Share

TAK HABIS PIKIR

Aku pernah mendengar ada genderuwo yang menghamili janda. 

Mungkinkah aku bisa menghamili Jin?

Kalau itu terjadi ...  sial!

Benar-benar sial! Apalagi kalau aku harus mempertanggungjawabkannya.

Sungguh ruwet!

"Hmuahhh ... " Aku dikagetkan oleh lenguhan Tiwi. Dia terlihat menggeliat.

Aku bergeser ke arah kepalanya.

"Tiwi ... Tiwiii!" Aku menepuk pipinya dengan lembut.

"Mass?" Tiwi berteriak memanggilku sambil bergerak duduk dengan cepat dan memelukku dengan erat. 

Tangisnya pun pecah.

"Tenang... tenang Sayang! Tidak ada apa-apa!" ucapku menghibur sambil mengusap-usap punggungnya.

Namun, pelukan Tiwi semakin erat.

Dia tergugu yang membuat rasa kasihan di hatiku semakin dalam.

"Mas, di rumah ini ada hantu!" katanya dengan semakin membenamkan wajah di bahuku.

"Tidak, sayang! Tidak ada hantu di sini! Itu hanya perasaan kamu saja," jawabku berbohong untuk menghibur Tiwi.

Perlahan, aku merenggangkan pelukan.

Kedua tanganku memegang lengan Tiwi dan mendorongnya dengan lembut.

Aku ingin wajah kami saling bertatapan agar aku bisa meyakinkannya bahwa keadaan kami aman-aman saja.

Perlahan, Tiwi mengikuti gerakanku walau isaknya masih terdengar. Tubuh kami semakin menyatu, kepala Tiwi terangkat antara bahu dan leherku.

"Hantu, Mas! Ada hantu di sini!?" Tangisnya pecah lagi sambil membenamkan wajah di bahuku. Kedua tangannya dengan cepat memelukku.

Pelukannya begitu erat membuat aku kesulitan bergerak.

"Tidak ada hantu di sini, Sayang! Jangan takut! Aku bersamamu!" ucapku sedikit panik.

"Hu hu hu ... ii~iituu, Mas! Dekat lemari ... Mas aku takut!?" katanya dengan terbata-bata di sela tangis. Aku menoleh ke belakang, ke arah lemari.

‘Astaga!’ Dengan terkejut, aku memutar tubuh, sehingga badanku dan Tiwi sedikit bergeser.

Kini, aku berhadapan dengan makhluk itu. 

Aku menatapnya dengan rahang mengeras. Mungkin karena marah, kesal atau takut ... entahlah! 

Ternyata, ketika Tiwi mengangkat kepalanya tadi, pandangannya membentur makhluk menyeramkan yang membuat istriku semakin ketakutan.

Di dekat lemari makhluk itu berdiri, seperti pocong. Dia menyeringai ke arah kami. Sebelah wajahnya hancur, sehingga tulang pipinya terlihat memutih dikelilingi cairan kental berwarna coklat kemerahan. 

Sementara wajahnya yang sebelah lagi terlihat utuh, namun ada sayatan yang menganga di sana.

Dari bekas sayatan itu mengalir darah segar yang menetes pada kain putih yang membalut tubuhnya. 

Terlihat kain putih di bagian dada kirinya basah oleh darah yang berwarna merah kehitaman. 

Makhluk itu menyeringai mempertontonkan giginya yang runcing dengan mata melotot seperti akan jatuh dari rongganya.

Tubuhku langsung mendingin dan seluruh bulu terasa berdiri melihat makhluk sejelek itu. Jujur ... aku takut!

"Ayo, Mas! Kita pergi dari sini! Aku tidak mau lagi di sini!?" teriak Tiwi sambil memukul punggungku dengan tangannya yang terkepal. Tangisnya semakin keras dengan tergugu.

"Iya, Sayang! Ki … kita akan segera pergi dari sini," jawabku gagap. Mungkin karena panik mendengar tangisan Tiwi.

Aku bergeser, berusaha turun dari ranjang dengan tubuh Tiwi yang masih menempel di badanku. Pergerakanku sedikit terganggu oleh Tiwi, apalagi aku merasa tanganku gemetar.

"Ayo, sayang berdiri!" pintaku ketika aku telah turun dari tempat tidur. Tiwi menurunkan kakinya dari ranjang dengan wajah masih terbenam di dadaku.

Sekejap, aku melirik pada makhluk yang diam mematung dekat lemari.

Ketika mata kami beradu, makhluk itu membuka mulutnya. Sangat lebar, bahkan dagu makhluk itu bergerak turun sampai ke dada. 

Makhluk tersebut menjulurkan lidah dengan mata melotot ke arahku. Lidah itu sangat panjang tapi seperti dipenuhi borok. Di borok itu terlihat begitu banyak binatang kecil yang menggeliat. Belatung....

‘Sumpah!’

Aku benar-benar takut, sehingga tubuhku berkeringat.

Aku membuang pandangan ke arah pintu.

Di samping pintu itu, ada meja rias Tiwi. Mataku menangkap kunci yang tergeletak di atas meja rias tersebut.

Tangis Tiwi belum juga reda sambil meratap mengajakku untuk secepatnya pergi dari rumah ini.

Tak ada pilihan ...

Daripada menghadapi teror makhluk terkutuk itu. Lebih baik aku enyah dari sini.

"Pejamkan matamu, Sayang!" pintaku pada Tiwi. Aku tidak ingin Tiwi melihat lagi makhluk yang mengerikan itu.

Dengan sigap, aku mengangkat Tiwi dan memindahkannya ke atas bahu kananku.

Untunglah, tubuh Tiwi sangat ramping dengan berat tidak sampai lima puluh kilo, sehingga aku tidak begitu kesulitan memanggulnya. 

Kalau tubuhnya sebesar Atun adiknya Si Dul, pasti aku lebih memilih mati ketakutan dalam kamar ini daripada memanggul tubuh sebesar itu. 

Dengan dibebani tubuh Tiwi, aku bergegas keluar setelah menyambar berapa kunci di atas meja.

Ketika melewati ruang tengah, mataku sempat melirik sofa panjang.

Kosong, tidak ada apa-apa di sana.

Dengan sedikit berlari, aku memasuki ruang tamu dan bergegas ke arah pintu.

Walau agak repot dengan tubuh Tiwi, tapi aku berhasil membuka pintu. Angin malam menerpa tubuh kami ketika daun pintu tersibak. 

Dinginnya serasa menusuk tulang. Namun, aku tidak peduli! Dalam pikiranku, aku harus segera sampai ke garasi.

Ketika akan mengunci pintu, gerakkanku tertahan karena mendengar suara senandung dari arah kiri.

Aku menoleh ke arah suara itu dan melihat sosok wanita bergaun putih dengan rambut panjang, duduk di bawah pohon rambutan. Wajahnya tertutup oleh sebagian rambut yang riap-riapan.

Aku memutar tubuh, bergegas menuju garasi. Berusaha mengacuhkan mahkluk bergaun putih itu. Bahkan aku tak peduli lagi dengan pintu rumahku yang belum terkunci.

Sekali lagi aku harus kerepotan untuk membuka garasi mobil, karena Tiwi masih berada di atas pundakku.

"Tiwi ... turun dulu, Sayang! Aku kerepotan membuka garasi," pintaku pada Tiwi.

"Tapi aku takut, Mas!" isaknya kembali berubah menjadi tangis.

"Ya, sudah ... sudah! Jangan menangis," pintaku.

Kemudian aku mulai membuka gembok pintu garasi.

"Tokek ... tokek ..." Hampir saja kunci lepas dari tanganku karena dikagetkan oleh suara tokek yang berbunyi tiba-tiba. 

Benar-benar sial!

"Suara apa itu, Mas?" tanya Tiwi di sela isak.

"Tak usah takut! Itu suara tokek," jawabku. Mataku mengarah ke arah pohon rambutan yang ada di pojok halaman sebelah kanan. Karena suara tokek itu seakan berasal dari sana.

‘Astaga!’

Jantungku seakan mau copot, melihat sosok makhluk yang bergelantung di salah satu dahan pohon rambutan. 

Tubuhnya seperti anak kecil berumur enam tahunan.

Dia bergelantung dengan kepala ke bawah. Kedua kakinya terlipat menyangkut pada dahan, itulah yang membuat tubuhnya tidak jatuh ke bumi. 

Kepalanya sedikit terangkat menatap ke arahku dengan bola mata berwarna merah menyala.

Mulutnya terbuka menyeringai mempertontonkan giginya yang kecil tapi runcing dan berwarna hitam. Kakiku gemetar dan tubuh seakan kehilangan tenaga.

Aku limbung seperti mau jatuh.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status