Share

RENTETAN KEJANGGALAN

Matanya perlahan terbuka. Rasa sakit di kepala membuat Rengganis melenguh pelan. Meringis seraya memegang kepala, denyutan itu seolah menari-nari di dalam kepalanya.

"Aku kenapa ya? Kok kepalaku tiba-tiba nyut-nyutan gini?" Rengganis semakin bingung ketika pandangannya malah ikutan memburam.

Tangan gadis itu terulur meraih ponsel di atas nakas. Satu pesan masuk dari Riko. Sekelebat pertanyaan dilayangkan Riko kepada Rengganis mengapa ia terus-terusan menolak panggilannya.

Aneh.

Detik itu juga Rengganis menelepon balik si empu. Namun yang ada panggilannya sama sekali tak dijawab.

"Mana mungkin aku nolak panggilan dia, kalaupun dia nelpon, aku pasti jawab."

Rengganis turun dari ranjang, dengan langkah tergopoh-gopoh ia masuk ke dalam kamar mandi. Tampangnya sebelas dua belas seperti gembel, gadis itu mengernyit heran terhadap dirinya sendiri.

"Mukaku kok kayak orang sakit ya?" ganjilnya seraya memejam mata menetralisir rasa pusing.

Sejenak Rengganis memilih untuk menggosok gigi dan mencuci muka. Tetapi kemudian kegiatannya terhenti tatkala mencium aroma tak biasa, aneh dan asing.

Spontan ia menghirup aroma pada tubuhnya, mengerutkan dahi dengan sekelebat pertanyaan di kepala.

"Sejak kapan kamar mandiku jadi ada aroma cowok?" tanyanya.

Mata gadis itu menyorot tajam ke sekitar, harap-harap menemukan sarang keganjilan, namun yang ada hasilnya nihil. Tak ada satupun indikasi yang menunjukkan asal aroma maskulin tersebut.

Usai berbenah, Rengganis lekas bersiap ke kampus. Kala tangan itu meraih gagang pintu, keanehan kembali menggerogoti jiwa gadis tersebut. Matanya terbelalak ketika sebercak minyak melengket di telapak tangannya.

"Ih jorok banget!" serunya dengan raut penuh jijik. Ia mengeluarkan selembar tisu sembari membersihkan tangan beserta gagang pintu itu.

Pertanyaan besar tiba-tiba muncul dibenak Rengganis. Siapa yang melakukannya? Seingat Rengganis, selama ia tinggal, tak ada sekalipun tangan gadis itu dalam keadaan berminyak seperti itu.

Rengganis segera menemui Riko yang sudah menunggunya di pinggir jalan. Pria berperawakan jangkung itu lekas turun dari motor sesaat mendapati keberadaan Rengganis.

"Nis, kamu harus tau berita ini," lontar Riko dengan raut wajah serius menatap Rengganis penuh resah.

"Ada apa, Rik?" Gadis itu mengerjap pelan, jantungnya tanpa sadar memompa cepat, menyadari ada sesuatu tak biasa yang akan diucapkan oleh Riko.

Sekejap Riko menarik napas, lalu mengembuskannya pelan.

"Tukang service yang kita temuin kemarin ... subuh tadi ditemukan meninggal, Nis."

Spontan seluruh otot tubuh Rengganis berubah kaku, detak jantungnya berpacu cepat, napasnya terasa sesak sesaat mencerna ucapan Riko.

Dengan tangan gemetar ia menutup mulut tak percaya.

"Kamu ... kamu pasti bohong, Rik," cicitnya pelan.

Riko menggeleng seraya memperlihatkan judul berita dari ponselnya.

"Kasusnya viral, Nis. Gimana nggak, tubuhnya dimutilasi jadi sembilan bagian," beber Riko.

Netra Rengganis membelalak, mulutnya terbuka, syok berat.

"Ajal beneran ndak ada yang tahu. Yang aku heranin itu kenapa bisa ada toko service di dalam bangunan bekas penyimpanan mayat. Maksudku, apa itu nggak aneh?" tanya Riko dilanjutkan dengan kernyitan tipis di keningnya.

"Apa udah ada yang dicurigain sebagai pembunuhnya?" sahut Rengganis penasaran.

"Katanya bakalan sulit, Nis. Kamu tahu? Semua CCTV di dalam dan di luar TKP tiba-tiba rusak. Pembunuhnya ngerusakin CCTV pake benda tajam, CCTV itu hancur nggak berbentuk," jelas Riko.

Rengganis kembali menggigit bibir dalamnya, entah kenapa perasaan resah menyambar jiwa gadis itu.

Wajah Rengganis berubah pucat seiring napasnya ikut tersengal.

"Rik, kok perasaanku ndak enak, ya?"

***

Satu jam sebelum azan maghrib berkumandang, Rengganis tiba di kos Bu Tejo. Ia mengerutkan dahi sesaat mendapati Bu Tejo beserta dua anak kos lainnya berada di luar sembari memampang wajah penuh cemas.

"Bu, ini kenapa pada di luar?" tanyanya.

Rengganis melirik kilas dua orang lelaki di sebelah Bu Tejo. Menebak bahwa keduanya adalah Joko dan Wisnu, penghuni kamar lainnya yang diceritakan Bu Tejo tempo hari.

"Mbak Trisna Nis ...," jeda Bu Tejo dengan guratan risau di wajah.

"Mbak Trisna kenapa, Bu?" imbuh Rengganis menautkan sebelah alis, tak mengerti.

"Dari siang sampai sekarang, Mbak Trisna ndak kelihatan keluar kamar, kamarnya dikunci dari dalam, kami udah berusaha panggil tapi Mbak Trisna nggak nyahut-nyahut," jelas lelaki berkacamata yang Rengganis yakini adalah Joko.

"Mungkin Mbak Trisna ketiduran?" tebak Rengganis.

"Ndak mungkin, kamarnya udah kita gedor-gedor tapi ndak membuahkan hasil," sahut Wisnu.

"Duh, saya kok jadi gelisah gini. Biasanya Mbak Trisna itu kalo siang keluar ambil jemuran, tuh liat sampai sekarang jemurannya masih dijemur." Bu Tejo ikut menengahi.

Melihat ekspresi orang kos, entah kenapa Rengganis tiba-tiba diserang rasa gelisah. Ia Mengingat terakhir kali bertemu dengan Mbak Trisna tadi pagi, hendak menyapanya ketika pergi kampus.

"Nu, ndak ada cara lain, bantu saya dobrak pintunya," pinta Joko pada Wisnu.

"Bu, ini ndak apa?" izin Wisnu pada Bu Tejo yang langsung diberi anggukan.

Joko dan Wisnu buru-buru masuk diikuti Rengganis dan Bu Tejo dari belakang. Sesampainya di depan kamar Mbak Trisna, Joko memberi aba-aba singkat pada Wisnu.

"Barengan ya Nu, satu ... dua ... tiga!"

Punggung mereka menghantam pintu kamar Mbak Trisna hanya dengan sekali percobaan. Rengganis sedikit tersentak tatkala pintu itu ikut menghantam dinding di sebelahnya.

Gelap. Itulah pemandangan pertama Rengganis tatkala pintu itu berhasil dibuka. Mereka tak dapat melihat apapun di dalam sana, benar-benar tidak ada satu pun penerang.

"Jangan masuk!" lerai Joko sesaat Wisnu dan Bu Tejo hendak memasuki kamar Mbak Trisna.

Rengganis tersentak ketika Joko menepuk pundaknya. Degup jantung gadis itu berdetak dua kali lipat.

"Nyalain senternya," pintanya kemudian.

Dengan tangan gemeter Rengganis mengeluarkan ponsel dari balik saku, mulai menyalakan senter dan mengarakan benda itu ke arah kasur.

Kompak mata itu membelalak, sekujur tubuh mereka berubah kaku mandapati pemandangan mengerikan di depan sana.

"Mbak Trisna!" pekik Bu Tejo histeris.

Lidah Rengganis terasa keluh, ponsel di tangannya jatuh menghantam lantai. Kedua kakinya tak sanggup menopang beban tubuh, hingga kemudian ia terperosot jatuh ke lantai.

"Nggak mungkin, ini pasti hanya mimpi!" cecar Rengganis sambil menggeleng seolah tak terima.

Air mata tanpa sadar jatuh membasahi pipi Rengganis, ia terisak seraya menutup mulut dengan tangan gemetar.

Rengganis masih tak percaya, ia kembali menatap tubuh Mbak Trisna yang terkulai lemas di atas kasur. Dari mulutnya keluar cairan putih, mata wanita itu terpejam, bibirnya pucat pasi.

"Wisnu, cepetan panggil ambulance!" Suara Bu Tejo menggelegar, tangisan wanita itu menghiasi suasana kos yang kian temaram.

Kala azan maghrib berkumandang, sorot mata Rengganis tertuju pada benda kecil di sudut pintu.

Ia mengambil benda itu dengan ragu. Namun belum sampai sedetik, Rengganis spontan berteriak histeris.

"Haaaahhh!!!"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status