Ella mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih berat. Telinganya mendengar suara familiar yang biasa membangunkan tidur nyenyaknya. Berusaha untuk menyadarkan diri dan membuka mata selebar-lebarnya, sesekali menggelengkan kepala untuk benar-benar menyadarkan dirinya. Suara yang terus berdering-dering memekak telinga berasal dari ponselnya. Ella memang selalu memasang alarm otomatis, sehingga pada jam yang disetelnya akan berdering. Dengan rasa ngantuk yang masih tersisa dalam dirinya, Ella meraba-raba ranjang untuk mencari di mana ponselnya itu. Ketika menemukan benda persegi panjang dan tipis namun harganya sangat mahal itu, Ella langsung mematikan alarmnya. Tangannya dengan kasar mengucek mata, sekaligus membersihkan sisa kotoran mata. Dengan sangat terpaksa, dia pun bangkit dari tidurnya. Lalu meneguk segelas air putih di atas meja yang selalu dia sediakan.Seketika rasa yang menyegarkan langsung memenuhi dirinya. Ella meletakkan kembali gelas ke atas meja, dan mengedarkan pand
"Aku pulang duluan, karena ada urusan lain. Kalian nanti hati-hati di jalan," ucap Ella dengan tergesa sembari berjalan cepat meninggalkan rekan kerjanya yang terbengong-bengong. Mereka yang ada di ruangan itu saling berpandangan, bertanya apakah ada sesuatu pada Ella. Jam baru menunjukkan pukul setengah lima sore, tapi Ella sudah mencuri start untuk pulang lebih dulu. Jika dilihat dari dia yang tergesa-gesa sepertinya memang sedang ada urusan mendesak. Sudahlah biarkan saja. Ella punya sesuatu yang harus diurusnya saat ini juga. Kakinya mengetuk-ngetuk lantai elevator karena tak sabar, benda bergerak tersebut membawanya turun ke lobi perusahaan. Pekerjaannya sedikit terkendala karena dia yang tidak fokus mengerjakannya. Tapi semua sudah dia selesaikan. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Justru yang harusnya dikhawatirkan adalah kelanjutan hubungan Ella dan Daniel. Ting!!!!Pintu elevator terbuka. Setengah berlari Ella keluar dan langsung menuju parkiran yang terletak di luar
"Tetap saja walaupun begitu, kau juga ikut merasakan penderitaan yang sama denganku. Ayahku juga jadi melampiaskan kemarahannya padamu. Kenapa kau masih saja bertahan, Daniel? Aku tidak akan memaksamu tetap tinggal jika kau ingin pergi" Daniel tertegunRaut wajahnya mendadak berubah. Kecewa. Ah apakah hanya perasaan Ella saja ya. "Aku tidak ingin lagi membebanimu dengan perasaanku dan juga tak ingin lagi merepotkanmu atas banyak hal. Aku akan menjaga diriku sendiri. Aku menyadari selama ini, bahwa aku telah membeli kebebasanmu, yang membuatmu mungkin tidak nyaman. Selama ini mungkin bagimu, hidupmu seperti dalam kurungan. Hanya tahu untuk selalu menjaga dan melindungiku, terbebani akan tugas dari ayahku" Ella menarik napasnya. Bicaranya terlalu cepat. Semoga Daniel bisa memahaminya. "Setiap hari aku merasa bersalah telah membawamu dalam kehidupanku, yang seharusnya tak kulakukan. Tapi aku menyadari dengan cepat bagaimana perasaanku terhadapmu dan membuatmu tetap berada di samping
Lelah. Satu kata yang cukup menggambarkan kondisinya saat ini. Namun bukan lelah fisik karena nyatanya fisiknya baik-baik saja. Pekerjaannya juga tidak banyak hingga tak perlu terlalu membuang tenaga. Tapi ya begitulah dia lelah. Alice menghempaskan tubuh rampingnya ke atas ranjangnya yang nyaman. Meregangkan seluruh otot-otot tubuhnya yang menegang. Setelah mandi rasanya sangat menyegarkan. Dalam pikirannya terus berputar-putar tentang pertanyaan Ashley yang sampai saat ini belum bisa dijawabnya. Apakah dirinya mencintai Ethan Hill?Kenapa Ethan justru hadir dalam hidupnya. Jawabannya hanya satu. Takdir!Takdir Tuhan yang membawa Alice bertemu Ethan, dan terlibat dengan pria itu. Semakin Alice menjauhi pria itu, maka mereka akan semakin terikat. Semakin banyak hal terjadi yang melibatkan keduanya. Tentu ini merupakan takdir yang sudah digariskan untuk Alice. Satu hal yang Alice harapkan jika takdir yang sedang dia jalani ini merupakan takdir yang baik. Bertemu dengan Ethan ada
Sangat sangat sangat mewah.Kesan pertama Alice ketika melihat rumah besar Ethan yang ada di hadapannya, sampai membuatnya tanpa sadar menahan napas dan membuka mulut lebar-lebar. Begitu takjub melihat kemegahan rumah Ethan Hill ini. Mata Alice tak bisa berpaling dari campuran desain klasik dan modern dan di dominasi warna putih ini. Begitu elegan dan tampak sangat mewah. "Astaga, Alice. Ini bukan saatnya kau mengagumi rumah ini" lirihnya pelan sembari memukul kepalanya untuk menyadarkan diri. Sambil menelan ludah, Alice hendak menekan tombol bel rumah Ethan. Eh tapi, tiba-tiba pintunya membuka dengan sendirinya bahkan sebelum Alice sempat menekan bel tersebut. Hal pertama yang ada di dalam benaknya adalah betapa kerennya rumah Ethan yang pintunya bisa membuka sendiri. Alice celingak-celinguk melihat ke sekelilingnya apakah ada mata-mata atau tidak. Bagaimana bisa pintunya terbuka sendiri sedang dia belum memberikan tanda akan keberadaannya. Seperti orang bodoh, Alice memutar k
Alice masih berkutat di depan komputer demi-demi untuk memenuhi deadline pekerjaannya. Walaupun jam di dinding kantor sudah menunjukkan pukul sembilan malam, dan rekan-rekan kerja Alice sudah pada pulang semua, tapi tidak menyurutkan niat Alice untuk bekerja lembur hari ini. Alice menghembuskan napas panjang, sebenarnya hal ini tidak akan terjadi jika Alice tidak salah dalam memberikan laporan tentang survei mengenai kepuasan konsumen terkait produk yang baru beberapa bulan diluncurkan. Memang itu bukanlah pekerjaan utamanya, hanya saja karena suatu kejadian, Alice harus juga membuat laporan survei tersebut. "Astaga, ini mulai membuatku muak," lirihnya dalam kehingan ruangan kantor yang tetap terasa nyama walaupun dalam kesendirian. Ruangan kantor yang tertata rapi ini karena ada seseorang yang selalu mengomel mengenai kerapihan suatu tempat. Tidak bisa jika melihat ada barang yang berantakan, atau meja yang acak-acakan, pasti dia akan lan
Alice Winsley sedang menatapi dengan penuh kagum pada seorang pria yang saat ini tengah memasang raut wajah serius tapi tetap memikat. Pria itu, Ethan Hill, dia adalah seorang Direktur Utama di perusahaan tempat Alice bekerja saat ini. 'Ya Tuhan. Mengapa dia begitu tampan? Hatiku rasanya sudah lelah terus meledak setiap kali melihatnya' batin Alice yang semakin menajamkan penglihatannya pada pria itu, Ethan. Walaupun saat ini mereka sedang berada di tengah-tengah rapat evaluasi membahas peluncuran produk baru mereka bulan kemarin, namun Alice dengan beraninya malah menatapi sang Direktur Utama. Alice sepertinya tidak lagi berpikir panjang, bagaimana seandainya ada salah seorang rekan kerjanya memergoki dirinya yang tengah menatapi Ethan Hill dengan mata bulat dan besar, penuh dengan ketertarikan. Seolah semua yang ada di sekelilingnya memudar dan hanya menampilkan pria itu. Dengan bibir tipis dan hidung mancungnya, alis tebal d
"Kau terus menghela napas. Ada apa?" Alice kaget karena mendengar suara nyaring Brilley tepat di telinganya. "Astaga. Apa Ketua Divisi tidak bisa tidak berbicara di telinga saya? Saya sungguh terkejut. Bagaimana kalau saya jantungan? Apa Anda ingin tanggung jawab?" balas Alice ngotot. Brilley terlihat tertawa cekikikan. "Setelah kau bertemu dengan si Iblis Ethan Hill, kau terus menghela napas. Saya begitu penasaran, apa yang sebenarnya kalian bicarakan tadi" Alice lebih memilih untuk mengabaikan ucapan Brilley yang sedang mengorek informasi darinya. Brilley mendadak menatap Alice dari dekat, alis matanya bertaut, melihat Alice dengan pandangan menyelidik. "Pasti ada sesuatu terjadi di antara kalian, bukan? Saya yakin itu," ucapnya dengan nada intimidasi seperti polisi yang tengah menginterogasi tersangka. Alice menggeleng cepat. Bahaya jika sampai ketahuan mengenai hubungan antara Alice dan Ethan Hill. Padahal tidak ada hubungan ap