Alice sedari tadi memeriksa ponselnya dengan perasaan gelisah. Entahlah, dia hanya berharap, Ella menghubunginya untuk memberikan kabar atau sekedar mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja. Tapi melihat jika ada Daniel yang menjaganya, membuat Alice jadi sedikit tenang. TUK!!!! Ashley mengetukkan ujung map plastik yang dibawanya di meja Alice, membuat Alice tersentak kaget. "Kau ini. Kau ingin membuatku mati terkena serangan jantung apa bagaimana? Aissshhh," Alice meringis kesal dan menatap marah pada Ashley. Hampir saja jantungnya kenapa-kenapa. Suka sekali Ashley mengejutkan Alice seperti tadi. "Kau itu sedang memikirkan apa? Kau terlihat melamun," balas Ashley, lalu mendudukkan bokongnya di atas kursi kerjanya. "Hanya kepikiran hal kecil saja," balas Alice cuek"Cih," desis Ashley kesal tak mendapatkan jawaban yang memuaskannya. Alice menghela napas dengan keras, dalam pikirannya tidak seharusnya dia terlalu memikirkan Ella. Pasti nanti juga akan ada kabar darinya. "Bagai
Alice menerima kertas itu dan melihat daftar dokumen apa saja yang diminta Brilley. Alice mengeluh dalam hati. Pekerjaan mencari dokumen ini sangat tidak disukainya. Selain karena melelahkan juga karena Alice tidak ingin pergi ke ruang arsip yang terkesan menakutkan. "Tunggu apa lagi? Saya butuh sekarang," Nada tinggi Brilley semakin membuat Alice mengeluh. Alice pun berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerjanya. Menunduk menatap jalanan, tanpa ada semangat. Karena banyak rumor yang beredar tentang ruang arsip itu. Ada yang mengatakan berhantu, ada yang sering dengar suara-suara ketika di dalam sana. Ada juga yang katanya melihat sesuatu lewat, seperti bayangan. Dan berbagai rumor lainnya yang semakin membuat ruang arsip jadi terlihat begitu gelap dan suram. Mungkin karena ruangannya sepi dan juga tidak ada yang menjaganya. Walaupun Alice sudah dikatakan sering keluar masuk ruang arsip, namun rumor tersebut cukup membuatnya ketar-ketir, takut jika dia akan mengalami h
BRAKKK!!!!Alice seketika mundur saat pintu tiba-tiba terbuka. Lalu keluarlah sosok yang mendiami ruangan tersebut. "Pa-pak Direktur? Apa yang bapak lakukan di sini?"Tak disangka, orang yang ada di dalam ruangan tersembunyi di ruang arsip ini adalah Ethan. Berarti bunyi gesekan meja tadi itu pasti Ethan kan yang membuatnya. "Alice, kau sendiri sedang apa?" Raut wajah Ethan juga begitu terkejut. Tak menyangka akan bertemu Alice ditempat ini. "Sa-saya mau mencari dokumen," balas Alice masih kaget. Alice pikir memang ada mahkluk tak kasat mata di ruangan ini. "A-apa itu ruangan bapak?" Jantung Alice yang tadi berdetak cepat karena terkejut, kini sudah kembali normal. Ethan tersenyum, "Ini ruangan rahasia. Saya sering datang, biasanya kalau ingin membaca arsip saja, seperti hari ini," Alice membulatkan bibirnya membentuk huruf O, tanpa bersuara. "Ayo, biar saya bantu untuk mencari dokumen yang kau butuhkan," tawarnya sembari tersenyum pada Alice. Wah wah wah. Jadi selama ini s
Ethan merogoh sakunya. Mengeluarkan ponselnya, dan menatapi layarnya seolah ragu ingin menjawabnya, namun detik berikutnya dia menempelkan ponsel itu ke telinga. "Ya?" Ethan terang-terangan menjawab panggilan itu di depan Alice. Alice pun merasa lebih baik menghindar saja, tidak sopan mendengarkan pembicaraan orang lain. Alice menatapi hamparan dokumen-dokumen di depannya, dan mencari dokumen yang Brilley inginkan. Namun sebenarnya telinganya masih dengan tajam mendengarkan percakapan Ethan yang tidak jauh darinya. Hanya kira-kira berjarak tiga langkah saja. "Bagaimana kabarmu? Kau sudah makan?" Alice bertanya-tanya, siapa yang menghubunginya. "Aku baik-baik saja. Jaga kesehatanmu. Aku akan menghubungimu lagi nanti," Alice melirik Ethan yang sudah meletakkan kembali ponselnya ke dalam saku jasnya. Sudah? Secepat itu? Ethan terdengar biasa saja, dan cenderung datar. Tapi tetap terdengar bahwa dia peduli pada orang yang menghubunginya itu. Siapakah gerangan? Alice
"Berikut dokumen yang Anda minta, Ketua Divisi Brilley," Alice menyerahkan beberapa dokumen yang sudah dicarinya bersama Ethan tadi. "Terima kasih," balas Brilley sambil matanya menatap curiga pada Alice. Alisnya bertaut tajam, bibirnya memanyun. Alice merasa gerah ditatapi seperti itu. "Kenapa Ketua Divisi melihat saya begitu?" Brilley menopang dagunya dengan menggunakan tangan kanannya. "Kau baik-baik saja setelah keluar dari ruang arsip? Apa kau tadi tidak membaca grup?" Alice terkekeh. "Saya membacanya. Tapi saya baik-baik saja. Tidak melihat ataupun mendengar sesuatu seperti yang dibicarakan di grup itu," Brilley masih tidak puas dengan jawaban Alice."Kau tidak merasa takut?" Alice menggeleng, "Tidak. Untuk apa merasa takut?" Bohong. Padahal Alice pun menciut nyalinya saat masuk ke ruang arsip tadi, sebelum akhirnya dia tau bahwa ada Ethan di dalam sana. "Baiklah. Terserah kau saja. Sudah, kembalilah ke mejamu," Alice mengangguk dan berbalik badan, namun bibirnya tak
Brilley menarik napas, dan mengatur nada bicaranya yang berapi-api. Sabar, Alice harus sabar. Dengarkan saja dulu ocehan Brilley ini. Memang Alice yang lalai. Memberi alasan pun akan terdengar seperti tong kosong nyaring bunyinya. "Saya sudah cukup bersabar ya Alice. Kalau kau tidak mampu menyelesaikan desainmu, lebih baik kau katakan saja. Apa iya saya perlu untuk selalu mengingatkanmu?" Alice membuka mulutnya hendak berbicara, namun menutup kembali setelah satu ucapan dari Brilley "Saya belum selesai," Alice menghela napas. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia dimarahi oleh Brilley, tapi tetap saja rasanya menyebalkan. "Saya minta maaf karena sudah memarahimu. Tapi apa kau tau bahwa saya juga dimarahi oleh atasan," Ya, seperti inilah rantai pekerjaan. "Kau masih ingin melanjutkan lagi desainmu apa bagaimana?" tanya Brilley masih dengan matanya yang memancarkan emosi, namun bicaranya sudah tidak berapi-api seperti tadi. Alice mengangguk, "Saya sudah mengerjakan s
"Tidak apa. Saya hanya ingin menemanimu," Itulah balasan terakhir dari Ethan, dan Alice pun tidak lagi menanggapinya. Sebenarnya Alice bukan tak ingin diganggu, hanya saja Alice ingin langsung istirahat setelah menyelesaikan desain itu dan mengirimkannya pada Brilley. Dan dengan datangnya Ethan tentu Alice tetap harus menyambutnya, ya walaupun katanya dia hanya ingin menemani saja. Sudahlah, Alice tak mengerti apa yang ada dalam pikiran Ethan. Terserah dia saja, asal dia tidak merepotkan Alice nanti. Tapi ya sejauh ini, Ethan tidak pernah merepotkannya. Justru Alice yang banyak merepotkan pria itu. "Ayo cepat kita pulang. Kau ingin mampir dulu beli makanan atau tidak?" Alice menggeleng, eh tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu. "Ya. Aku mau membelikan Bryana kue kesukaannya. Katakan padanya nanti kalau aku belum sempat mengunjunginya," Ashley mengangguk, lalu mereka segera keluar dari ruang divisi yang di ketuai oleh Brilley ini. Berjalan santai ke elevator yang ternyata sudah
Ha jadi dia serius untuk datang. Alice yang penasaran pun, segera memeriksanya. Pertama-tama dia mengintip dari jendela, untuk melihat siapa yang datang. 'Ya Tuhan. Itu sungguh Ethan' Menyadari bahwa itu memang Ethan, Alice pun sontak membuka pintu. Terlihatlah Ethan yang tersenyum sembari menenteng bungkusan plastik. "Saya bawakan makanan," ucapnya sembari menunjukkan bungkusan itu di depan wajah Alice. Alice melongo. Heran, karena dia kan tidak minta, untuk apa Ethan bersusah payah membawakannya makanan. Alice yang masih terbengong-bengong pun, memberikan jalan pada Ethan agar pria itu bisa masuk. 'Benar-benar tidak bisa ditebak,' pikir Alice, lalu menggaruk belakang telinga kirinya padahal tak gatal. "Kau sebaiknya makan dulu. Setelah itu baru melanjutkan lagi desainmu," Ethan meminta Alice untuk mendekat padanya, memberikan arahan dengan tangannya yang memanggil-manggil Alice. Ahh, kenapa Ethan harus perhatian seperti ini. "Pak Direktur tidak jadi pergi menca