MasukPustakawan itu mengangguk pelan, lalu berbalik menuju rak tinggi di sudut ruangan. Ia mengulurkan tangannya yang keriput, menarik satu buku tua bersampul kulit dari sela-sela buku lain yang tertata rapi. Debu berhamburan saat ia meletakkannya di meja.
"Buku ini mencatat berbagai peristiwa yang sulit dijelaskan di kota ini. Mungkin kalian akan menemukan jawaban di dalamnya." Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, 2 orang yang merupakan laki laki dan perempuan muncul secara misterius di tengah kota. Ia mengenakan pakaian asing dan berbicara tentang masa depan yang belum pernah didengar siapa pun. Beberapa minggu kemudian, ia menghilang tanpa jejak... Hina menggenggam lengan Arga erat. Ini persis seperti apa yang mereka alami, tapi dalam pandangan masyarakat kuno. Arga menoleh dengan mata melebar. "Apa maksudnya semua ini? Apa mungkin kita... terhubung dengannya?" Pustakawan tua itu menutup buku itu perlahan, menatap mereka penuh arti. "Beberapa rahasia sebaiknya tetap tersembunyi. Namun jika kalian memilih untuk menggali lebih dalam... bersiaplah menghadapi konsekuensinya." Hina dan Arga saling bertatapan. Rasa takut menguasai mereka, tapi dorongan untuk mencari kebenaran lebih kuat. Mereka telah melangkah terlalu jauh untuk berhenti sekarang. Arga membuka buku itu dengan hati-hati. Tulisan tangan yang rapi namun memudar memenuhi halaman pertama: Pada tahun 1874, seorang pria dan wanita misterius yang dikenal dengan nama "Sang Penghubung" muncul di kota ini. Ia memiliki kemampuan untuk melihat dua dunia sekaligus-masa kini dan masa lalu. Dikatakan bahwa batas antara waktu menjadi rapuh di sekelilingnya, membuatnya terjebak di antara dua era yang berbeda. Beberapa saksi mata mengklaim melihatnya menghilang begitu saja di jalanan, seolah tersedot ke dalam dimensi lain... Hina menggigit bibirnya, merasakan ketegangan yang semakin kuat. "Arga... ini terdengar seperti apa yang kita alami." Arga mengangguk, jemarinya menelusuri lembaran tua yang terasa kasar. "Kalau ini benar, maka kita berdua memang terhubung diantara dua dunia tersebut. Mungkin ada cara untuk memahami apa yang sedang terjadi." Tiba-tiba, lampu di perpustakaan berkedip-kedip. Hina merasakan udara di sekitarnya menjadi lebih dingin. Pustakawan tua itu memejamkan mata, seolah merasakan sesuatu yang tak kasatmata. "Kalian telah membuka pintu yang seharusnya tetap tertutup," gumamnya. "Berhati-hatilah... sebelum kalian tersesat di dalamnya." Arga dan Hina saling bertatapan. Mimpi buruk yang mereka alami, bayangan yang muncul dan menghilang, suara-suara aneh-semuanya mengarah pada satu kesimpulan. Dunia mereka sedang retak. Dan mereka harus menemukan cara untuk menghentikannya sebelum terlambat. Hina masih penasaran dengan buku yang waktu itu ia temukan di perpustakaan ini, buku tua usang yang tulisannya tidak bisa dibaca oleh mereka berdua. Hina menyentuh buku itu dan mengambilnya, tidak ada apa-apa sekarang, ia lalu membawa buku itu ke sebuah meja dan duduk di kursi sebelah Arga duduk. Saat Hina mencoba membuka buku itu, yang terjadi tiba-tiba dunia di sekitar mereka berubah. Rak-rak kayu perpustakaan yang tinggi lenyap, digantikan oleh dinding berhias ukiran emas. Lantai marmer berkilauan di bawah cahaya lilin dari lampu gantung kristal. Suara dentingan gelas dan alunan musik waltz mengisi udara. Gaun-gaun mengembang berwarna pastel dan jas hitam elegan memenuhi ruangan. Mereka berada di sebuah ballroom besar, seolah terlempar ke dalam era lain. "Arga... di mana kita?" suara Hina bergetar. Dia melirik ke bawah, menyadari bahwa pakaiannya juga berubah. Gaun sederhana yang tadi dikenakannya kini telah berganti menjadi gaun panjang berwarna biru muda dengan renda halus. Arga, yang kini mengenakan setelan tuksedo klasik, hanya bisa menggeleng. "Aku juga tidak tahu..." Dari kerumunan, seorang pria yang tampak mirip dengan Arga melangkah maju. Rahangnya tegas, matanya tajam, dan sikapnya penuh percaya diri. Ia mengenakan setelan berwarna krem dengan ornamen emas di bahunya. Yang lebih mengejutkan adalah wanita yang berdiri di hadapannya-wajahnya identik dengan Hina, hanya saja rambutnya lebih panjang dan tersanggul rapi. "Janji kita tak akan berakhir di sini," kata pria itu dengan nada lembut namun penuh ketegasan. Wanita yang mirip Hina menatapnya dengan mata berkaca-kaca, seolah ada luka mendalam yang ia sembunyikan. Bibirnya terbuka, seakan ingin mengatakan sesuatu, namun sebelum kata-kata keluar, cahaya keemasan menyelimuti pria itu, dan dalam sekejap, ia menghilang. "Tidak!" seru wanita itu, tangannya terulur seakan ingin meraih sesuatu yang tak lagi ada di hadapannya. Hina merasa dadanya sesak, seolah perasaan wanita itu ikut mengalir dalam dirinya. Tiba-tiba, pandangan mereka kabur, dan secepat mereka datang, ballroom itu lenyap. Mereka kembali ke perpustakaan, duduk bersimpuh di lantai kayu, dengan buku tua masih di tangan Hina. Napas Hina tersengal. "Apa... yang baru saja terjadi?" Arga menatapnya dengan serius. "Aku rasa... kita melihat masa lalu." Hina menelan ludah, mencoba memahami kata-kata Arga. "Tapi... kenapa mereka mirip dengan kita? Apakah ini hanya kebetulan?" Arga menggeleng. "Aku tidak yakin. Tapi perasaan yang kurasakan tadi... seperti bukan sekadar penglihatan. Rasanya seperti... bagian dari kita." Hening menyelimuti mereka. Hina memeluk buku itu erat, buku itu sekarang dalam keadaan terbuka dan bisa terbaca oleh mereka berdua, Hina seakan takut jika ia melepaskannya, semua yang baru saja terjadi akan hilang begitu saja. Ia menatap Arga, yang sedang termenung dengan tatapan penuh tanda tanya. "Arga," panggilnya lirih. Arga mengangkat kepalanya. "Ya?" "Kalau memang kita punya hubungan dengan masa lalu itu... bagaimana kita bisa mencari tahu lebih banyak?" Arga diam sejenak, lalu menatap buku di tangan Hina. "Mungkin jawabannya ada di sini. Kita harus membaca lebih jauh." Tanpa ragu, Hina membuka halaman berikutnya. Tulisan tangan klasik memenuhi lembaran kertas berwarna kecoklatan itu. Kata-katanya terasa asing, seperti bahasa kuno, tetapi entah bagaimana, keduanya bisa mengerti setiap kalimat yang tertulis. Pada tahun ke-19 era kerajaan Evernight, seorang wanita bangsawan melanggar sumpahnya demi cinta. Ia bertemu dengan seorang pria dari masa yang berbeda, dan keduanya terhubung oleh takdir yang tak bisa dihindari. Hina menatap Arga dengan mata membelalak. "Ini... seperti menceritakan tentang kita." Arga merasakan jantungnya berdegup kencang. "Jika ini benar, maka kita harus mencari tahu siapa mereka sebenarnya, dan apa yang terjadi pada mereka." Hina menggigit bibirnya, lalu dengan penuh tekad berkata, "Kalau begitu, kita harus menemukan lebih banyak petunjuk. Mungkin ada bagian lain di buku ini yang bisa memberi kita jawaban." Arga mengangguk. "Dan mungkin... ini bukan hanya sekadar kisah masa lalu. Mungkin ini adalah sebuah peringatan."Udara malam itu terasa aneh—seperti ada sesuatu yang menekan dari langit. Langit di luar jendela rumah sakit berwarna abu-abu kebiruan, dan cahaya bulan yang seharusnya menenangkan kini terasa dingin dan menyakitkan di kulit. Lampu di lorong-lorong padam sebagian, hanya menyisakan kelap-kelip kecil dari monitor medis yang masih menyala di ruang rawat. Arga membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Tubuhnya terasa berat, terutama kaki kirinya. Ia mencoba bergerak sedikit—rasa sakit langsung menjalar dari pergelangan hingga ke tulang betis, seperti retakan kecil yang membara. Desahan keluar dari bibirnya. Ia memejamkan mata, menahan sakit. Dalam remang, suara dentuman keras terdengar di atasnya. Suara itu sangat keras hingga membuat telinganya sakit. Arga menoleh perlahan. Di kursi dekat ranjang, Sylvia tertidur dengan kepala bersandar di sisi tempat tidur. Rambutnya berantakan, dan di tangannya masih tergenggam erat selembar kain kecil—handuk dingin yang sejak sore tadi
Udara pagi itu terasa ringan, tapi entah mengapa dadanya begitu berat. Sinar matahari jam sembilan menembus tirai kamar kosnya, jatuh di atas meja tempat buku-buku berserakan. Beberapa halaman masih terbuka, sebagian lainnya terlipat karena terburu-buru. Arga menatapnya sebentar — catatan tentang “ramalan Evernight”, tulisan yang semalam sempat kupelajari sampai larut. Tapi bukan buku itu yang membebaniku hari ini. Ada hal lain. Arga menarik napas dalam, lalu berdiri perlahan. Di kaca jendela, wajahnya tampak lelah. Mata sedikit merah karena kurang tidur, tapi tekad di dalamnya masih sama: aku harus menemukan petunjuk tentang Hina — apapun yang terjadi. Arga menggenggam jaketnya, lalu keluar. Tujuannya pagi itu hanya satu: menemui Sylvia dan melanjutkan pencarian petunjuk tentang Hina. --- Rumah Sylvia terletak di ujung jalan yang dipenuhi pohon ketapang. Arga sudah hafal setiap tikungan di kawasan itu — mereka sudah sering bertemu karena urusan mencari petunjuk tentang
Cermin besar yang kubawa masih bergetar pelan di tanganku, permukaannya memantulkan bayangan wajahku yang kusam. Tapi di balik pantulan itu… sesekali aku melihat sesuatu. Kilatan cahaya, atau mungkin… wajah Putri Hina. Samar, seolah terperangkap di sisi lain kaca. “Yang Mulia Putri… Anda di sana?” Tak ada jawaban. Hanya riak lembut di permukaan cermin. Aku menggigit bibir, menahan emosi yang hampir meledak. Aku telah kehilangan sang pangeran, dan kini sang putri pun terseret oleh kekuatan yang tak bisa kupahami. Namun satu hal pasti—aku masih hidup, dan mungkin itu berarti sesuatu. Mungkin… takdir belum selesai denganku. Kota itu kulihat dari kejauhan—bangunan-bangunan menjulang dengan atap aneh, jalanan dipenuhi kendaraan besi bergerak sendiri, dan orang-orang berpakaian aneh menatapku seolah aku bagian dari sandiwara. Setiap langkahku menarik tatapan. “Siapa orang itu?” “Pakaian cosplay ya?” “Kenapa bawa kaca segede itu?!” Aku tak mengerti apa yang mereka katakan. Bahasa
“Biar kuceritakan.” Hendrickson melangkah maju dan berkata dengan nada kecewa. ---------------------------------------------- (dalam point of view dari Hendrickson) Udara menusuk kulit. Dari jendela besar di ujung koridor, aku melihat api membakar atap rumah-rumah rakyat di bawah sana. Langit seolah ikut menangis—merah, bergetar, dan dipenuhi suara lonceng kematian dari menara kuil. “Yang Mulia…” Suaraku nyaris tak terdengar ketika aku berlari menembus aula menuju kamar utama. Pintu kamar terbuka lebar. Cahaya lilin di dalamnya bergoyang liar, dan di sana—di atas ranjang dengan seprai putih yang kini berlumuran darah—Pangeran Julian terbaring tanpa suara. Aku berhenti. Kedua kakiku seolah kehilangan kekuatan. Udara yang keluar dari paru-paruku terasa berat, seolah aku menelan seluruh kesedihan dunia dalam satu tarikan napas. “Tidak… Yang Mulia…” Tubuhnya tak lagi hangat. Darah di perutnya masih menetes, mengalir di antara lipatan kain yang dulu ia kenakan saat
Perjalanan menuju alamat yang tertulis di kertas itu. Arga berjalan perlahan, membaca kembali alamat itu. Langkahnya membawanya ke sebuah toko cermin yang waktu itu pernah ia kunjungi bersama hina. Toko itu tampak tua, dengan cat yang mulai redup dan lampu yang terus berkedip. Jantungnya berdetak lebih kencang. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya mengangkat tangannya dan mengetuk pintu. Tok. Tok. Tok. Tidak ada jawaban. Arga menunggu beberapa saat sebelum mengetuk lagi, kali ini lebih keras. Hatinya semakin gelisah, takut bahwa tidak ada siapa-siapa di dalam. Namun, sebelum ia bisa mengetuk untuk ketiga kalinya, pintu itu berderit terbuka. Seorang pria berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata tajam. Wajahnya tegas dan sorot matanya menyimpan sesuatu yang membuat Arga merasa seakan pria itu tahu sesuatu yang ia cari. "Kau akhirnya datang," suara pria itu dalam, nyaris seperti bisikan yang terbawa angin laut. Arga terkejut. "Anda... siapa?" Pria itu tidak langsung men
Udara di perpustakaan itu seolah berhenti berputar ketika Arga menatap buku tua yang kini terbuka di depannya. Cahaya dari lentera gantung bergoyang pelan, memantulkan bayangan di wajahnya yang pucat. Tangannya gemetar, tapi matanya tidak berpaling sedikit pun. Ia tahu — jika ia berhenti sekarang, semua yang sudah terjadi, semua yang sudah dikorbankan Hina, akan sia-sia. Arga menarik napas panjang. Dalam hatinya, sesuatu bergetar. Rasa takut, sedih, dan penyesalan berpadu jadi satu… tapi di tengah badai itu, ada satu hal yang tumbuh perlahan—tekad. “Kalau memang ini tentang kami,” gumamnya pelan, “aku harus melihatnya sampai akhir.” Penjaga perpustakaan menatapnya dengan sorot mata yang berat. “Anak muda… pikirkan baik-baik. Takdir tidak selalu bisa diterima tanpa harga. Kadang, mengetahui terlalu banyak justru membunuh bagian dari dirimu yang masih hidup.” Arga menatap balik, dan untuk pertama kalinya malam itu, ia tersenyum. “Kalau bagian dari diriku harus mati de







