“Aku membutuhkan saranmu,” ungkap Ariana pada Prisha, setelah menceritakan serunya pengalaman bekerja di medan konflik sebagai relawan medis. pada Prisha. Prisha baru saja menidurkan bayinya dalam ranjang mungil berpagar. Ia memandang Ariana dengan serius.“Pak Dokter bilang, Akak kelihatan galau.”“Kalian udah punya bayi, kamu masih memanggil Gavin pak dokter?” Ariana mengernyit.Prisha mengedikkan bahu. “Udah kebiasaan. Susah ngubahnya.”“Terserahlah.” Ariana mengganjur napas. “Oke, Kak Ariana mau curhat atau minta saran apa?”“Kamu tau, aku awam soal cinta.”Prisha mengangguk. Ia teringat semua curhatan Ariana, saat ia masih dibimbing sepupu Gavin itu di rumah sakit. Ariana semakin terbuka ketika mendampingi Prisha dirawat inap gara-gara percobaan pembunuhan waktu itu.“Dokter Salman akhirnya meminangku.”“Alhamdulillaah ....” Prisha tersenyum lebar. Ia bersiap mengucap selamat dan memberi pelukan hangat, tapi urung tatkala menemukan wajah mendung Ariana.“Tapi kurasa ... aku tak
Tatkala Salman menyampaikan hasil pembicaraannya dengan Ariana, Dokter Farid dan Dokter Adinda terbelalak tak percaya dan nyaris kehilangan kata-kata.“Bukankah papanya sudah merestui? Mengapa Ariana malah menolak?” Dokter Farid tak habis pikir. “Kamu dulu emang sangat keterlaluan. Aku kasian sekali pada Ariana. Ia sampai berusaha hijrah agar jadi calon istri shalihah yang engkau mau. Terlepas dari niatnya yang kurang tepat, gadis itu gigih sekali. Sepertinya sekarang ia sudah lebih matang dan dewasa.” Dokter Adinda mengungkapkan pandangannya. “Sepuluh tahun menyukaiku, apakah waktu satu tahun sudah cukup baginya untuk melupakanku?” Salman tak rela dilupakan begitu saja. Sebelah hatinya masih berharap Ariana berubah pikiran.Saat itu, malam minggu. Mereka bertiga duduk bersama di beranda rumah Dokter Farid sambil menikmati teh panas dan beberapa camilan. Malam itu sejuk, tapi Salman merasa kedinginan. Saat menceritakan isi dialog terakhirnya dengan Ariana, kenangan demi kenangan be
“Nak, Papa tak ingin mendiktemu lagi seperti dulu. Jangan pikirkan perasaan papa atau mama. Pikirkan kebahagiaanmu sendiri.” “Benar.” Lidya menimpali sambil mengiringi langkah putrinya. “Maafkan Mama yang marah-marah gegara kamu nolak dia. Mama hanya kasian padamu. Kamu putri mama tak pernah hidup susah. Selalu dilayani, tak pernah melayani. Cuma tau belajar, baca buku, lalu bersenang-senang. Hidupmu lurus, menjalani profesi dengan bahagia. Tiba-tiba kita bangkrut dan di-bully. Kamu menderita. Tak ada lelaki yang sudi menikahimu. Mama sedih sekali .... Mama cuma pengen kamu kayak dulu. Bahagia dan bersinar.”“Ari bakal kembali seperti dulu. Bahagia dan bersinar dengan cara berbeda.” Senyum Ariana mengembang. “Jangan khawatir, Ma, Pa.”Danan diam. Raut mukanya tak menunjukkan ketenangan meski putrinya telah ceria seperti biasa, setelah sebelumnya muram.“Apakah kamu tetap baik-baik saja jika mendengar kabar Dokter Salman menikahi wanita lain?” Lelaki itu memastikan sambil memandang pu
Zakki memanggil sopir kantor, lalu meminta diantar ke Mutiara Hospital. Begitu tiba di rumah sakit tersebut, ia bergegas menuju ruangan direktur. Ada papan berukirkan nama Dokter Salman di bawah tulisan direktur utama rumah sakit Mutiara. Zakki hendak menerobos masuk, tapi dua orang satpam menghalanginya. “Kalian nggak tau siapa aku?” desis Zakki.“Bikin janji dulu, Pak. Gak boleh seenaknya masuk ruangan direktur!” tegur salah satu satpam.“Aku Zakki Devandra, cucu pemilik Healthy Light yang menjalin kemitraan dengan rumah sakit ini! Kalian cari masalah kalau menghalangiku!” Zakki terpaksa menggunakan nama keluarganya untuk mengancam dua satpam itu.Kedua satpam bersitatap. Ragu-ragu.“Bisa saja kamu ngaku-ngaku! Mana mungkin cucu pemilik Healthy Light nyasar ke sini!” bantah mereka. Tatapan dua satpam tersebut jatuh ke ID card berupa gantungan kartu nama yang terkalung di leher Zakki.“Heh, kamu cuma sekretaris biasa di Healthy Light. Gak punya kapasitas buat ketemu presdir rumah
Sesosok bayi gemuk dengan kulit seputih telur rebus dikupas, terkekeh menampilkan deretan gusi merah saat menyaksikan ayahnya mendekat. Sepasang lengannya terulur, minta digendong.Wajah keruh Gavin berubah cerah begitu melihat anaknya. Ia mengangkat Ezra, lalu menciumi pipi gembilnya. Sepasang mata bulat kehijauan milik Ezra, tampak jernih dan berkilauan, dipenuhi cahaya kegembiraan. Bayi bergelar bakpao itu tertawa-tawa geli ketika lehernya dicium gemas. “Jangan diajak main dulu. Bakpao baru selesai makan. Nanti muntah,” tegur Prisha. “Yaudah, kalo gitu ngajak maen ibunya aja.” Gavin melirik sang istri penuh arti.Prisha tak acuh. Ia bertanya, “Kok, pulang? Ada yang ketinggalan?”“Hari ini jadwal imunisasi, kan? Aku mau ngantar kalian.” Mata Prisha membulat. “Sha dan Bakpao bisa berangkat sendiri. Dianter Mbak Noni.” Prisha menyebutkan nama sopir pribadi wanita yang direkrut Gavin untuk mengantarnya ke mana-mana.“Bayi kita biasanya diimunisasi di rumah. Dokter spesialis anak ya
“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau saudara Gavin Davendra bin Tibra Devandra dengan putri saya yang bernama Prisha Lavani binti Egon Braun, dengan maskawinnya berupa kalung emas seberat 20 gram, tunai.”Penglihatan Gavin berkabut kala menjawab ijab. Kesadarannya mengawang-awang. “Saya terima nikah dan kawinnya Nalini---“Penghulu berdeham. Salah satu saksi menepuk bahu pemuda itu. “Mas Gavin, salah nyebut nama.”Gavin tersentak, lalu mengulangi kabulnya, setengah linglung. Kalimat kedua, tetap salah ucap. Saksi menggeleng pelan dan kembali menegur. Lafaz kabul yang ketiga, tatapan Gavin menerawang. Masih menyebut Nalini.Sesaat, pikirannya terbang pada kejadian satu jam sebelumnya. Menjelang akad, mamanya tiba-tiba mengancam bunuh diri. “Mama akan bunuh diri kalo kamu tetap nekat menikahi mantan PSK itu!” Wajah Karina--mamanya--menyiratkan ancaman. Ujung pisau di tangannya, telah menempel pada leher. Gavin terbeliak. Pucat pasi. Lebih dari apa pun di dunia, ia sangat menyayang
Empat jam sebelumnya. Belum tuntas Prisha berdoa selepas salat Subuh, suara ketukan di pintu terdengar bertalu-talu. Gegas gadis berusia 22 tahun itu bangkit dan membuka pintu. Hari itu adalah hari istimewa yang sangat dinanti-nanti ibunya. Mereka pasti bakal sibuk. Para tetangga di desa sudah sejak kemarin gotong royong membantu masak-memasak dan persiapan lainnya. Konon, pernikahan pertama ibunya berlangsung siri dan tak dihadiri Sarah, neneknya. Itulah sebabnya, di pernikahan kedua ibunya kali ini, meski digelar sederhana, neneknya tetap ingin menyiapkan walimah terbaik. Jadi Prisha pikir, wajar jika pagi-pagi pintu kamarnya sudah digedor. Mungkin Nenek butuh bantuan. Mungkin—“Prisha!” Nalini menghambur masuk, lalu memeluk putrinya sambil menangis sampai terguguk. “Mami, kok, nangis? Duh, sabar, sabar ....” Prisha mengelus-elus punggung ibunya. “Mami gugup, ya?” Gadis itu tersenyum kecil. Ia teringat beberapa kawan sekampungnya yang menikah di usia muda. Menjelang akad nikah,
Prisha masih merasa setengah melayang di udara kosong, tatkala siuman dari pingsannya. Perasaannya terjebak di ruang hampa ketika menyadari pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Ini bukan mimpi. Aku benar-benar sudah menikah. Padahal, aku belum siap. Khitbah Dokter Salman pun belum kujawab. Trus, gimana kuliahku nanti? “Prisha, kamu udah siuman?” Suara lembut neneknya terdengar. Prisha menoleh. “Mami mana, Nek?”“Mami di sini.” Nalini muncul, mengelus kepala putrinya yang masih tertutup kerudung.Prisha mengangkat tangan, lalu menyusuti jejak air mata di pipi ibunya. “Mami, maafin Prisha. Harusnya Prisha bantu Mami mencari jalan keluarnya. Nggak mesti menggantikan Mami nikahin Om Gavin. Semua serba terburu-buru. Harusnya—“ “Prisha, sudahlah!” potong Nalini, seraya tersenyum getir.Tiba-tiba seorang wanita masuk ke kamar. Pakaiannya mewah, terbuat dari bahan bermerk yang mahal. Saat berjalan, suara gemerincing dari gelang-gelang emas di tangan dan kakinya terdengar. “Prisha