LOGINDi rumah kayu gelap itu, suasana makin pekat seiring cerita Hendrickson mengalir. Angin dari celah dinding membawa aroma tanah basah dan rumput liar, seakan dunia ingin ikut mendengarkan. Arga duduk diam, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah mendingin. Saki memperhatikan setiap perubahan ekspresi Arga, sementara Asta bersandar di tembok, topeng kertasnya menghadap ke lantai seperti sedang mendengarkan juga. Hendrickson berhenti bicara sejenak. Matanya fokus pada Arga, terlalu lama untuk dianggap tatapan biasa. “Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” tanya Arga, canggung. Hendrickson menggeleng perlahan. “Bukan bertanya. Aku hanya mengamati.” “Kenapa?” “Ada sesuatu pada dirimu—cara kau bereaksi saat kusebut nama Julian. Cara napasmu tertahan ketika aku bicara tentang ramalan itu.” Ia menyipitkan mata. “Seolah kau bukan hanya tahu… tapi kau terhubung.” Arga merasakan tubuhnya menegang. Asta langsung berdiri menegakkan badan, seakan situasi berubah penting dalam sekejap.
Rumah ini tampak jauh lebih besar ketika dilihat dari dalam. Letaknya berada di sisi desa terpencil yang berbatasan langsung dengan hutan. Bangunannya terbuat dari kayu tua berwarna gelap, dengan jendela-jendela kecil dan atap yang sedikit miring seperti menahan beban usia. Meski sederhana, ada aura misterius yang menenangkan—serasa tempat yang menyimpan banyak cerita. Hendrickson mengamati Arga lama sekali. “Kau terlihat muda untuk seseorang yang membawa aroma ketakutan sedalam itu,” katanya datar. Arga terdiam. Hanya bisa menelan ludah. Asta tiba-tiba nyeletuk sambil menunjuk Arga. “Dan dia belum bayar jasa penyelamatanku.” “Aku tidak punya uang,” balas Arga lirih, nyaris memohon. “Aku… bahkan tidak punya rumah.” Asta hendak menjawab, tapi… “Asta, jangan nakut-nakutin tamu,” tegurnya sambil menjewer telinga Asta tanpa ampun. “A-Aw! Saki! Sakit!” “Bagus. Biar kapok.” Dia menatap Arga dan tersenyum kecil. “Ikut saja tinggal di sini. Setidaknya sampai kami tahu siap
Arga belum sempat membalas ketika Asta memajukan wajah—atau lebih tepatnya, topengnya—ke depan sambil menunjuk-nunjuk seperti anak kecil yang kehabisan argumen. “Dia tidak punya apa-apa!” ulang Asta keras, suaranya menggema di halaman rumah yang sunyi. “Bagaimana dia mau bayar? Apa dia pikir udara bisa dimakan?!” “Asta.” Nada gadis itu turun setengah oktaf. Tenang, tajam, dan memiliki kekuatan entah dari mana. Asta langsung berhenti bicara. Gadis itu menatapnya sebentar. Lalu… menjewer telinganya. “Au—au—au! Saki! Berhenti! Hentikan! Itu sakit!” Untuk pertama kalinya sejak Arga mengenalnya, Asta berteriak. Tidak berwibawa. Tidak dingin. Murni seperti bocah yang ketahuan bolos. Arga membeku. “Kau… ternyata bisa kesakitan juga.” “Diam kau, ayam hilang kepala!” teriak Asta sambil meringis, berusaha melepaskan diri. Saki mencubit telinganya lebih keras. “Kau tidak mengusir orang yang kau bawa pulang sendiri. Itu aturan rumah. Mengerti?” “A–aku hanya… au! Mengerti! L
Angin malam menyeret bau tanah basah dan serpihan dedaunan yang terinjak tergesa. Arga berlari tanpa menoleh lagi, napasnya memburu, paru-parunya seperti ditekan paksa oleh tangan raksasa tak kasat mata. Hutan di belakangnya masih menyisakan gema teriakan pasukan Kaelius—terdengar jauh, tetapi cukup untuk membuat kakinya terus bergerak. Gemerisik ranting patah mengikuti setiap langkah, dan ujung kaki Arga hampir terpeleset oleh akar yang tersembunyi di bawah semak gelap. Tubuhnya masih bergetar—adrenalin yang berusaha menahan sisa ketakutan dari dunia yang baru saja mengulang dirinya. Dunia yang mengurungnya dalam loop tanpa permisi. Saat akhirnya suara pasukan semakin memudar, Arga menahan napas, menempelkan tubuhnya pada batang pohon besar yang berlumut. Daun-daun berguguran di atas kepalanya, jatuh perlahan seolah tak peduli bahwa dunia Arga sedang runtuh. “Kenapa… balik lagi?” gumamnya, suara nyaris tak terdengar. “Kenapa dari awal lagi…?” Dinginnya angin menusuk, tapi tub
Arga kembali terjatuh dari langit. Angin menghantam tubuhnya dengan kecepatan yang tidak manusiawi, membuat tulangnya seolah tercerabut dari sendi. Dunia berputar. Langit melengkung seperti kubah retak yang runtuh ke arah wajahnya. Tubuhnya memutar, melayang, kemudian kehilangan arah. Sesuatu di dalam telinganya berdenging, keras, menusuk, seperti ada pecahan kaca yang menggores liang terdalam tubuhnya. Dalam kebingungan itu, sebuah ingatan menghantamnya lebih keras dari angin: tali yang menjerat lehernya, teriakan orang-orang, wajah Kaelius yang memudar di kejauhan saat dunia menggelap, napas terakhir yang gagal keluar sepenuhnya. Dan tepat sebelum ia benar-benar tenggelam dalam kematian, sesuatu menariknya kembali—memaksa tubuhnya menuju langit sekali lagi, seperti kejamnya dunia tidak ingin memberinya ketenangan. Ia kembali. Ia terjatuh lagi. Membuka mata di tengah teriakan angin. Dan melihat hutan di bawah sana. Maka begitu tubuhnya menembus dahan pohon pertama, Arga
Penjara Evernight. Nama itu sendiri seakan memiliki beban. Seakan malam tidak pernah berakhir di dalamnya. Lorong-lorongnya sempit, diterangi hanya oleh obor kecil yang nyalanya menari-nari seolah sedang mengejek siapapun yang hidup di dalam kegelapan itu. Dindingnya basah oleh lembap, tetes air menetes dari atas seolah penjara itu sendiri sedang bernapas pelan—pelan seperti predator yang sabar. Arga diseret melintasi lantai batu yang kasar. Pergelangan tangannya terikat kuat oleh tali yang terasa lebih seperti besi daripada serat. Ia masih mendengar gema langkah para prajurit di belakangnya, keras, teratur, dingin. Di setiap langkah itu, ia merasa semakin jauh dari apa pun yang bisa disebut rumah—atau dunia yang ia kenal. Mereka membawanya ke sebuah sel. Bukan sel… itu lebih mirip liang. Sempit. Gelap. Lembap. Tidak ada jendela. Tidak ada jeruji untuk memandang keluar. Hanya sebuah pintu besi berlapis karat yang berderit seperti tenggorokan yang digorok ketika dibuka. Ar







