Share

TEROR KOS BU TEJO
TEROR KOS BU TEJO
Author: Kabut malam

HARI PERTAMA DI KOS BU TEJO

Rengganis terperanjat bangun dari tidur saat seseorang menggedor paksa pintu kamarnya. Lem yang merekat kedua matanya sontak luntur mendapati sosok Bu Tejo.

"Saya tahu kamu baru sehari di sini, tapi bisa ndak pake air nggak usah heboh, gebyar-gebyur berisik didengar tetangga kos," ucap Bu Tejo.

Berulang kali Rengganis mengerjap mencerna ucapan Bu Tejo, berujung keningnya memahat kerutan tipis.

"Loh, Bu? Siapa yang pake air, orang saya tadi lagi tidur," elak Rengganis menepis tuduhan tersebut.

"Orang suara airnya jelas banget loh, itu Mbak Trisna di kamar sebelah ngeluh nggak bisa tidur. Lain kali lebih diperhatiin lagi."

"Sumpah demi Allah saya nggak pake air, Bu!"

"Jadi kalau bukan kamu itu ulah setan? Iya?" sambar wanita tersebut seraya menggeleng ringan.

Sekejap Rengganis tertegun. Ekor matanya menangkap sosok Bu Tejo yang menghilang dari pandang. Ia mulai menggigit kulit bibirnya, badannya ikut menggigil, segera Rengganis berjalan kembali ke kasurnya.

"Aneh banget, jelas-jelas aku rebahan di sini dari tadi," gumamnya menarik selimut hingga menutupi setengah tubuhnya.

Suasana kos kala itu terbilang sepi. Maklum tetangga kamar di sebelahnya dominan sudah pada bekerja. Bu Tejo berkata dua dari tiga kamar tersebut biasa lembur dan pulang dini hari. Bisa di bilang Rengganis adalah satu-satunya mahasiswi di kosan itu.

"Aku jadi ndak bisa tidur," bisik Rengganis pelan.

Kali ini ia mulai merubah posisi tidurnya ke sisi kiri, di mana jendela menjadi objek matanya bertemu pandang. Suara jam yang berdetak, menghiasi kesunyian di balik kamar miliknya.

Ketika mata gadis itu hendak terpejam, tiba-tiba suara ketukan dari pintu depan kembali menyapa telinga Rengganis.

"Loh, Bu Tejo lagi?" pikirnya sesaat.

Gadis itu berjalan untuk meraih gagang pintu, namun ketika netranya melirik ke arah jendela, tidak ada siapa-siapa di sana.

"Ada yang ngetuk lagi," cetus Rengganis spontan mundur selangkah.

Namun suara kali ini dari pintu belakang, pintu yang menghadap langsung dengan kebun Bu Tejo.

"Kok aneh ya? Kok ada orang yang bertemu lewat pintu belakang?" Sebelah alis Rengganis tertaut memikirkan keanehan tersebut.

Ia memacu kakinya berlari ke pintu belakang, ada keraguan, pikiran Rengganis bertarung, bimbang memilih membiarkan atau justru membukanya.

Bermodalkan nekat, gadis itu memilih untuk menebas rasa penasarannya.

"Sial," decak Rengganis kemudian.

Kosong. Tidak ada siapa-siapa di luar.

Pikiran Rengganis langsung berkecamuk. Kembali menggigiti bibirnya yang tipis. Badannya sedikit maju untuk kembali memeriksa keadaan sekitar.

"Apa jangan-jangan maling?" Refleks Rengganis banting pintu dan menguncinya.

Tidak sampai di situ, sekujur tubuh Rengganis menegang tatkala samar-samar mendengar suara pintu depan dibuka.

Degup jantung Rengganis berpacu cepat, tangannya terkepal seolah menyalurkan keberanian dalam dirinya.

Ketika ia menengok ke belakang, ada sosok perempuan berambut panjang menutupi muka.

"Haaaaahh!"

Spontan Rengganis berteriak menghalang pandang dengan kedua tangannya. Mulutnya terbuka lebar.

Sesosok perempuan berdiri membawa sekop. Air mata mengalir di wajahnya. Isak tangisnya tertahan, keluar dari mulutnya dengan berat dan parau. Ia mengangkat sekop itu tinggi-tinggi, lalu menghujamkannya ke lantai. Mata sekop itu menghancurkan lantai seakan-akan lantai itu adalah daging segar.

Sedetik kemudian tubuh Rengganis terbangun dari tidur lelap. Peluh keringat terukir jelas di wajahnya. Terperangah sebab menyadari itu hanya mimpi belaka.

***

Cuaca pagi itu lumayan cerah, Rengganis memutuskan untuk berangkat kuliah lebih awal.

"Loh, Dek Ganis mau berangkat lagi toh?" sahut Mbak Trisna yang kebetulan lewat.

Raut wajah Rengganis berubah heran. Sesaat ia mulai mengernyit dahi.

"Saya baru mau berangkat, Mbak," balasnya dengan senyuman kikuk.

"Oh ya? Subuh tadi saya dengar pintumu kebuka. Saya pikir kamunya udah berangkat." Mbak Trisna menambahi seiring ekspresi Rengganis bertambah bingung.

"Saya duluan ya, Mbak!" Tanpa menyahuti ucapan wanita itu, Rengganis memilih pergi.

Padahal masih pagi, namun Rengganis malah dibuat resah. Bayang-bayang mengenai pencuri kembali bersarang di kepalanya.

Apa mungkin yang didengar Mbak Trisna benar-benar perampok?

"Eh, Bu! Berhenti bentar!" cetus Rengganis menunda jalan Bu Tejo yang sedang tergesa.

"Aduh! Apaan toh?" tanyanya dengan alis terangkat heran.

Ada perasaan tak nyaman untuk mengatakannya. Namun rasa penasaran menguasai benak gadis itu.

"Saya boleh ngecek CCTV nggak, Bu? Mbak Trisna ngomong ada orang yang ngebuka pintu kamar saya subuh tadi," kata Rengganis.

Sesaat Bu Tejo berdecak. Sebercak kegelisahan juga ikut tergambar di wajah wanita itu.

"Kamu tahu ndak? Semua CCTV pagi ini tiba-tiba rusak," beber Bu Tejo sekilas membuang napas.

"Kok bisa, Bu? Semalam perasaan masih nyala saya liatin," celetuk Rengganis mengingat betul terakhir kali mendapati lampu merah masih berkedip pada benda tersebut.

"Saya pun ndak paham. Malah biaya buat benerinnya nggak murah, saya juga jadi ikutan pusing."

"Ada kemungkinan buat dibenerin ndak, Bu?" tanyanya dengan secuil harapan.

"Saat ini belum, soalnya saya lagi banyak kebutuhan."

Rengganis menghela napasnya sesaat. Bu Tejo melenggang dari pandang. Sementara gadis itu berdecak merutuki kebodohannya.

Pertanyaan mengenai perampok masih berputar-putar di kepalanya. Rengganis sedikit parno jika itu benar adanya.

Suara klakson motor membuat Rengganis sedikit tersentak. Riko, kakak tingkatnya kini memandangnya dengan tatapan penuh heran.

"Ngapain bengong di pinggir jalan?" tanyanya.

Rengganis hanya bisa menggeleng seraya naik ke atas motor.

"Nomormu kenapa dari kemarin dihubungi ndak aktif-aktif?" Riko menyerahkan sebuah helm ke gadis itu, Rengganis langsung memakainya.

"Kemarin disenggol orang, terus jatuh. Untung dia mau bayarin biaya kerusakannya. Nanti singgah di tukang service ya, Ko," pintanya sebelum motor itu benar-benar melesat jauh.

"Bener di sini tempatnya?" sahut Riko tak yakin sesaat menginjakan kaki di sebuah tempat yang sudah terbilang kumuh.

Rengganis berulang kali mengecek kertas kecil yang diberikan oleh orang kemarin kepadanya.

"Iya udah bener kok ini. Ruko nomor 14 lantai 2," jawabnya.

"Rengganis ya?"

Gadis itu terlonjak sesaat mendengar seseorang menyebut namanya. Ia sontak memegangi dadanya yang berdegup kencang.

"I-iya," sahutnya kikuk.

"Ada klien kemarin nitip pesan suruh buat benerin ponsel mbaknya, biaya udah ditanggung ama beliau," ujar pria tersebut.

Rengganis hanya mengangguk dan langsung menyerahkan ponsel miliknya. Sekejab Rengganis maupun Riko hanya bisa terdiam di ruangan yang tidak seberapa besar tersebut. Menunggu hingga ponsel itu benar-benar selesai diperbaiki.

"Ini ya mbak, ponselnya udah normal dan udah bisa digunakan," ucap tukang service menyerahkan ponsel kepada si pemilik.

"Makasih ya, Mas," lontar Rengganis sebelum kemudian meninggalkan tempat tersebut.

Gadis itu mengernyit mendapati raut wajah Riko yang berubah. Dia jadi lebih diam dari biasanya.

"Rik? Mukamu kenapa?" tanyanya.

"Kamu ndak rasa aneh, Nis?" Riko malah bertanya balik. Kepalanya menoleh ke belakang seakan memastikan sesuatu.

"Aneh kenapa?" Ia menatap dengan guratan tak mengerti.

"Kok bisa ya ada toko service di tempat ini." Riko berucap dengan suara kecil namun Rengganis dengan jelas masih bisa mendengarnya

"Memangnya ndak bisa?" Rengganis menyahuti.

"Kamu ndak tau dulunya ini tempat apa?" serobot Riko tiba-tiba.

Rengganis menggeleng dengan sepasang alis tertaut.

"Pembuangan mayat, Nis. Dulu banyak manusia dibunuh di sini," terang Riko dengan wajah penuh keseriusan.

Mendadak tubuh Rengganis berubah kaku. Matanya membelalak bersamaan mulutnya yang terbuka lebar.

"Apa? Ma-mayat?"

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status