengerti keresahan keponakannya.Tantri menatap Dewa iba, sejujurnya Dewa adalah anak yang baik. Buktinya selama ini dia selalu menuruti apapun keputusan maminya.Dewa menghela nafas besar, lalu mengangguk samar. Meski ragu, akhirnya Dewa memu

  • TERJEBAK MALAM PANAS DENGAN SANG PEWARIS   Masih ragu

    "Apa yang kamu pikirkan, Sayang?" Naima menoleh menatap Dewa yang entah sejak kapan memandangi dirinya. Semilir angin sepoi menerbangkan rambut Naima sampai ke wajah membuat Dewa terpesona. Sungguh, Dewa merasa tatapannya tak mau berpaling dari wajah ayu Naima.Naima menghela nafas besar, seolah ada beban berat yang saat ini tengah dia pikul."Mas Dewa beneran mau nikahin aku?" tanya Naima menatap dalam mata Dewa.Dewa tertegun sejenak, bahkan setelah dia mengenalkan Naima dengan eyangnya, Naima masih mempertanyakan soal itu."Tentu saja, memangnya ada apa? Kamu keberatan?" ujar Dewa sedikit protes keseriusannya masih diragukan oleh Naima.Naima mengalihkan tatapannya dari Dewa, menatap berbagai tanaman yang bergoyang sebab tertiup angin malam."Enggak, tapi--""Kenapa?" Dewa menggenggam tangan Naima lembut."Mami, Mas Dewa--""Soal itu biar jadi urusan aku. Kamu sendiri dengar 'kan kalau Eyang, Om, Tante juga Lintang akan bantu buat meyakinkan Mami," ujar Dewa mengerti keresahan Nai

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status