Share

TERJERUMUS TEMAN KOS
TERJERUMUS TEMAN KOS
Penulis: Call Me Ans

Rumah Bude Mey

“Aku setuju sih,” jawab Alana mengangguk. “Kita berangkat sekarang deh. Mumpung masih sore kan. Kalau pun harus bersih-bersih rumah kita masih ada waktu.”

Pertemuan Zeline dengan dua orang anak kampung bernama Layla dan Alana. Di pelataran masjid waktu sore hari. Pertemuan yang terlalu panjang untuk diceritakan. Tapi satu yang jelas, mereka sepakat untuk hidup bertiga bersama-sama.

Zeline menawari mereka berdua tempat tinggal. Alana da Layla yang baru saja tiba dari kampung kebetulan belum punya tujuan. Sialnya, sebentar lagi hari akan menjelang petang.

Mereka harus segera menemukan rumah kos atau terlantung-lantung di kota orang.

“Mantap,” sahut Zeline sambil mengacungkan jempol. “Lo sendiri La? Masih bingung?”

Layla menggeleng tegas sambil tersenyum. “Alana bener sih. Yok lah berangkat sekarang,” jawabnya sambil melucuti mukenanya. Melipatnya kembali dengan rapi memasukkannya ke dalam tas. Hal yang sama dilakukan juga dengan Alana.

Sementara Zeline masih mengacungkan dua jempolnya sambil meringis memamerkan dua gigi kelinci dan lesing pipinya. Betapa bahagianya perempuan itu kini mendapatkan dua sahabat baru.

Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline tak punya satu pun teman di hidupnya. Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline menyimpan satu rahasia besar tentang hidupnya.

“Eh kalian bawa barang banyak ya?” tanya Zeline lagi setelah dua perempuan itu selesai dengan mukenanya.

“Eng–enggak sih, Zel. Cuma ini, satu koper besar milikku sama dua ransel milik Layla. Kenapa emangnya?” tanya Alana balik.

“Em, gini deh biar kalian nggak kerepotan bawa tiga tas sekaligus. Koper Alana tinggal di atas motor gue aja. Nanti biar gue yang bawa pulang sekalian ambil motor. Kalian bawa dua tas punya Layla aja,” usul Zeline. “Tapi pastiin dulu kopernya nggak ada barang berharganya.”

Membuat dua sahabat itu kembali bertatapan, saling kebingungan, saling minta pendapat.

“Emang nggak hilang nanti Zel? Ya walaupun cuma baju kan itu juga berharga namanya,” protes Layla yang kemudian disusul anggukan Alana mendukung pertanyaannya.

“Udah percaya aja deh sama gue. Nggak bakal ilang, gue janji. Orang gue malahan ninggalin motor tuh,” jawab Zeline meyakinkan. Sambil menyusul mereka berdua berdiri. “Bawa dompet handphone sama barang penting aja udah yakin deh sama gue.”

Akhirnya, mau tidak mau mereka mematuhi Zeline.

Lagi pula kalau dipikir-pikir juga akan merepotkan kalau harus menarik koper besar Alana sambil berjalan melewati trotoar. Terlalu merepotkan juga kalau Layla harus membawa dua tasnya sekaligus. Alana dan Layla juga belum tahu bakal sejauh apa mereka jalan kaki.

Dan harus mereka akui, usul Zeline adalah keputusan terbaik meski berisiko tinggi juga.

Ketiganya kemudian memulai langkah pertama perjalanannya. Berjalan menembus pelataran masjid yang tak terlalu luas. Hanya cukup untuk dua baris motor. Pelataran yang sekaligus jadi kawasan parkir.

Kawasan parkir yang sekaligus wahana bermain anak kecil warga sekitar sini.

Terlihat seperti three angels di dalam box office movie hollywood yang terkenal itu. Tinggi yang badan tidak terlalu beda. Tubuh semampai dan yang penting ketiganya sama-sama cantik.

Dua wajah oriental di Alana dan Layla. Sementara Zeline berwajah perpaduan Indo dan Chinesse . Perbedaan yang mencolok dari ketiganya terlihat di apa yang mereka kenakan.  

Layla tak mungkin bisa mengimbangi apa yang Alana kenakan, apalagi yang Zeline pakai. Kemeja lama yang Layla pakai itu saja sudah yang terbaik yang ia punya. Tidak ada yang lebih baik dari itu. Dipakai hanya di hari raya.

Tapi perawakan Layla lebih bongsor di antara mereka bertiga. Tubuhnya lebih berisi. Lebih padat tidak langsing seperti Alana dan Zeline. Beroto dan berisi karena setiap hari mengayuh sepeda tua peninggalan kakeknya. Entah itu pergi sekolah maupun ke sawah. Keluarga Layla hanya punya satu sepeda unta tua.

Jelas berbeda dengan Alana yang notabene putri semata wayang perangkat desa. Hidup dimanja, bergelimang harta, dan sangat dimanjakan oleh bapaknya. Jangan kan pergi ke sawah, menyapu lantai rumah saja gadis itu tak pernah. Bapaknya punya satu pembantu dan satu tukang kebun di rumah.

Belum lagi Zeline, anak kota itu mana pernah melihat sawah di kota ini. Hanya dengan sekilas melihatnya saja semua orang juga tahu kalau gadis itu punya hidup yang glamor. Bahkan sampai satu jerawat pun tak ada menempel di wajahnya.

Dari tiga perempuan itu sudah jelas Zeline yang paling cantik. Alana paling manis. Tapi Layla punya tubuh yang jauh lebih seksi dibandingkan mereka berdua.

Buktinya mata laki-laki keranjang yang kebetulan melihat mereka bertiga berjalan langsung menyorot ke arah Layla. Menatap perempuan bertubuh menggoda itu sampai tamat.

“Tuh rumah di sebelah, yang pagarnya warna hitam,” tunjuk Zeline setelah dekat dengan tujuan.

Alana buru-buru melirik jam tangannya. Tidak sampai sepuluh menit, hanya sembilan setengah menit lebih sedikit. Bahkan jaraknya dari masjid lebih dekat daripada dari masjid ke kampus. Jika tak ada yang ganjil. Rumah ini adalah pilihan terbaik yang mereka punya. Rumah paling cocok untuk mereka bertiga tempati.

Pagar rumah yang tadinya tidak terlalu tampak kini berdiri menjulang di depan Alana, Layla dan Zeline.

“Bude?” panggil Zeline. Membuka pintu gerbang, berlari ke arah seorang wanita yang tengah menyapu teras rumah itu.

Sementara perempuan yang dipanggil itu melompat kaget. Mengerutkan kening, menyipitkan mata. Tak menyangka akan ketangan seseorang yang dilihat dengan dua mata kepalanya.

Alana yang seakan ingin ikut berlari mengejar Zeline tiba-tiba tertahan. Tangan Layla dengan lembut menarik lengannya. Memutar bola mata, membuat Alana mengurungkan niatnya untuk menyusul Zeline.

“Eh Al, Ak–aku punya firasat nggak baik deh,” bisik Layla di daun telinga Alana yang ada di sebelahnya.

Kalimat yang seketika membuat Alana mengerutkan kening. Heran, tak mengerti apa yang dimaksud temannya dari kampung ini.

“Soal apa?” bisik Alana balik. Tak berani berbicara lebih keras. Tak ingin dua perempuan yang tengah berpelukan di depan sana itu mendengar apa yang mereka berdua bicarakan. “Soal Zeline? Soal budenya? Atau–atau rumah ini?”

Mata Alana tak bisa untuk lepas dari mengamati semua penjuru rumah di depannya ini. Rumah yang tertutup gerbang tinggi. Halaman rumah yang masih beralas paving, tempat mobil sedan keluaran lama terparkir. Persis dipayungi pohon mangga besar yang baru berbunga.

Sementara teras rumah yang tak terlalu luas diisi satu meja dengan empat kursi yang ditata melingkar.

“Iya semuanya, Al. Nggak Zeline, nggak budenya, nggak rumah ini,” jawab Layla. “Sumpah? Masa’ kamu nggak ngerasa aneh sama sekali?”

“Iya aneh sih,” balas Alana. Mengusap dua lengan dengan dua telapak tangannya. “Hehehe ... rada angker ya rumahnya, serem.”

“Alana ...!! Ih bukan itu,” pekik Layla sebal, menekuk wajah. “Soal rumah, rumah ini sih jauh lebih bagus daripada rumahku sendiri. Tapi aku pengen kamu buka mata deh. Ada yang aneh loh sama Zeline.”

Begitu kata terakhir itu keluar dari mulut Layla perempuan yang tengah berbincang dengan budenya itu menoleh. Menatap mereka sebentar sebelum membuang muka ke tempat semula lagi.

Ssstttt ...!!! Jangan kenceng-kenceng ntar dia denger. Udah mau magrib tau! Kita nggak bisa cari rumah lain kecuali besok pagi,” sergah Alana sambil mengatupkan jari telunjuk di depan bibirnya.

Sementara Layla hanya bisa menelan ludah. Membayangkan berbagai hal buruk yang akan menimpa mereka berdua. Meski hanya semalam, bagaimana kalau kesialan itu menimpa mereka?

Sementara itu di depan sana, Zeline sedang kerja keras membujuk perempuan di depannya.

##

“Siapa mereka?” tanya Bude Mey. Matanya menyorot tajam ke mata Zeline. Melipat sepasang tangannya di dada sambil menahan rasa kesal di dalam hatinya.

“Me–mereka?” balas Zeline, sambil memutar pandangannya ke arah dua orang yang tengah berdiri menunggunya di depan pagar.

“Mereka emm ... cuma calon temen kampus Zeline, Bude. Mereka baru datang dari kampung hari ini. Zeline ketemu mereka di masjid tadi,” terang Zeline sebisanya dengan suara yang gemetaran takut.

Bude Mey ini satu-satunya orang yang paling ia takuti. Satu-satunya orang yang tahu rahasia besar di dalam hidup Zeline. Sekaligus satu-satunya orang juga yang mau menolong perempuan itu setelah semua keluarga mencampakkannya termasuk bunda dan ayahnya sendiri.

“Lo jangan macem-macem ya sama Bude. Jangan coba-coba bohong sama Bude. Gua bisa hancurin lo orang dan semua simpanan lo. Ngerti?,” balas perempuan itu sambil mendengus kesal. Menjeda kalimatnya, mencecar Zeline yang tertunduk lesu.

“Sekarang lo jujur sama Bude, siapa mereka? Mau lo apain mereka berdua? Ohhh ... atau jangan-jangan gara-gara ini lo mau banget pinjam rumah Bude? Iya? Ini sebabnya?” lanjut perempuan itu.

Sementara yang bisa dilakukan Zeline hanya bisa menggeleng. “Ak–aku udah bilang Bude. Zeline udah jujur.”

Hanya dua kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Itu pun dengan nada bicara yang terbata-bata. Menahan air mata yang pelan tapi pasti mulai merembes dari bola matanya.

“Dengerin! Lo itu kurang enak apa sih? Apa yang belum Bude kasih buat Lo? Lo minta Bude kasih pinjam rumah, silakan. Lo minta Bude kasih pinjam motor, silakan. Lo minta Bude kasih maaf buat kelakuan lo yang kayak binatang itu juga Bude kasih.” Kalimat perempuan itu terpotong.

“Sekarang lo bawa temen kemari. Emang gue nggak bisa mikir bakal lo apain dua perempuan itu, hah? Lo pikir Budemu ini bego? Jawab!” Perempuan yang jauh lebih tua dari Zeline ini kini berkacak pinggang. Mencecar perempuan di depannya dengan berbagai pertanyaan.

Tapi tiba-tiba Zeline berubah. Dari kepalanya yang tertunduk, Bude Mey bisa melihat wajahnya yang memerah. Napasnya memburu, dan sebentar lagi Zeline mungkin akan menyerang balik.

“Tolong terima mereka,” jawab Zeline datar. Suaranya dingin mengintimidasi perempuan di depannya. Seperti tiba-tiba membalikkan posisinya. Balik menyudutkan Bude Mey yang sedari tadi mencecarnya.

“Tolong terima mereka. Berapa pun bakal gue bayar asal gue punya teman. Denger? Lo boleh tua tapi gue bukan orang yang mau diatur. Ngerti?!”

Zeline yang sudah tidak tahan akhirnya benar-benar mengangkat wajahnya. Menatap perempuan gendut di depannya dengan tatapan tajam. Tatapan singa yang baru lepas dari panggung sirkus. Tatapan buaya yang kelaparan. Tatapan yang membuat perempuan di depannya hanya bisa menelan ludah.

“Zeline, kau ini sebenarnya binatang apa manusia?”

Bersambung ....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status