Dengan penuh rasa ingin tahu dan sedikit ketakutan, mereka kembali menelusuri lembar demi lembar buku itu, berharap menemukan jawaban atas misteri yang kini mengikat mereka berdua. Setelah beberapa lembar, mereka menemukan sebuah sketsa yang menggambarkan seorang pria dan wanita berdiri di tepi sungai dengan pemandangan kastil di belakang mereka. Di bawah sketsa itu terdapat tulisan: "Di bawah bulan purnama, sumpah itu terukir. Hanya mereka yang mengingat akan menemukan jalan pulang." "Demi langit yang menyaksikan dan bumi yang menjadi saksi, aku, Julian Astrea, berjanji sebagai pangeran yang tak akan mengingkari kata-kataku. Aku bersumpah dengan segenap jiwa dan raga, dengan darah yang mengalir dalam nadiku, bahwa cintaku padamu adalah keabadian yang tak tergoyahkan. Aku akan melindungi, mencintai, dan berjuang, bahkan jika takdir mencoba memisahkan kita, bahkan jika dunia menentang keberadaan kita. Aku bukanlah pria sempurna, namun hatiku telah memilihmu, dan tidak ada yang da
Pustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja. "Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku
Semakin lama bersama Hina, Arga mulai mengalami kejadian yang tidak bisa dijelaskan. Bayangan dunia yang lain muncul dan menghilang begitu saja, seolah batas antara masa kini dan masa lalu semakin menipis. Saat mereka berjalan bersama di sebuah jalan setapak yang dipenuhi keramaian kota, tiba-tiba, jalanan di bawah kaki mereka berubah. Batu-batu besar menggantikan aspal yang sebelumnya ada. Kereta kuda melintas, orang-orang mengenakan pakaian dari abad ke-19. Arga terperangah, tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, semuanya kembali seperti semula. Hina menggenggam lengannya erat. "Kamu lihat itu juga?" Hina bertanya dengan suara bergetar. Arga mengangguk, jantungnya berdetak kencang. "Apa yang baru saja terjadi?" Hina menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang sama. "Aku juga tidak tahu... tapi ini bukan pertama kalinya." Suatu malam, Arga terbangun dengan tubuh basah oleh keringat dingin. Ia mendapati dirinya berada di sebuah kamar tua dengan perabotan kayu antik, cahay
Setelah keluar dari kafe, Arga dan Hina berjalan menyusuri trotoar kota yang mulai diterangi lampu-lampu jalan. Angin sore berembus lembut, menggoyangkan kelopak lili putih yang masih digenggam Hina. Hina tampak menikmati suasana sekitar. Dia berhenti sejenak, memperhatikan mobil-mobil yang melintas dengan penuh rasa ingin tahu. "Kau bilang ini disebut mobil?" tanyanya sambil menunjuk kendaraan yang lewat. Arga mengangguk. "Ya, kendaraan yang digunakan orang-orang untuk bepergian dengan cepat." Hina menyipitkan mata, lalu menghela napas. "Begitu banyak hal yang tidak kumengerti... Dunia ini terasa sangat asing, tapi anehnya, aku tidak merasa takut." Arga menoleh padanya. "Mungkin karena kau bukan hanya sekadar tersesat. Mungkin... ada sesuatu yang menghubungkanmu dengan tempat ini." Hina menggigit bibirnya. "Aku ingin mengingat, Arga. Aku benar-benar ingin mengingat segalanya. Tapi, setiap kali aku mencoba, rasanya seperti ada dinding tak terlihat yang menghalangi." Arga t
Arga: "Menurutku... mimpi itu bukan soal berhasil atau tidak. Yang penting adalah kita mencoba dan berusaha. Kalau gagal, setidaknya kita tahu sudah berusaha." Hina: tersenyum tipis "Jadi, mimpi apa yang ingin kamu coba wujudkan, Arga?" Arga: menatap lurus ke depan "Aku ingin membangun sesuatu yang bisa bertahan lama. Mungkin rumah, mungkin gedung... atau sesuatu yang lebih dari sekadar bangunan. Aku ingin meninggalkan sesuatu yang bisa diingat." Hina menoleh ke Arga dengan tatapan penuh perhatian. Angin sepoi-sepoi membuat helaian rambutnya sedikit berantakan, tapi ia tidak peduli. Hina: "Itu terdengar seperti mimpi yang indah." Arga: tersenyum "Kalau kamu sendiri? Apa mimpimu?" Hina: tertawa kecil "Aku?" lalu menatap lurus ke depan "Aku ingin hidup bebas. Tidak terikat oleh apa pun. Aku ingin bisa pergi ke mana saja, melihat dunia, dan merasakan setiap momen tanpa harus takut akan masa depan." Arga memperhatikan ekspresi Hina yang tampak serius. Ada sesuatu di matanya
Pria tua itu memperhatikannya dengan seksama, lalu tersenyum tipis. "Kadang, beberapa benda memang membawa kenangan dari masa lalu. Jika kau merasa ada sesuatu dengan cermin ini, mungkin ada kisah yang menunggumu untuk mengungkapnya." Arga memasang wajah curiga pada pria tua itu, seperti menyembunyikan sesuatu, dia dari tadi memasang senyum serius dan selalu memperhatikan Arga dan Hina, mengabaikan pengunjung yang lain. Arga menatap Hina dengan cemas. "Kau mau pergi dari sini?" Hina masih menatap cermin itu, lalu akhirnya mengangguk. "Ya, aku rasa itu ide yang baik." Saat Arga dan Hina akan keluar, pria tua itu memegang pundak Arga dan menghentikannya. "Seorang pangeran akan terus mencari sang putri dan menepati janjinya." Seketika Arga menjadi cemas, melepaskan tangan pria tua itu dan berlari menyusul Hina. Saat mereka melangkah keluar dari toko, Arga menyadari sesuatu sejak mereka masuk ke toko itu, udara di sekeliling mereka terasa lebih dingin, dan ketika mereka keluar, ra