LOGINPerjalanan menuju pasar Evernight dimulai sejak fajar belum sepenuhnya pecah. Kabut tipis masih menggantung rendah di antara pepohonan ketika Arga mengendalikan kuda tua yang menarik gerobak kayu di belakangnya. Roda berdecit pelan setiap kali melewati batu atau akar yang mencuat dari tanah. Di dalam gerobak, karung-karung kecil berisi hasil dagangan Hendrickson tersusun rapi—herbal kering, kain kasar, alat logam sederhana. Barang-barang biasa. Terlalu biasa untuk menarik perhatian. Ia mengenakan pakaian yang sudah ia sesuaikan semampunya: kaus lengan pendek yang ia kenakan saat pertama kali kesini dibuat berwarna kusam, celana kain tebal, sepatu kulit sederhana. Tapi tetap saja ada yang terasa janggal. Potongannya sedikit terlalu rapi. Jahitannya terlalu simetris. Bagi mata orang-orang Evernight, itu cukup untuk menimbulkan kecurigaan. Ia menghembuskan napas perlahan, mencoba mengingat ulang semua nasihat Hendrickson. Hendrickson tidak bisa ikut kali ini karena dia ada kesibuka
Halaman belakang rumah Hendrickson terletak sedikit lebih rendah dari bangunan utama, seperti cekungan alam yang sengaja dibiarkan apa adanya. Tanahnya padat dan keras, bercampur pasir kasar dan akar pohon tua yang menyembul ke permukaan. Bekas goresan pedang, cekungan pijakan kaki, dan noda gelap yang sudah lama mengering menjadi saksi bahwa tempat itu bukan sekadar halaman—melainkan arena. Arga berdiri di tepi, punggungnya sedikit menempel pada pagar kayu rendah. Dari posisinya, ia bisa melihat keseluruhan lapangan latihan, namun ia merasa seolah berdiri terlalu dekat. Terlalu terekspos. Udara terasa aneh. Tidak berat, tidak panas, tetapi menegang—seperti sebelum hujan badai pecah. Asta dan Saki berdiri berhadapan. Asta bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang lusuh dan ikat kain di pinggang. Topeng kertas yang selalu menutupi wajahnya tetap terpasang, lubang mata itu gelap dan tidak memberi petunjuk apa pun tentang ekspresinya. Pedang di tangannya tidak besar, tap
Hari-hari setelah Arga tiba di rumah Hendrickson mengalir dengan ritme yang asing baginya, namun perlahan terasa masuk akal. Rumah itu berdiri di pinggir desa terpencil, cukup besar untuk ukuran pedesaan, terbuat dari kayu tua dan batu yang disusun rapi. Di sekelilingnya, ladang hijau terbentang, diselingi pepohonan tinggi yang seolah menjadi penjaga bisu antara desa dan hutan. Angin berhembus pelan, membawa aroma tanah basah dan dedaunan—sesuatu yang jarang Arga rasakan di dunia modernnya yang penuh beton dan suara mesin. Setiap pagi, Arga bangun lebih awal dari kebiasaannya. Bukan karena disuruh, melainkan karena tubuhnya seakan menyesuaikan diri dengan dunia ini. Tidak ada suara alarm, tidak ada notifikasi ponsel. Yang ada hanya kokok ayam jauh di kejauhan dan cahaya matahari yang menembus celah jendela kayu. Hendrickson tidak banyak bicara. Pria tua itu bergerak dengan tenang, langkahnya stabil, matanya tajam namun lelah oleh waktu. Ia memperlakukan Arga bukan sebagai tamu, bu
Di rumah kayu gelap itu, suasana makin pekat seiring cerita Hendrickson mengalir. Angin dari celah dinding membawa aroma tanah basah dan rumput liar, seakan dunia ingin ikut mendengarkan. Arga duduk diam, tangannya menggenggam cangkir teh yang sudah mendingin. Saki memperhatikan setiap perubahan ekspresi Arga, sementara Asta bersandar di tembok, topeng kertasnya menghadap ke lantai seperti sedang mendengarkan juga. Hendrickson berhenti bicara sejenak. Matanya fokus pada Arga, terlalu lama untuk dianggap tatapan biasa. “Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?” tanya Arga, canggung. Hendrickson menggeleng perlahan. “Bukan bertanya. Aku hanya mengamati.” “Kenapa?” “Ada sesuatu pada dirimu—cara kau bereaksi saat kusebut nama Julian. Cara napasmu tertahan ketika aku bicara tentang ramalan itu.” Ia menyipitkan mata. “Seolah kau bukan hanya tahu… tapi kau terhubung.” Arga merasakan tubuhnya menegang. Asta langsung berdiri menegakkan badan, seakan situasi berubah penting dalam sekejap.
Rumah ini tampak jauh lebih besar ketika dilihat dari dalam. Letaknya berada di sisi desa terpencil yang berbatasan langsung dengan hutan. Bangunannya terbuat dari kayu tua berwarna gelap, dengan jendela-jendela kecil dan atap yang sedikit miring seperti menahan beban usia. Meski sederhana, ada aura misterius yang menenangkan—serasa tempat yang menyimpan banyak cerita. Hendrickson mengamati Arga lama sekali. “Kau terlihat muda untuk seseorang yang membawa aroma ketakutan sedalam itu,” katanya datar. Arga terdiam. Hanya bisa menelan ludah. Asta tiba-tiba nyeletuk sambil menunjuk Arga. “Dan dia belum bayar jasa penyelamatanku.” “Aku tidak punya uang,” balas Arga lirih, nyaris memohon. “Aku… bahkan tidak punya rumah.” Asta hendak menjawab, tapi… “Asta, jangan nakut-nakutin tamu,” tegurnya sambil menjewer telinga Asta tanpa ampun. “A-Aw! Saki! Sakit!” “Bagus. Biar kapok.” Dia menatap Arga dan tersenyum kecil. “Ikut saja tinggal di sini. Setidaknya sampai kami tahu siap
Arga belum sempat membalas ketika Asta memajukan wajah—atau lebih tepatnya, topengnya—ke depan sambil menunjuk-nunjuk seperti anak kecil yang kehabisan argumen. “Dia tidak punya apa-apa!” ulang Asta keras, suaranya menggema di halaman rumah yang sunyi. “Bagaimana dia mau bayar? Apa dia pikir udara bisa dimakan?!” “Asta.” Nada gadis itu turun setengah oktaf. Tenang, tajam, dan memiliki kekuatan entah dari mana. Asta langsung berhenti bicara. Gadis itu menatapnya sebentar. Lalu… menjewer telinganya. “Au—au—au! Saki! Berhenti! Hentikan! Itu sakit!” Untuk pertama kalinya sejak Arga mengenalnya, Asta berteriak. Tidak berwibawa. Tidak dingin. Murni seperti bocah yang ketahuan bolos. Arga membeku. “Kau… ternyata bisa kesakitan juga.” “Diam kau, ayam hilang kepala!” teriak Asta sambil meringis, berusaha melepaskan diri. Saki mencubit telinganya lebih keras. “Kau tidak mengusir orang yang kau bawa pulang sendiri. Itu aturan rumah. Mengerti?” “A–aku hanya… au! Mengerti! L







