Share

Bab 5. Tuduhan Keji

Author: Mini Yuet
last update Last Updated: 2023-07-12 08:14:30

Sudah sebulan ini aku ikut dengan Mbak Desi. Arsyad juga sudah mulai sekolah di kampung suamiku. Seperti biasa aku yang memegang pekerjaan di rumah seperti bersih-bersih, cuci piring, mencuci baju Mbak Desi sudah menjadi tugas sehari-hari. Sebenarnya perasaanku jengkel, marah, benci tapi tidak berdaya karena aku masih punya anak kecil sementara Mas Dani masih sibuk dengan dunianya. Dia jarang pulang bahkan seminggu sekali dia pulang tanpa membawa hasil. Perlahan perhiasan yang aku pakai satu persatu harus aku jual untuk menutup kebutuhan makan sehari-hari.

Bahkan mulut Mbak Desi juga sering terdengar pedas di telinga sementara Mbak Sih selalu memamerkan makanan dan buah yang enak untuk anakku. Selama tinggal bersama Mbak Desi aku hanya menelan ludah dan menyimpan kekecewaan ini. Dia selalu menyimpan makanan enak di kamar tanpa membagi.

Hingga suatu siang pada saat pulang dari sekolah dengan badan yang penuh dengan tanah anakku pulang sambil menangis. Sepertinya dia habis berkelahi dengan temannya.

“Ada apa, Sayang?” tanyaku menghampiri putra sulungku.

Arsyad tidak langsung menjawab. Dia hanya menangis.Langsung kuhampiri dan memeluknya.

“Di sekolah mereka menghinaku, Bu,” kata Arsyad di sela tangisnya.

“Menghina bagaimana?” tanyaku mencoba mengorek keterangan dari Arsyad.

“Iya mereka menghina. Katanya Bapak itu tukang kawin, tukang mabuk dan judi. Emang bener ya Bu?” tanya Arsyad memandang mataku.

“Ya sudah jangan didengarkan. Namanya juga anak kecil. Mereka tahu apa? Yang penting sekarang kamu ganti baju, cuci tangan terus nanti makan ya,” ujarku kembali menghibur Arsyad.

"Besok aku nggak mau sekolah Bu.”

“Lho kenapa?”

“Aku malu ketemu dengan teman-teman.”

“Enggak apa-apa. Siapa yang menghina kamu nanti Ibu yang samperin?”

“Itu si Denis anak yang gendut itu setiap hari menghina.”

“Ya sudah nanti biar Ibu samperin ya bilang sama bapaknya,” kataku menghiburnya.

“Yang penting besok kamu sekolah. Nggak usah dengerin omongan anak lain,” ujarku.

Aku segera masuk ke dalam rumah Mbak Desi dan menggantikan baju Arsyad dengan baju rumah kemudian aku kembali menggendong Zaki yang semakin gendut saja. Hanya dia untuk saat ini yang menjadi hiburanku. Baru saja aku tenang dengan kehidupanku mendadak Mbak Desi berteriak dari dalam kamar.

Teriakannya sangat kencang. Sambil menggendong Zaki aku masuk ke dalam dan menanyakan pada dia.

“Ada apa Mbak? Kok wajahnya panik seperti itu?” tanyaku ketika menjumpai Mbak Ira dalam kamarnya.

“Dek Minah tau tidak uangku yang ada di sini?” tanya Mbak Desi.

“Uangnya berapa Mbak?” tanyaku ingin tahu.

“Aku menyimpan uang di sini tuh 500 ribu. Kok sekarang nggak ada. Siapa yang ngambil ya Dek? Padahal yang di rumah kan cuma Dek Minah.”

“Lho Mbak Desi seolah menuduhku. Aku ndak pernah masuk ke kamar Mbak Desi. Sehari-hari di luar ya masak, nyuci piring, nyuci baju,” kataku membela diri.

“Ya aku ndak tahu. Pokoknya uangku yang di sini hilang. Terus siapa yang ngambil?” tanya Mbak Ira dengan mata yang melotot.

“Kalau Mbak Desi tidak percaya bisa bongkar tasku,” kataku sambil menunjukkan tas yang ada di kamar.

“Sekarang maling itu pinter ya Dek. Dia bisa menyembunyikan uang itu di mana saja.”

“Duh siapa yang mengambil. Perasaan dari pagi itu ada,” gerutu Mbak Desi sambil membuka kasur dan bantal. Biasa dia menyimpan uang di tas yang sangat dirahasiakan. Mendadak uangnya hilang tanpa bekas.

“ Mbak Desi, saya numpang di sini. Sumpah saya nggak tahu apa-apa,” kataku membela diri.

“Kok semenjak kamu tinggal di sini uangku sering ngilang loh Dek Minah. Yang 20 ribu kadang 50 ribu. Sebenarnya siapa yang ngambil?"

“Mbak Desi sudah tanya ama Dimas?” tanyaku.

“Jadi kamu malah nuduh anaku yang ngambil, Dek?”

“Bukan Mbak. Siapa tau dia yang melihat atau menyimpan. Aku jadi tidak enak tinggal di sini,” kataku.

“Terus gimana ini?Di mana uangku?”

“Masak saya harus mengganti. Saya tidak punya uang. Saya juga masih punya bayi,” kataku.

Sambil mencoba menenangkan Zaki yang menangis.

“Sekarang memang tidak aman kalau bawa uang,” gerutu Mbak Desi.

Mungkinkah diambil Dimas, anaknya Mbak Desi yang pengangguran itu. Memang kerjaannya lontang-lantung tidak jelas. Merokok dan makan bahkan baju kotornya juga tidak mau mencuci.

Setelah menuduhku mengambil uangnya, Mbak Desi seperti marah dan meninggalkan rumah. Aku hanya menangis dan masuk dalam kamar Dimas.

“Ya Allah, begini amat kehidupanku. Sudah numpang masih punya anak kecil. Sudah melakukan apa saja masih dituduh. Apa aku harus pergi dari rumah ini saja ya. Aku tidak tahan berada di sini,” batinku.

Air mata yang sejak tadi aku tahan akhirnya bercucuran, aku menyeka dengan ujung selendang. Menunggu Zaki tidur dalam gendongan kemudian aku meletakkannya di atas tikar. Setelah Zaki tidur aku segera ke dapur milik Mbak Ira. Semuanya berantakan. Baju kotor tidak pernah ada yang mencuci.

Selesai membersihkan rumah aku duduk sebentar sambil menonton televisi. Dari luar terdengar Mas Dani datang bawa sepeda motor.

“Dari mana Mas, kok baru pulang?” tanyaku singkat kepadanya.

“Biasalah Dek nyari sampingan. Gimana kemarin tawaranku agar kamu mau kerja ke luar negeri?” tanya Mas Dani.

“Aku belum siap Mas. Zaki kan masih kecil Mas. Masih 2 bulan. Gimana mau tinggal keluar kerja. Dia masih minum ASI.”

“Gampang. Kalau kamu mau keluar negeri nanti aku yang ngurus. Kebetulan aku mempunyai tenaga penyalur,” kata Mas Dani.

“Kenapa aku yang harus keluar negeri. Mas kan sebagai kepala keluarga harusnya tanggung jawab dong.” suaraku mulai meninggi.

“Siapa yang tidak mau kerja Dik. Aku cuma mengarahkan kerjaan. Sekarang tuh lagi susah kalau kamu bisa bekerja sama kan harusnya bisa dengan aku.”

“Terus Zaki dengan siapa Mas? Dia masih kecil masih menyusui. Mbak Ira juga sangat sibuk.

“Ya nanti aku nyari yang momong Zaki. Pokoknya kamu mau saja,” paksa MasDani.

“Nggak Mas, jangan paksa aku.”

“Mau mikir dulu kamu tuh. Kok jadi wanita nggak bisa diatur. Jadi ini kan untuk masa depan kita.

“Tapi tidak harus aku ke luar negeri kan, Mas. Kamu bisa bekerja sementara kamu menganggur, tidur sedangkan aku harus bekerja. Lihat aku disini sudah seperti babu menjadi pembantu di rumah kakakmu. Aku juga manusia Mas.”

“Pikirkan sekarang aku sedang menganggur kamu tidak punya uang lalu kita mau makan dari mana?”

“Mas Dani kan suamiku. Mas punya anak dua. Masa aku harus mikir harus nyari uang,” ucapku dengan keras.

“Dasar kamu itu tidak nurut sama suami!?’ kembali Mas Dani mendorong tubuhku hingga terjerembab ke lantai. Hanya air mata yang keluar dari mataku ini

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 121. Akhir Sebuah Perjalanan( Tamat)

    Setelah bulan madu selama dua hari, aku dan Dimas pulang ke rumah. Aku juga menjemput Zaki. Kemudian mengantar semua saudaraku. Dimas memberikan uang saku untuk emak dan Delia serta saudara yang lain. "Minah, emak pulang dulu ya," pamit emak sambil memelukku. "Iya Mak. Maafkan Minah karena tidak bisa mengantar pulang.""Ndak apa-apa, Nduk. Yang penting kalian bahagia. Dan segera mendapatkan momongan," ujar emak. "Nak Dimas, titip Minah ya. Dia sudah banyak menderita. Kini saatnya dia bahagia," ujar emak menatap Dimas. "Iya Mak. Doakan kami segera mendapatkan momongan lagi. Biar Zaki punya adik," ucap Dimas sambil mengelus perutku. Aku hanya tersenyum dan menggelendot manja di pundak Dimas. Mobil travel yang disewa sudah datang. Semua oleh-oleh sudah dimasukkan ke dalam mobil. Hanya lambaian tanganku mengiringi kepulangan emak. Aku akan menepati janjiku padamu, Mak. Membawamu ziarah ke tanah suci. Zaki sudah berlari ke ruang bermain dengan ditemani Mbak Dian. Dimas mengambil pega

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab. 120.Menikmati Malam Pertama

    Pak Dikin menurunkan koper kecil yang sudah aku siapkan untuk bulan madu. Yaitu baju ganti Dimas dan baju gantiku. Yang paling utama adalah baju tidur yang dibelikan Dimas untukku. Warna merah muda sesuai dengan kulitku yang putih bersih. Dimas juga aku bawakan piyama tipis. Ada juga obat untuk Dimas. Serta peralatan make up.Sampai di penginapan sudah pukul sembilan malam.Dimas memberikan tips untuk Pak Dikin serta berpesan agar dia selalu siap jika dibutuhkan.Aku dan Dimas bergandengan tangan memasuki penginapan itu. Lalu mengunci dengan rapat. Tercium aroma yang wangi dari dalam rumah itu. Penuh dengan bunga-bunga. Kami menuju kamar yang sudah disulap menjadi kamar pengantin.Dimas duduk di ranjang memberikan kode membantuku melepas gaun pengantin. Dengan sabar dia membuka kancing dan kerudung yang aku pakai. Setelah itu aku memakai baju yang sangat tipis.Aku berdiri menghadap ke arah Dimas. Tidak memakai pakaian dalam sama sekal

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 119. Akhirnya Sah

    Hari yang kutunggu akhirnya sudah tiba. Kami memilih hari Minggu untuk mengadakan ijab qobul di rumah Dimas. Acara yang cukup sederhana tapi tentunya sangat berkesan. Keluargaku juga sudah datang sejak sabtu siang. Rombongan satu bis kecil. Emak, Delia dan suami serta anaknya. Wawan, istri dan anak-anaknya juga serta Mas Nono dan Mbak Ningsih yang turut aku undang. Tetangga yang ada di komplek perumahan dulu aku mengontrak juga aku undang. Termasuk Mpok Ros dan yang jual sembako. Agar mereka tau apa yang dituduhkan dulu tidak terbukti justru aku kini dipersunting oleh pasienku sendiri.Rumah Dimas yang megah sudah ramai dengan petugas catering yang bertugas untuk melayani para tamu undangan. Aku meminta tidak memakai adat manapun. Biar normal saja yang penting pernikahan lancar dan sah. Oma juga sudah dandan dengan baju warna merah dengan sanggul yang sangat cantik. Namun, aku tidak melihat keluarga besar Dimas datang di acara pernikahanku dengan Dimas. Mereka yang tidak datang yang t

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 118. Persiapan

    Dimas mengajak aku dan anak-anak keliling kota Semarang tentu aku sebagai penunjuk jalannya. Walaupu tidak sepenuhnya tahu seluk beluk kota Semarang. Kami menikmati makanan yang dijual di pinggir jalan kota lama. Menikmati indahnya kota itu dengan bangunan kuno dan bersejarah. Apalagi setiap akhir pekan akan ramai dikunjungi banyak orang. Dari pasangan muda mudi hingga keluarga besar yang membawa anak-anaknya. Pun sama denganku. Aku menggamit lengan Dimas sebelah kiri sementara tangan kanannya memegang tongkat. Walaupunn sudah sembuh tapi jalannya masih belum begitu tegak. Sementara Pak Dikin beralih profesi sebagai pengasuh anak-anaku. Bahkan dua anaku sangat bahagia menganggap Pak Dikin kayak kakeknya. Arsyad masih menjumpai kakeknya waktu kecil sedangkan Zaki belum pernah bertemu dengan kakeknya.Karena waktu itu dia masih di dalam kandungan.Kami menikmati suasana malam itu. Juga membeli es krim dan foto bersama. Hingga sampai pada sebuah restoran kecil yang menjual soto khas semar

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 117. Menunggu Hari Itu

    Sore hari rombongan kami sudah sampai di kampungku. Ada perasaan campur aduk ayng menghentak-hentak rasaku. Kampung di mana sebuah cita-cita yang dulu pernah bersemi dan mulai mekar. Namun, semua itu harus layu sebelum berkembang. Memasuki gerbang desa, aku tidak bisa menahan air mataku. Luruh begitu saja. Dimas yang melihatku menangis segera memeluk pundakku seolah memberikan kekuatan. Pria yang bermata sipit dan wajahnya sangat bersih itu begitu sangat perhatian. Aku layaknya putri buruk rupa yang mendapatkan calon suami pangeran tampan rupawan karena telah berjasa menyembuhkan dia. "Pak, belok ke kiri ada rumah yang berwarna biru, itu rumah adikku," ujarku menahan isak. Arsyad rupanya tahu kalau akan bertemu dengan simbahnya. Karena sejak aku kerja di luar negeri dia memang tidak pernah bertemu dan diajak menengok simbahnya yang di kampung. Tetangga Delia yang melihat mobil bagus dengan plat mobil Jakarta keluar dari rumah seolah ingin tahu siapa yang datang. Tiba di depan ruma

  • TERPAKSA AKU PERGI,MAS   Bab 116. Melupakan Masa Lalu

    Sudah 3 bulan berlalu masa iddah aku juga sudah selesai. Sementara tinggal di rumah yang disewakan Dimas. Setiap hari aku harus berangkat ke rumah Dimas untuk merawat dan melakukan terapi sedangkan Zaki dimasukkan ke sekolah PAUD yang dekat dengan rumah Dimas. Sekolah yang termasuk sekolahnya orang kaya dan kebanyakan adalah warga keturunan Cina.Walaupun Dimas sudah berpindah keyakinan menjadi seorang muslim tapi Oma tetap baik dengan Dimas dan aku juga sangat sayang dengan Nyonya Veronica.Dia sangat baik dan hormat denganku apalagi saat ini Dimas semakin hari sudah mulai bisa berjalan. Pagi dan sore aku membantunya berjalan di taman belakang . Dia perlahan mulai melepaskan tongkat penyangga di tubuhnya terkadang seperti anak kecil yang berjalan setapak dua tapak dan aku menanti di depan. Akhirnya dia memelukku karena tubuhnya yang terlalu besar. Aku tidak sanggup menahan hingga terjerembab ke rumput taman. Wajah Sakti sangat bahagia apalagi dia akan kembali bekerja di perus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status