Share

BAYANGAN ITU MELINTAS DARI BALIK JENDELA

Tidak sekali dua kali Rengganis melirik arloji di tangannya. Pukul tujuh. Raut wajahnya cemas, setiap beberapa saat mengecek pintu pasien di hadapannya, harap-harap seseorang akan keluar dari sana.

"Ya Allah Mbak Trisna, semoga kamu ndak kenapa-napa." Bu Tejo tak pernah lepas dari doa-doa yang ia rapalkan dari mulutnya. Wanita itu sama sepertinya, hanya bisa berharap Mbak Trisna akan baik-baik saja.

Begitupun dengan dua pria di ujung koridor, mondar mandir dengan raut gelisah, tak peduli dengan tatapan orang-orang kepadanya.

"Bu, saya masih ndak ngerti, kenapa bisa ada pisau lipat di kamar Mbak Trisna," tukas Rengganis.

Pikiran gadis itu berkecamuk setelah kembali dibayang-bayangi oleh benda tajam tersebut.

"Yang pasti itu bukan barang milik Mbak Trisna, Nis," sahut Bu Tejo penuh yakin. "Saya tahu betul seluruh isi kamar di dalam kos, dan Mbak Trisna ndak pernah nyimpen barang kayak gitu."

Rengganis terdiam sesaat.

"Terus punya siapa, Bu? Ndak mungkin pisau lipat itu tiba-tiba ada di kamar Mbak Trisna," imbuh Rengganis.

"Hanya Mbak Trisna yang bisa jelasin hal itu," jawab Bu Tejo sekenanya.

Beberapa saat kemudian, seorang wanita keluar dari kamar pasien. Hal itu menarik atensi Joko dan Wisnu diseberang koridor, keduanya lekas ikut bergabung bersama Rengganis dan Bu Tejo.

"Gimana, Dok?" tanya Wisnu membuka suara. Terlihat jelas mimik wajah khawatir yang diperlihatkan oleh empat orang di tempat itu.

"Pasien positif keracunan makanan. Syukur keracunannya tidak dalam kondisi yang parah. Pasien diperkirakan mengonsumsi makanan beracun sekitar dua atau tiga jam yang lalu," terangnya.

"Alhamdulillah." Terdengar ucapan penuh lega menghiasi koridor ujung tersebut.

Sepintas Rengganis memiringkan sedikit kepala, mencoba mengingat sesuatu.

"Tapi, Mbak Trisna udah dikamar sejak tadi siang 'kan, Bu?" tanya Rengganis melirik Bu Tejo.

Sontak hal itu mengundang perhatian Joko dan Wisnu.

"Yo iya, tapi anehnya di dalam kamar Mbak Trisna ndak ada bungkus makanan apapun, bersih," jawab Bu Tejo baru menyadari fakta tersebut.

"Mbak Trisna terakhir kulihat itu sekitar jam satu, setelah itu ndak kelihatan lagi. Kalo kita asumsikan dia di kamar sejak jam segitu dan udah makan, kira-kira gimana kondisi Mbak Trisna sekarang, Dok?" tanya Wisnu.

"Kemungkinan yang paling besar pasien akan meninggal dunia," beber dokter.

Napas Rengganis tiba-tiba berderuh, oksigen yang masuk ke dalam hidungnya seakan terbatas.

"Daya tayan tubuh pasien terbilang lemah, jika bakteri dibiarkan terus berada di dalam tubuh dengan waktu yang lama, maka bakteri akan masuk ke dalam darah dan menuju ke organ vital. Bisa terjadi keracunan darah yang bisa mematikan semua sistem tubuh pasien," terangnya.

"Itu artinya Mbak Trisna makan sekitar jam empat," tukas Joko. Mengingat wanita itu ditemukan pukul lima kemudian dirawat hingga pukul tujuh.

"Anehnya, jam segitu masih dalam keadaan terkunci di dalam kamar, ndak ada bungkus makanan, tapi tiba-tiba keracunan. Gimana bisa?" Rengganis mengernyit dahi, lirikan mata mengarah pada tubuh Mbak Trisna yang tergeletak di atas ranjang pasien.

"Untuk saat ini pasien dalam proses pemulihan. Bisa kalian tanyakan langsung jika pasien sudah sadar." Wanita berjas putih itu melenggang meninggalkan empat orang dalam keheningan.

"Duh mbak, sebenarnya apa yang terjadi sama kamu," gumam Bu Tejo dengan nada yang terdengar pasrah.

Rengganis kembali mendaratkan diri di atas kursi tunggu. Otaknya berputar memikirkan rentetan kejadian yang menyambarnya hari ini.

Gadis itu meraup wajahnya kasar, napasnya memburu, meringis kembali merasakan kepalanya sakit bukan kepalang.

***

"Bu, saya pamit masuk duluan ke kamar," cetus Rengganis tak dapat menghalau raut penat di wajahnya.

"Langsung istirahat, Nduk," ucap Bu Tejo sebelum kemudian mempersilakan gadis itu berehat.

Rengganis menghela napas berat. Satu tangannya terangkat memijat pelan pangkal hidungnya yang berkedut.

Ia bersama dengan Bu Tejo memutuskan untuk pulang duluan. Selepas melihat keadaan Mbak Trisna yang sudah baikan meski harus rawat inap hingga besok hari.

Sementara Joko dan Wisnu, keduanya sepakat untuk menjaga Mbak Trisna di rumah sakit.

"Ya Allah, kok hari ini berasa berat sekali." Rengganis segera mengunci pintu dan merebahkan diri di atas kasur.

Tatapan matanya tertuju pada langit-langit kamar, seberkas ingatan kembali membawanya pada peristiwa hari ini.

Rengganis bangkit dan memungut pisau lipat di atas nakas. Diamatinya benda itu dengan tanda tanya besar dibenak.

"Aku penasaran dengan pisau ini. Kenapa bisa benda ini ada di kamar Mbak Trisna. Apa ada hubungannya dengan keracunan makanan?" tanyanya dalam sunyi.

Ujung pisaunya seolah habis diasah. Mengkilap dan tajam. Sekali saja menggores tangan, Rengganis yakin darah akan mengucur deras dari balik kulit.

Kala jarum pendek jam berhenti tepat di angka sepuluh, Rengganis masih belum juga terlelap. Matanya seolah tak ingin tertutup, gadis itu sedikit kesal karena harus dibuat terjaga.

“Sssrrrr.”

Hawa dingin tiba-tiba menyelusupi tengkuknya.

Samar terdengar bunyi dari kamar sebelah. Rengganis sangat mengenal irama itu, suara keyboard dari komputer milik Mbak Trisna yang hobby sekali menulis.

“Ah, ndak mungkin," pikirnya.

Jantungnya mendadak berdetak lebih kencang.

Mbak Trisna kan belum pulang, beliau masih harus dirawat hingga besok. Tapi, suara itu tetap terdengar.

"Ada yang ndak beres," celetuk Rengganis sesaat keringat dingin mengucur deras dari keningnya.

Kali ini suara itu berhenti. Memberi jeda beberapa lama. Sialnya, sedetik kemudian terdengar bunyi ketukan yang berasal dari pintu kamarnya.

"Bu? Bu Tejo, bukan?" seru Rengganis mencoba memastikan.

Bersamaan suara itu ikut berhenti. Namun, tak ada sahutan dari Bu Tejo.

Dor... dor... dor...

ketukan pintu mulai terdengar cukup keras. Rengganis ragu untuk membuka pintu, dia mencoba kembali memanggil Bu Tejo, tetapi masih tak ada jawaban.

"Ya Allah, siapa sih?" kesalnya. Jantung Rengganis seperti ingin meloncat keluar.

Tiba-tiba pintu kaca jendela kamarnya diketuk, membuatnya terkejut dan melangkah mundur. Meski berat, rasa penasaran membuatnya memberanikan diri untuk melangkah mendekati jendela.

Sejurus kemudian ketukan berhenti tatkala Rengganis membuka gorden, dan tak menemukan seorang pun di sana.

"Siapa ya? Tolong jangan usil malam-malam!" rutuknya dengan perasaan resah.

Ia menghela napas, tangannya kembali menarik gagang jendela.

Ketika hendak menutup gorden, mendadak sesosok bayangan melintas, mata Rengganis sontak membelalak, mulutnya terbuka lebar menangkap hal itu dengan jelas.

"I-itu apa?" Bibir Rengganis bergetar hebat.

Sekitar tubuhnya semakin terasa dingin, dengan keheningan yang semakin mencekam. Ditambah lagi, dengan suara-suara yang terasa semakin jelas memanggil nama.

“Rengganis ... tolong.”

“Tolong ... tolong saya ….”

Tubuh Rengganis semakin bergetar, dengan perasaan campur aduk.

“B-bu T-tejo, to-tolong …,” panggilnya pelan dengan suara bergetar dan terbata-bata.

Rasanya ia tidak berdaya, bahkan hanya untuk sekedar berteriak minta tolong pada pemilik indekos. Ia terus berusaha mundur ke belakang, berharap bisa lari dari semua ini. Tapi …

Grep!

“Tolong!"

Bersambung...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status