Share

TUNTUTAN MAKHLUK ASTRAL

18 +

POV  :  RONAL

"Bertanggung jawab apa? Tak ada yang perlu aku pertanggungjawabkan!" tolakku dengan membentak. 

"Apakah kamu telah melupakan apa yang kita lakukan di atas ranjang tadi?" tanyanya setelah bangkit dan berdiri dengan menatap tajam ke arahku.

Wajahnya tidak pucat lagi, suaranya pun tidak mendesah seperti tadi.

Kemiripannya dengan Tiwi benar-benar sempurna, bukan lagi bak pinang di belah dua. Benar-benar seperti tubuh Tiwi yang menjadi dua. 

Karena rasa tak percaya, aku sampai berulang-ulang menatap dari wajah Tiwi yang ada dalam pangkuanku, beralih pada makhluk itu dan kembali lagi pada wajah Tiwi. 

Silih berganti, mencari perbedaan yang ada di antara mereka. Tapi nihil! Mereka benar-benar mirip.

Kini hatiku mulai percaya, bahwa yang aku setubuhi tadi bukan istriku. Tapi makhluk itu, yang datangnya entah dari mana. 

Ada rasa jijik dan menyesal dihatiku.

Aku telah melakukannya bukan dengan istriku, tapi dengan makhluk yang tak jelas asal-muasalnya.

Masa pengantin baru kami telah ternoda!

"Tak ada yang pantas untuk aku pertanggungjawabkan padamu!" ulangku menolak dengan nada keras. 

Lagian, apa pula yang perlu kupertanggung jawabkan? Siapa juga yang mau bertanggung jawab terhadap makhluk yang tidak jelas seperti ini? 

Rasa takutku mulai hilang. Mungkin karena penampilannya yang sudah tidak menyeramkan atau karena adanya komunikasi antara kami, aku tidak tahu alasan pastinya.

"Dasar manusia! Mau berbuat, tapi tidak mau bertanggung jawab. Jangan kamu kira hidupmu akan tenang sebelum kamu pertanggungjawabkan apa yang telah kamu lakukan terhadapku!" dia mengancamku.

Tapi, keberanianku telah timbul. Aku tidak takut dengan ancamannya.

‘Mana ada makhluk halus yang bisa membunuh manusia,’ pikirku.

"Pergilah kamu dari sini, hai makhluk terkutuk!" Aku mengusirnya dengan mata melotot.

"Makhluk terkutuk?" Terdengar suaranya serak, wajahnya berubah penuh kemarahan. 

Tiba-tiba dia mengentakkan kaki dan aku merasakan rumah bergetar, layaknya seperti diguncang gempa.

Mataku menunduk menatap Tiwi, khawatir kalau terjadi apa-apa dengannya. 

Ketika pandanganku kembali tertuju pada ruang tengah, kini terlihat sosok wanita muda yang sedang duduk di atas sofa. 

Bukan lagi makhluk yang mirip Tiwi tadi, tapi wanita yang sangat anggun dengan mahkota di kepalanya.

Pakaian yang dipakainya seperti pakaian ratu-ratu di jaman kerajaan masa lalu.

"Apakah pantas kamu katakan diriku makhluk terkutuk?" tanyanya dengan tatapan tajam. 

Memang dengan penampilan seperti itu, dia terlihat begitu bersahaja, cantik, dan sangat mempesona.

Apa lagi suaranya … terdengar datar namun memiliki wibawa. Tapi, aku tidak peduli semua itu. Bagiku, dia adalah makhluk terkutuk yang mengganggu. 

"Enyahlah dari sini! Apa pun bentukmu dan siapa pun kamu, aku tidak peduli! Keluar dari rumahku!" bentakku dengan keras.

"Sungguh manusia serakah. Seharusnya kamu yang harus pergi dari sini. Manusia yang tidak ada etika. Kau yang masuk ke wilayah kekuasaanku tanpa minta izin terlebih dulu. Sekarang kamu telah bersetubuh denganku dan apabila kamu tidak mempertanggungjawabkannya, maka tunggulah pembalasan dariku! Pembalasan dari semua penguasa bukit lampu!" 

Setelah berkata dengan suara yang cukup lantang, dia bangkit dan mengentakkan kaki. 

Rumah kembali seperti di guncang gempa, namun tatapanku tetap mengarah pada makhluk itu, khawatir kalau dia menyerang kami.

Tapi, yang kukhawatirkan tidak terjadi.

Dia terlihat melayang dan hilang seketika. Bersamaan dengan lenyapnya makhluk itu, aku mencium aroma yang aneh. 

Wangi kembang!

Bergegas aku membawa Tiwi ke dalam kamar, lalu membaringkannya di atas ranjang. 

Aku menepuk-nepuk pipi Tiwi sambil memanggil namanya. Namun, Tiwi masih tetap tidak merespons. Sementara tubuhnya semakin terasa dingin dan membuat kekhawatiranku pun semakin bertambah.

Ketika mataku menangkap meja rias, aku baru ingat dengan sesuatu.

Sesuatu yang kemarin dibeli oleh Tiwi, minyak kayu putih.

Aku bergegas ke sana dan segera mencari benda tersebut.

Setelah mendapatkannya, aku mengoleskan ke bagian tubuh Tiwi. Karena tubuhnya yang terasa dingin, aku berinisiatif mengoleskan minyak tersebut pada hampir ke seluruh bagian badan Tiwi. Aroma minyak itu menguar seakan memenuhi seisi kamar.

Setelah selesai, aku kembali memeriksa suhu tubuh Tiwi. Kini, terasa agak hangat. Hatiku merasa sedikit lega. Aku duduk di sisi ranjang sambil memijit telapak kaki Tiwi, berharap agar dia segera siuman.

Walau hati diliputi rasa cemas, namun pikiranku bergerilya pada peristiwa yang baru terjadi. Ada apa sebenarnya dengan rumah ini, tanyaku dalam hati. Apakah di rumah ini ada makhluk astral?

Rumah ini aku beli berapa tahun yang silam, untuk tempat tinggal aku dan Tiwi setelah menikah. Rumah tua yang telah lama tidak ditempati pemiliknya.

Bukan rumahnya yang membuat aku suka, tapi lahannya yang luas. Lokasi rumah ini juga tidak terlalu jauh dari tempatku bekerja. Ditambah lagi, harganya juga cukup murah.

Rumah tua itu aku robohkan. Kemudian, aku ganti dengan bangunan baru. Lebih satu tahun barulah rumah ini selesai dibangun. Beberapa kali aku sempat menginap di sini. Namun, tak pernah terjadi hal yang aneh.

Bahkan, terkadang aku dan teman-teman suka menghabiskan malam di sini. Bila libur kerja dan ingin begadang, tempat inilah yang kami pilih. Karena tempatnya yang tenang dan didukung oleh pemandangan nan indah.

Bahkan di sini, ada sesuatu yang sangat unik. Karena dari rumah ini terlihat jelas lereng bukit yang begitu indah. 

Kalau pagi, mata hari seolah terbit dari sana dan dikala malam.

Bukit itu seperti bercahaya. Orang di sini menyebutnya Bukit Lampu.

Akan lebih indah lagi, kala air rintik-rintik turun dari langit. Bisa dipastikan, pelangi akan menghiasi bukit itu. Dengan warna-warninya membentuk setengah lingkaran dari ujung ke ujung. 

‘Bukit lampu?’

Hmmm ... makhluk tadi mengaku sebagai penguasa bukit lampu. Apakah bukit ada penguasanya? 

Aneh!

Yah, tapi aku pernah mendengar. Bila sesuatu dipercaya orang sebagai tempat yang angker, maka akan muncul embel-embel, bahwa tempat itu ada penguasanya. 

Arwah inilah ... arwah itulah! Tapi ... aku tidak percaya kalau penguasanya adalah arwah. Itu semata-mata ulah jin. Jin yang ingin menyesatkan.

‘Jin?’

Ya, Tuhan ... kalau benar. Berarti aku telah berzinah dengan jin!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status