Share

Tiga Detik yang Gila

Prisha masih merasa setengah melayang di udara kosong, tatkala siuman dari pingsannya. Perasaannya terjebak di ruang hampa ketika menyadari pakaian pengantin masih melekat di tubuhnya. Ini bukan mimpi. Aku benar-benar sudah menikah. Padahal, aku belum siap. Khitbah Dokter Salman pun belum kujawab. Trus, gimana kuliahku nanti?  

“Prisha, kamu udah siuman?” Suara lembut neneknya terdengar. 

Prisha menoleh. “Mami mana, Nek?”

“Mami di sini.” Nalini muncul, mengelus kepala putrinya yang masih tertutup kerudung.

Prisha mengangkat tangan, lalu menyusuti jejak air mata di pipi ibunya. “Mami, maafin Prisha. Harusnya Prisha bantu Mami mencari jalan keluarnya. Nggak mesti menggantikan Mami nikahin Om Gavin. Semua serba terburu-buru. Harusnya—“ 

“Prisha, sudahlah!” potong Nalini, seraya tersenyum getir.

Tiba-tiba seorang wanita masuk ke kamar. Pakaiannya mewah, terbuat dari bahan bermerk yang mahal. Saat berjalan, suara gemerincing dari gelang-gelang emas di tangan dan kakinya terdengar. 

“Prisha, ayo keluar. Kamu ditunggu tanda-tangan buku nikah!” perintahnya, dengan dagu sedikit terangkat.

Prisha menggigit bibir, lalu membuang muka ke arah tembok di sisinya. 

Wanita berpenampilan mahal itu melotot. Lalu, memberi isyarat pada Nalini agar membujuk putrinya.

“Prisha, ayo, Nak. Kasian Bu Karina sampai manggil ke sini.” Nalini menyentuh bahu Prisha.

“Nggak mau!”

“Baru setengah jam jadi istri udah berani membangkang!” desis Karina. “Dasar anak lont*!”

Ejekan kasar tersebut, memantik kemarahan Prisha. Ia bangkit duduk. “Siapa yang maksa—“

“Sst!” Nalini menekan tiga jarinya ke mulut Prisha untuk menahan laju kalimat gadis itu. “Jangan menyusahkan Mami,” tegurnya, halus.

Tatapan sedih ibunya, membuat Prisha terenyuh sekaligus gemas. Dengan gerakan setengah menghentak, ia turun dari ranjang. 

“Saya bisa mengadukan Ibu ke polisi atas ancaman pemerasan!” serunya ke arah Karina.

Wajah Karina memerah dan menunjukkan ekspresi murka, tapi dalam hitungan tak sampai dua detik, berubah tenang dan lembut. Ia berdeham, lalu mendekat. “Anak baik,” panggilnya halus. “Kita sudah menjadi keluarga, mari bicara baik-baik. Tak ada ancaman pemerasan atau paksaan di sini.”

“Bu Karina mengancam dan memaksa ibu saya!” Intonasi suara Prisha masih tajam, merefleksikan kekecewaan dan penolakan. 

“Benarkah?” Mata Karina melebar, menampakkan sorot tak percaya. “Aku malah tidak tahu. Apakah kamu terpaksa menjodohkan Prisha dengan Gavin, Nalini?” tanyanya, dengan nada sedikit meningkat, seolah-olah syok sekaligus prihatin. “Aku kira Prisha suka rela menikah dengan Gavin. Kalo tau begini, kita batalkan sejak awal.” Karina terduduk masygul. 

Nalini mengerti kalau Karina sedang berakting playing victim. Akibatnya, kesalahan ditimpakan kepada dirinya. Ia jadi serba salah. 

“Ibu jangan memanipulasi Mami saya! Soal utang Mami, saya berjanji akan bekerja keras melunasinya. Silakan sita rumah Mami. Tapi jangan mengancam Mami dengan kekerasan. Itu melanggar hukum! Saya tidak bodoh. Saya ngerti hukum.” Prisha melontarkan kalimat tegas dengan lancar. 

“Utang?” Karina memandang, pura-pura keheranan, meski dalam hati mengerti kalau soal utang itu mungkin hanya taktik Nalini agar putrinya menurut. Padahal, alasan sesungguhnya bukanlah itu. Tapi, tentu saja ia tidak ingin terlihat sebagai orang jahatnya. “Itu tidak betul. Silakan saja gugat ke pengadilan kalo kamu mau buktikan. Supaya jelas buatmu, bahwa tidak ada tekanan atau paksaan dalam pernikahan ini. Ibumu suka rela menerima lamaran kami terhadapmu.” Wanita hipokrit itu melembutkan suaranya demi melunakkan hati gadis yang baru setengah jam lalu resmi menjadi menantunya.

Prisha makin gusar. “Ibu mau nuduh Mami bohong? Mami gak mungkin bohong! Iya, kan, Mami? Mami tak mungkin batal menikah dengan Om Gavin kalo tidak ada ancaman!”

Gadis cerdas. Puji Nalini setengah mengeluh dalam hati, antara bersyukur sekaligus bersedih.

Karina menyungkup muka dengan sepasang telapak tangan. Menunjukkan gimik orang terpukul batin. “Berarti Mama salah paham. Mama kira, kamulah yang disukai Gavin, jadi Mama meminang kamu. Mami kamu juga nggak nolak. Jadi Mama kira, kamu juga acc. Apa ini salah Mama?” Demi mempengaruhi emosi Prisha, Karina mengubah sebutan diri menjadi “mama”.

Prisha tiba-tiba pening. Merasa terjebak lingkaran dilematis tiada habisnya. Siapa yang harus ia percaya?

Seorang wanita setengah baya, datang tergopph-gopoh. Agaknya dia salah satu kerabat Nenek Sarah. Ia menjenguk dari balik tirai pengantin yang menutupi ambang pintu. “Prisha ditunggu pak penghulu untuk tandatangan buku nikah.”

Sang dara menggeleng kuat. “Saya minta fasakh! Pembatalan pernikahan! Pengantinnya bukan saya!”

Wanita yang datang memberi info itu terkejut, lalu buru-buru keluar sambil mengusap-usap dada.

Karina dan Nalini terperangah. Nyali Prisha betul-betul di luar dugaan. Karina gemas sekali. Tak terhitung gadis cantik, kaya dan populer, yang berebut menarik perhatian putranya. Prisha yang tak perlu bersusah payah, malah menolak! 

Lebih parah lagi, Gavin jatuh cinta pada ibu Prisha yang mantan PSK. Sungguh tidak masuk akal. Karina nyaris kejang-kejang memikirkan itu. Andai tak ada sesuatu yang dikejar, sudah dari dulu ibu dan anak itu dihabisinya.

“Prisha, bukankah kita sudah sepakat?” Nalini gemetar saat mendapati sorot membunuh yang menguar dari mata Karina.

“Prisha berubah pikiran! Bukan hanya Mami yang bisa plinplan. Prisha juga!” tandas si gadis, gelap mata. 

“Sha!” Nalini bangkit. Tangannya bergerak secepat kedipan mata.

Plakk!

Prisha terjajar mundur dua tiga langkah. Refleks dipeganginya pipi yang pedas bekas tamparan ibunya barusan. Gadis itu terbelalak. Syok. Perihnya tamparan, tembus sampai ke hatinya. Sakit. 

Suasana sekejap hening. Beberapa detik kemudian, sesosok tubuh tinggi tegap menyibak tirai. Tatapan tiga pasang mata dari Karina, Nalini, dan Sarah beralih ke arah seorang pemuda tampan berjas hitam, yang tahu-tahu sudah masuk kamar pengantin.

Wajah elok berhidung bangir tampak muram. Sepasang mata abu-abunya memancarkan aura dingin yang bikin orang merinding hingga serasa suhu tubuh masing-masing turun beberapa derajat. Bibir kemerahan terkatup rapat. Rahangnya membesi, mencerminkan situasi hati yang buruk, yang justru mempertajam garis ketampanannya. 

Nalini merasa seakan-akan jantungnya putus dan jatuh ke bawah tatkala sinar mata yang sangat tajam itu menyambar wajahnya. Ada riak protes, kekecewaan, frustrasi, luka, dan tuntutan penjelasan dalam sepasang telaga bening pemuda itu.

Gavin, maafkan aku. Rintih wanita cantik itu dalam hati. Paras sensualnya menyiratkan penderitaan.

“Minta batalkan, heh?” Suara rendah penuh daya magnetik, terkekeh sinis saat fokusnya berputar ke arah gadis muda yang masih belum pulih dari rasa terkejut habis ditampar.

Tiba-tiba, pemuda itu mengayun langkah lebar, setengah melompat maju menuju Prisha. Satu kerling tajam, ia lemparkan ke arah Nalini sebelum menyeringai, lalu meraih pinggang Prisha. 

Bagai terbalik dunia Prisha tatkala bibirnya tersengat sentuhan secepat kedipan mata. Menghasilkan efek serupa setruman listrik jutaan kwh. Tiga detik yang sangat gila berlalu. Prisha nyaris lumpuh saat Gavin melepaskannya dengan kasar.

Sementara tiga wanita di ruangan itu, menyaksikan perbuatan tersebut dengan perasaan campur aduk. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status