“Aku setuju sih,” jawab Alana mengangguk. “Kita berangkat sekarang deh. Mumpung masih sore kan. Kalau pun harus bersih-bersih rumah kita masih ada waktu.”
Pertemuan Zeline dengan dua orang anak kampung bernama Layla dan Alana. Di pelataran masjid waktu sore hari. Pertemuan yang terlalu panjang untuk diceritakan. Tapi satu yang jelas, mereka sepakat untuk hidup bertiga bersama-sama.
Zeline menawari mereka berdua tempat tinggal. Alana da Layla yang baru saja tiba dari kampung kebetulan belum punya tujuan. Sialnya, sebentar lagi hari akan menjelang petang.
Mereka harus segera menemukan rumah kos atau terlantung-lantung di kota orang.
“Mantap,” sahut Zeline sambil mengacungkan jempol. “Lo sendiri La? Masih bingung?”
Layla menggeleng tegas sambil tersenyum. “Alana bener sih. Yok lah berangkat sekarang,” jawabnya sambil melucuti mukenanya. Melipatnya kembali dengan rapi memasukkannya ke dalam tas. Hal yang sama dilakukan juga dengan Alana.
Sementara Zeline masih mengacungkan dua jempolnya sambil meringis memamerkan dua gigi kelinci dan lesing pipinya. Betapa bahagianya perempuan itu kini mendapatkan dua sahabat baru.
Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline tak punya satu pun teman di hidupnya. Sebab tanpa Alana dan Layla tahu, Zeline menyimpan satu rahasia besar tentang hidupnya.
“Eh kalian bawa barang banyak ya?” tanya Zeline lagi setelah dua perempuan itu selesai dengan mukenanya.
“Eng–enggak sih, Zel. Cuma ini, satu koper besar milikku sama dua ransel milik Layla. Kenapa emangnya?” tanya Alana balik.
“Em, gini deh biar kalian nggak kerepotan bawa tiga tas sekaligus. Koper Alana tinggal di atas motor gue aja. Nanti biar gue yang bawa pulang sekalian ambil motor. Kalian bawa dua tas punya Layla aja,” usul Zeline. “Tapi pastiin dulu kopernya nggak ada barang berharganya.”
Membuat dua sahabat itu kembali bertatapan, saling kebingungan, saling minta pendapat.
“Emang nggak hilang nanti Zel? Ya walaupun cuma baju kan itu juga berharga namanya,” protes Layla yang kemudian disusul anggukan Alana mendukung pertanyaannya.
“Udah percaya aja deh sama gue. Nggak bakal ilang, gue janji. Orang gue malahan ninggalin motor tuh,” jawab Zeline meyakinkan. Sambil menyusul mereka berdua berdiri. “Bawa dompet handphone sama barang penting aja udah yakin deh sama gue.”
Akhirnya, mau tidak mau mereka mematuhi Zeline.
Lagi pula kalau dipikir-pikir juga akan merepotkan kalau harus menarik koper besar Alana sambil berjalan melewati trotoar. Terlalu merepotkan juga kalau Layla harus membawa dua tasnya sekaligus. Alana dan Layla juga belum tahu bakal sejauh apa mereka jalan kaki.
Dan harus mereka akui, usul Zeline adalah keputusan terbaik meski berisiko tinggi juga.
Ketiganya kemudian memulai langkah pertama perjalanannya. Berjalan menembus pelataran masjid yang tak terlalu luas. Hanya cukup untuk dua baris motor. Pelataran yang sekaligus jadi kawasan parkir.
Kawasan parkir yang sekaligus wahana bermain anak kecil warga sekitar sini.
Terlihat seperti three angels di dalam box office movie hollywood yang terkenal itu. Tinggi yang badan tidak terlalu beda. Tubuh semampai dan yang penting ketiganya sama-sama cantik.
Dua wajah oriental di Alana dan Layla. Sementara Zeline berwajah perpaduan Indo dan Chinesse . Perbedaan yang mencolok dari ketiganya terlihat di apa yang mereka kenakan.
Layla tak mungkin bisa mengimbangi apa yang Alana kenakan, apalagi yang Zeline pakai. Kemeja lama yang Layla pakai itu saja sudah yang terbaik yang ia punya. Tidak ada yang lebih baik dari itu. Dipakai hanya di hari raya.
Tapi perawakan Layla lebih bongsor di antara mereka bertiga. Tubuhnya lebih berisi. Lebih padat tidak langsing seperti Alana dan Zeline. Beroto dan berisi karena setiap hari mengayuh sepeda tua peninggalan kakeknya. Entah itu pergi sekolah maupun ke sawah. Keluarga Layla hanya punya satu sepeda unta tua.
Jelas berbeda dengan Alana yang notabene putri semata wayang perangkat desa. Hidup dimanja, bergelimang harta, dan sangat dimanjakan oleh bapaknya. Jangan kan pergi ke sawah, menyapu lantai rumah saja gadis itu tak pernah. Bapaknya punya satu pembantu dan satu tukang kebun di rumah.
Belum lagi Zeline, anak kota itu mana pernah melihat sawah di kota ini. Hanya dengan sekilas melihatnya saja semua orang juga tahu kalau gadis itu punya hidup yang glamor. Bahkan sampai satu jerawat pun tak ada menempel di wajahnya.
Dari tiga perempuan itu sudah jelas Zeline yang paling cantik. Alana paling manis. Tapi Layla punya tubuh yang jauh lebih seksi dibandingkan mereka berdua.
Buktinya mata laki-laki keranjang yang kebetulan melihat mereka bertiga berjalan langsung menyorot ke arah Layla. Menatap perempuan bertubuh menggoda itu sampai tamat.
“Tuh rumah di sebelah, yang pagarnya warna hitam,” tunjuk Zeline setelah dekat dengan tujuan.
Alana buru-buru melirik jam tangannya. Tidak sampai sepuluh menit, hanya sembilan setengah menit lebih sedikit. Bahkan jaraknya dari masjid lebih dekat daripada dari masjid ke kampus. Jika tak ada yang ganjil. Rumah ini adalah pilihan terbaik yang mereka punya. Rumah paling cocok untuk mereka bertiga tempati.
Pagar rumah yang tadinya tidak terlalu tampak kini berdiri menjulang di depan Alana, Layla dan Zeline.
“Bude?” panggil Zeline. Membuka pintu gerbang, berlari ke arah seorang wanita yang tengah menyapu teras rumah itu.
Sementara perempuan yang dipanggil itu melompat kaget. Mengerutkan kening, menyipitkan mata. Tak menyangka akan ketangan seseorang yang dilihat dengan dua mata kepalanya.
Alana yang seakan ingin ikut berlari mengejar Zeline tiba-tiba tertahan. Tangan Layla dengan lembut menarik lengannya. Memutar bola mata, membuat Alana mengurungkan niatnya untuk menyusul Zeline.
“Eh Al, Ak–aku punya firasat nggak baik deh,” bisik Layla di daun telinga Alana yang ada di sebelahnya.
Kalimat yang seketika membuat Alana mengerutkan kening. Heran, tak mengerti apa yang dimaksud temannya dari kampung ini.
“Soal apa?” bisik Alana balik. Tak berani berbicara lebih keras. Tak ingin dua perempuan yang tengah berpelukan di depan sana itu mendengar apa yang mereka berdua bicarakan. “Soal Zeline? Soal budenya? Atau–atau rumah ini?”
Mata Alana tak bisa untuk lepas dari mengamati semua penjuru rumah di depannya ini. Rumah yang tertutup gerbang tinggi. Halaman rumah yang masih beralas paving, tempat mobil sedan keluaran lama terparkir. Persis dipayungi pohon mangga besar yang baru berbunga.
Sementara teras rumah yang tak terlalu luas diisi satu meja dengan empat kursi yang ditata melingkar.
“Iya semuanya, Al. Nggak Zeline, nggak budenya, nggak rumah ini,” jawab Layla. “Sumpah? Masa’ kamu nggak ngerasa aneh sama sekali?”
“Iya aneh sih,” balas Alana. Mengusap dua lengan dengan dua telapak tangannya. “Hehehe ... rada angker ya rumahnya, serem.”
“Alana ...!! Ih bukan itu,” pekik Layla sebal, menekuk wajah. “Soal rumah, rumah ini sih jauh lebih bagus daripada rumahku sendiri. Tapi aku pengen kamu buka mata deh. Ada yang aneh loh sama Zeline.”
Begitu kata terakhir itu keluar dari mulut Layla perempuan yang tengah berbincang dengan budenya itu menoleh. Menatap mereka sebentar sebelum membuang muka ke tempat semula lagi.
“Ssstttt ...!!! Jangan kenceng-kenceng ntar dia denger. Udah mau magrib tau! Kita nggak bisa cari rumah lain kecuali besok pagi,” sergah Alana sambil mengatupkan jari telunjuk di depan bibirnya.
Sementara Layla hanya bisa menelan ludah. Membayangkan berbagai hal buruk yang akan menimpa mereka berdua. Meski hanya semalam, bagaimana kalau kesialan itu menimpa mereka?
Sementara itu di depan sana, Zeline sedang kerja keras membujuk perempuan di depannya.
##
“Siapa mereka?” tanya Bude Mey. Matanya menyorot tajam ke mata Zeline. Melipat sepasang tangannya di dada sambil menahan rasa kesal di dalam hatinya.
“Me–mereka?” balas Zeline, sambil memutar pandangannya ke arah dua orang yang tengah berdiri menunggunya di depan pagar.
“Mereka emm ... cuma calon temen kampus Zeline, Bude. Mereka baru datang dari kampung hari ini. Zeline ketemu mereka di masjid tadi,” terang Zeline sebisanya dengan suara yang gemetaran takut.
Bude Mey ini satu-satunya orang yang paling ia takuti. Satu-satunya orang yang tahu rahasia besar di dalam hidup Zeline. Sekaligus satu-satunya orang juga yang mau menolong perempuan itu setelah semua keluarga mencampakkannya termasuk bunda dan ayahnya sendiri.
“Lo jangan macem-macem ya sama Bude. Jangan coba-coba bohong sama Bude. Gua bisa hancurin lo orang dan semua simpanan lo. Ngerti?,” balas perempuan itu sambil mendengus kesal. Menjeda kalimatnya, mencecar Zeline yang tertunduk lesu.
“Sekarang lo jujur sama Bude, siapa mereka? Mau lo apain mereka berdua? Ohhh ... atau jangan-jangan gara-gara ini lo mau banget pinjam rumah Bude? Iya? Ini sebabnya?” lanjut perempuan itu.
Sementara yang bisa dilakukan Zeline hanya bisa menggeleng. “Ak–aku udah bilang Bude. Zeline udah jujur.”
Hanya dua kalimat itu yang bisa keluar dari mulutnya. Itu pun dengan nada bicara yang terbata-bata. Menahan air mata yang pelan tapi pasti mulai merembes dari bola matanya.
“Dengerin! Lo itu kurang enak apa sih? Apa yang belum Bude kasih buat Lo? Lo minta Bude kasih pinjam rumah, silakan. Lo minta Bude kasih pinjam motor, silakan. Lo minta Bude kasih maaf buat kelakuan lo yang kayak binatang itu juga Bude kasih.” Kalimat perempuan itu terpotong.
“Sekarang lo bawa temen kemari. Emang gue nggak bisa mikir bakal lo apain dua perempuan itu, hah? Lo pikir Budemu ini bego? Jawab!” Perempuan yang jauh lebih tua dari Zeline ini kini berkacak pinggang. Mencecar perempuan di depannya dengan berbagai pertanyaan.
Tapi tiba-tiba Zeline berubah. Dari kepalanya yang tertunduk, Bude Mey bisa melihat wajahnya yang memerah. Napasnya memburu, dan sebentar lagi Zeline mungkin akan menyerang balik.
“Tolong terima mereka,” jawab Zeline datar. Suaranya dingin mengintimidasi perempuan di depannya. Seperti tiba-tiba membalikkan posisinya. Balik menyudutkan Bude Mey yang sedari tadi mencecarnya.
“Tolong terima mereka. Berapa pun bakal gue bayar asal gue punya teman. Denger? Lo boleh tua tapi gue bukan orang yang mau diatur. Ngerti?!”
Zeline yang sudah tidak tahan akhirnya benar-benar mengangkat wajahnya. Menatap perempuan gendut di depannya dengan tatapan tajam. Tatapan singa yang baru lepas dari panggung sirkus. Tatapan buaya yang kelaparan. Tatapan yang membuat perempuan di depannya hanya bisa menelan ludah.
“Zeline, kau ini sebenarnya binatang apa manusia?”
Bersambung ....
“Maaf?” suara yang keluar dari bibir Alana. Tiba-tiba muncul mengagetkan Zeline dan Bude Mey yang tengah berseteru.Dua orang yang saking sengitnya sampai tak sadar bahwa Alana dan Layla sudah berdiri di sebelahnya. Sudah tidak lagi menunggu di pinggir jalan. Sudah masuk melewati pagar. Berdiri tepat di depan mobil sedan putih klasik milik Bude Mey yang terparkir.“Ada masalah ya, Zel?” tanya Alana ke arah Zeline yang susah payah menahan emosi. Mendengus, meremas tangannya sendiri kuat-kuat. “Kalau misal enggak boleh, nggak apa kok. Aku sama Layla bisa cari kos-kosan lain. Tadi banyak rumah kos yang masih kosong sepanjang jalan.”Bude Mey menatap dua orang asing yang ada di depannya. Menatap dari bawah sampai atas. Menatap dengan benar semua detail mereka. Hanya dari itu saja perempuan patuh baya ini tahu bahwa mereka bukan orang kota.Justru Alana dan Layla lah yang seharusnya ia tolong, bukan Zeline.“Eh, enggak kok Nak. Enggak,” balas Bude Mey dengan menarik senyum terbaik di bibi
Tak banyak yang bisa dilakukan Zeline. Ia hanya butuh uang itu segera. Dan inilah satu-satunya cara yang bisa ia lakukan. Apa pun itu namanya yang jelas Zeline tak akan membiarkan kehilangan merenggut lagi impian yang sudah ada di depan mata.Impian untuk memiliki sahabat.Dari dulu, sejak kecil perempuan hidup tanpa seorang teman. Hidup bergelimang harta dan kaya raya dan membuatnya dijauhi banyak teman. Tak ada yang mau berteman dengannya. Perempuan paling cantik anak orang kaya. Saking kayanya sampai teman sebayanya minder.“Kau melamun lagi sayang?” ucap laki-laki yang ada di depan tubuh Zeline. Menarik mundur tubuhnya sedikit menjauh agar bisa melihat wajah perempuan yang tengah tak menentu itu.Zeline hanya bisa menggeleng. Tanpa ia sadari ternyata sedari tadi laki-laki itu tengah mengamati dirinya. Bahkan hingga tak menikmati apa yang sedang dilakukan Zeline padanya. Tak menikmati pijatan lembut jemari Zeline di batangnya.“Aku ke belakang dulu deh, Om.” Zeline memaksa senyum.
‘AAHHHHHH.....’Bibir Zeline tak bisa lagi menahan desahannya. Persis saat ujung batang itu masuk. Membuka lubang kewanitaannya, membuatnya meringis keenakan.Tidak sakit? Tentu saja tidak.Zeline sudah terbiasa dengan batang besar milik Baskara tak akan kesakitan hanya dengan menampung batang milik Om Firman. Ukuran milik Baskara dua kali lebih besar, dua kali lipat lebih panjang.Tapi apa Om Firman tahu tentang hubungan Zeline dengan Baskara? Tentu saja tidak. Zeline masih menutupi hubungannya dengan pria itu rapat-rapat. Selama ini Om Firman adalah orang yang memnuhi kebutuhan Zeline. Sumber uang yang tak terbatas banyaknya. Tak akan mungkin Zeline memberitahu Om Firman tentang pria itu.“Aaahhh ... itu enak sekali, Daddy! Uuuummmhhh ....,” lenguh Zeline sekali lagi. Membuka kedua pahanya lebih lebar. “AAAHHHH ... Habiskan semuanya, Daddy!”Mendengar kalimat Zeline barusan Om Firman jadi lebih liar. Menyeringai tersenyum miring, menatap perempuan di bawahnya dengan tatapan penuh na
Matahari pagi ini terasa terbit jauh lebih cepat. Sinarnya lembut merambat jatuh ke jari-jari rumput. Tercetak di bulir-bulir sisa embun. Merambat di permukaan dedaunan, aspal yang masih dingin, atau dingin percakapan pagi hari.Ibu-ibu yang berbelanja di depan kompleks perumahan. Anak-anak berseragam merah putih yang sibuk dengan tali sepatu sambil membuka mulut. Bersiap menerima suapan nasi ke sekian kali dari perempuan di sebelahnya.Perempuan yang kemudian menghardiknya karena lagi-lagi bangun kesiangan.Sementara kehidupan justru baru menetas di rumah berpagar hitam dengan pohon mangga besar berdiri tegak menantang langit. Sinar matahari yang berhasil terurai lewat sela-sela daunnya. Jatuh mengetuk jendela kaca
Perempuan itu berjalan hingga depan pintu. Layla seolah ingin benar-benar memastikan bahwa perempuan yang tidur di sofa itu benar Zeline. Masalahnya, dari sekujur tubuhnya dibalut selimut tebal warna biru sampai kepala. Tidur melingkar seperti seambruk jemuran kering yang ditutupi selimut di atasnya.Alana yang tak sabar akhirnya ikut berdiri. Mengekor Layla dari belakang, berjalan berjinjit mengendap-endap sampai di tempat Layla berdiri.“Sssstttt…. !!!!” Layla berdesis menyuruh diam Alana yang gemetaran di belakangnya.“Aku takut, La!” Alana mencengkeram lengan Layla. “Gimana kalau maling? Sudah deh… makanya mending kita cari kos-kosan yang lain saja,” rengeknya.
Di SMA dulu, siapa juga yang tidak kenal Wulan dan Catur. Dua besti yang sering diledek para guru dengan nama CaturWulan. Tapi bukan perkara nama itu yang bikin para guru geleng-geleng kepala. Melainkan betapa seringnya mereka berdua masuk ke kantor BP. Mereka berdua adalah ratunya bikin ulah.Alana yang akrab dengan semua orang sering mendengar cerita-cerita nakal mereka. Mulai dari ikut mabok di hajatan orang kampung sampai yang paling parah, pamer bekas luka di leher mereka. Ya, untuk ukuran anak SMA kelakuan mereka ini aib. Tapi Alana yang polos saat itu tak sungguh-sungguh mengerti apa yang dibanggakan dari bekas merah-merah membiru di leber.Namun pagi ini Alana menemukan jawabannya. Sialnya, belum cukup Alana sempurna menghitung jumlahnya tiba-tiba Zeline membuka matanya.
“Yok berangkat!” ucap Alana sambil dari belakang Layla. Tubuh tinggi rampingnya melompat melewati satu anak tangga yang sekaligus jadi tempat duduk bagi Layla.Perempuan yang masih sibuk mengikat tali sepatunya itu tolah-toleh kebingungan saat tiba-tiba tubuh Alana melewatinya begitu saja. Panik dan berakhir menyudahi ikatan tali sepatunya sembarangan.“Loh ... loh ..., Al. Tunggu !!” pekik Layla menyadari ia sudah ditinggal Alana melenggang.“Nggak mau… “ Alana justru memperepat langkah kakinya. “Kejar aku kalau bisa, La!! Hahaha… “Tubuh kecil Alana sudah hampir sampai pagar depan rumah sebelum akhirnya Layla hampir berhasil menyamai langkah Alana. Me
“Nanti kamu bakal paham, Nduk. Sebaiknya jangan ikut campur urusan orang kalau memang dia tidak minta tolong sama kita. Sebab nggak semua orang seapes atau seberuntung kita. Jadi solusi yang kita kasih tidak serta merta digunakan. Bantu semampumu, jangan terlalu banyak cari tahu apalagi ikut campur tangan ya. Setiap orang punya urusan pribadinya masing-masing.”Terhitung tiga tahun sudah kalimat dari bapak itu didengar Layla. Tiga tahun waktu yang tidak sesingkat yang sekarang Layla rasakan. Layla baru sadar apa maksud kalimat Bapaknya tiga tahun lalu itu sekarang. Kejadian yang dulunya disebabkan cuma karena perkara sepele.Diana adalah teman Layla sekelas yang paling pendiam. Dia tak punya banyak teman, bahkan dari jumlah jari tangan kana Layla masih banyak jumlah jarinya. Diana le