Share

Ancaman

Empat jam sebelumnya. 

Belum tuntas Prisha berdoa selepas salat Subuh, suara ketukan di pintu terdengar bertalu-talu. Gegas gadis berusia 22 tahun itu bangkit dan membuka pintu. 

Hari itu adalah hari istimewa yang sangat dinanti-nanti ibunya. Mereka pasti bakal sibuk. Para tetangga di desa sudah sejak kemarin gotong royong membantu masak-memasak dan persiapan lainnya. Konon, pernikahan pertama ibunya berlangsung siri dan tak dihadiri Sarah, neneknya. Itulah sebabnya, di pernikahan kedua ibunya kali ini, meski digelar sederhana, neneknya tetap ingin menyiapkan walimah terbaik. 

Jadi Prisha pikir, wajar jika pagi-pagi pintu kamarnya sudah digedor. Mungkin Nenek butuh bantuan. Mungkin—

“Prisha!” Nalini menghambur masuk, lalu memeluk putrinya sambil menangis sampai terguguk. 

“Mami, kok, nangis? Duh, sabar, sabar ....” Prisha mengelus-elus punggung ibunya. “Mami gugup, ya?” Gadis itu tersenyum kecil. Ia teringat beberapa kawan sekampungnya yang menikah di usia muda. Menjelang akad nikah, persis ibunya sekarang. Ternyata, gugup sebelum nikah tidak hanya dialami gadis muda. Pikirnya. 

Bayangan seorang pemuda ber-snelli dan berkacamata, berkelebat di benaknya. Prisha tersipu sendiri, teringat khitbah Dokter Salman yang belum dijawabnya.

Tangis Nalini yang kian menghebat, membuat Prisha heran sekaligus cemas. Instingnya sebagai seorang mahasiswi kedokteran, mengisyaratkan ada yang tidak beres. 

“Mami, ada apa? Jangan cemas. Mami, kan, udah yakin kalau Om Gavin lelaki baik?” Prisha menatap penuh selidik. “Prisha bakal melabraknya kalau dia—“

“Dia baik, Prisha .... Sangat baik.” Nalini menggerung. “Mamilah yang nggak baik ....”

“Astagfirullah, Mam. Kenapa tiba-tiba minder? Ini pasti waswis. Mami nggak ninggalin salat, kan? Mami udah janji ama Om Gavin, untuk tobat dan rajin salat.” Prisha menggenggam tangan ibunya, menyalurkan ketenangan.

“Laki-laki baik ... pasti dapat yang baik. Mami ... bukan orang baik. Mami nggak pantas sama Om Gavin ....” Tersendat-sendat suara Nalini, kentara sekali berjuang mengendalikan tangis.

“Lho?” Bola mata kehijauan yang sangat cantik milik Prisha, berputar bingung, sekaligus geli. “Mami aneh. Nggak seperti yang Prisha kenal. Bukannya Mami selalu pede?”

Nalini merenggangkan pelukan, lalu menatap putrinya sungguh-sungguh. Air matanya masih mengalir dan suaranya parau ketika berkata, “Sha, kamu beneran sayang Mami, kan?”

“Tentu saja, Mami ....”

“Meskipun Mami jarang ngurus kamu? Bahkan pernah ninggalin kamu waktu masih kecil selama bertahun-tahun?” 

Prisha menghela napas dalam sebelum menghapus air mata ibunya. Dibalasnya tatapan ibunya yang masih terlihat ayu dan awet muda di usia 38 tahun itu. “Past is the past. Masa lalu biarlah berlalu. Prisha sayang Mami. Sayaang banget,” ungkapnya tulus. 

Rasa haru campur nelangsa menyeruak di dada. Sesak. Ingat hari-hari sepi tanpa seorang ibu di sisi. Ibunya pergi bekerja ke luar negeri saat dirinya berusia 6 tahun. Baru datang menjenguk 12 tahun kemudian, setelah Prisha lulus pondok pesantren. Betapa ia rindu ibunya. Prisha rela melakukan apa pun asalkan ibunya kembali dan betah menetap di sisinya.

“Kalo sayang, kamu mau nggak menuhin keinginan Mami?” Terdengar getir pertanyaan Nalini, memutus lamunan Prisha.

“Apa, sih, yang nggak buat Mami?” kata Prisha setengah bercanda. “Sini, Prisha bantuin dandan. Kamar pengantin udah siap, kan? Mami mau disuapin makan? Mami tenang aja. Prisha siap sedia bantuin Mami, asal Mami bahagia.” 

“Sumpah?” Nalini mengangkat jari kelingking. 

Prisha memperhatikan mata bengkak dan hidung ibunya yang kemerahan. Rasa iba yang tajam menusuk hatinya. Ada apa dengan Mami? Belum pernah Mami menangis separah ini.

“Prisha?”

“Eh, i-iya, sumpah!” Prisha tergeragap, lalu gegas mengaitkan kelingkingnya ke jari Nalini.

Dengan ekspresi runtuh, Nalini berkata, “Tolong gantikan Mami sebagai pengantin.”

Prisha melongo. Merasa salah dengar, dikucek-kuceknya telinga sendiri. “Menggantikan, maksudnya gimana? Mami becanda, ih! Jangan pedulikan kata orang, Mam. Yang penting, Om Gavin cinta mati ama Mami.”

“Mami serius. Menikahlah dengan Om Gavin!” Suara Nalini tegas, meski diselingi isak tertahan. 

“Mami kayaknya kena gangguan kecemasan. Istigfar, Mam. Akad nikah tinggal 3 jam lagi. Ayo, kita siap-siap ....” Prisha beranjak berdiri. 

“Prisha! Mami tidak gila! Mami sadar sesadar-sadarnya! Kamu mau kualat sama Mami?”

Sang dara terbelalak dan refleks mencium tangan ibunya. “Justru Prisha takut kualat, makanya pengen Mami mikir jernih .... Om Gavin itu calon papi Prisha. Mami sadar, dong! Ini nggak masuk akal!”

“Mami mikirin ini sampai susah tidur berhari-hari, Sha. Nggak mudah buat Mami. Tolong, Sha .... Bantu Mami,” ratap Nalini. “Orang tua Om Gavin nggak menyukai Mami. Kamu inget waktu mama Om Gavin ke rumah Mami? Kamu ada di rumah, nganterin minum. Mama Om Gavin lebih menyukaimu. Jadi yang dilamar itu kamu.” 

Prisha terkesiap, tapi tetap sulit percaya. Impossible. Mami wanita yang gigih dan percaya diri. Serta tipe egois. Tidak mungkin menyerah begitu saja. Mami kayaknya stres, nih. “Kenapa Mami baru bilang sekarang?” Ia bertanya, setengah cuek.

“Karena Om Gavin nggak tau.” Nalini mengeringkan hidungnya dengan ujung rok. “Kalian sama-sama nggak tau. Tadinya Mami mau mencoba mempertahankan Om Gavin. Tapi mamanya Om Gavin mengancam akan memenjarakan Mami kalo gak kontan melunasi utang. Uang Mami gak cukup.”

“Utang?” Sepasang mata indah Prisha melebar. 

Nalini mengangguk, sedih. “Sebenarnya Mami nggak nyangka kalo mama Om Gavin itu Bu Karina. Mami punya utang besar sama Bu Karina dan suaminya. Buat biaya kuliah kamu di kedokteran .... Kata Bu Karina, kalo Mami nolak dan nggak sanggup lunasin utang itu, rumah bakal disita dan Mami dipenjara. Mami nggak sanggup, Sha.”  

Prisha terbelalak tak percaya. “Harusnya Mami ngadu ke Om Gavin, dong!” protesnya, gusar. “Biar Om Gavin perjuangin Mami!”

“Bu Karina ngancam mau bunuh Mami kalo Om Gavin dikasi tau!”

***rimbuncahaya***

Otak Prisha tiba-tiba blank. Tiga detik kemudian, matanya menyala. “Nggak, Mam. Ini salah. Sha kudu ngasih tau Om!”

“Jangan, Sha!” jerit Nalini sambil merampas ponsel yang tahu-tahu sudah ada di tangan Prisha. “Kamu nggak sayang Mami? Kamu mau Mami mati atau masuk penjara?”

“Mami, kalo Om Gavin benar-benar cinta, dia pasti melindungi Mami!” Prisha ngotot, hendak merebut ponsel. Namun, Nalini menyembunyikan benda itu ke balik punggungnya. 

“Mami emang gak pernah ngurus kamu!” pekik Nalini, frustrasi. “Tapi Mami susah payah cari uang, semenjak dicampakkan papimu sampai rela jual diri, demi siapa? Demi kamu!” Wanita cantik itu menuding lurus-lurus tepat ke hidung mancung putrinya. “Kamu bisa sekolah di sekolah terbaik. Makan minum cukup. Hidup tenang bersama nenek. Mami pontang-panting kerja banting tulang, supaya kamu nggak bodoh kayak Mami! Cukup Mami yang ngelakoni kerjaan yang dipandang hina ini. Dari dulu Mami pengen berhenti dari profesi itu. Tapi Mami bisa apa?” Nalini kembali terisak. “Kamu bilang sayang Mami. Udah bersumpah mau nurutin Mami. Tapi Mami minta bantuan sekecil ini aja, kamu gak bisa.”

“Mamiii ....” Pecah akhirnya tangis Prisha. “Pernikahan soal serius Mami. Ini perkara besar. Nggak bisa dianggap main-main atau semacam nikah kontrak kayak di novel-novel platform. Lagian Prisha bakal dilamar Dokter Salman ....”

“Mami pengen tobat. Keinginan Mami tobat, jauh lebih gede daripada keinginan menikahi Om Gavin,” ungkap Nalini sambil menekan dada yang nyeri karena harus berbohong di depan putrinya. "Kamu juga udah lama pengen Mami stop, kan? Jadi patuhlah. Setelah kamu nikah, utang Mami lunas. Mami bakal berdagang kecil-kecilan. Nggak berat lagi mikir biaya kuliahmu karena ada Om Gavin yang nanggung—“

“MAMI!!” jerit Prisha histeris. “Ini nggak benar! Mami ngorbanin Sha!”

“Salah! Justru Mami yang berkorban buatmu! Yang paling sakit di sini Mami, Sha!” Nalini menunjuk dada, sambil nanar menatap putrinya. “Coba pikirkan perasaan Mami ....”

Karam seketika lidah Prisha bersama kebuntuan kinerja otaknya. 

Beberapa saat kemudian, tukang rias pengantin datang. Nenek Sarah tercengang ketika melihat yang didandani sebagai pengantin bukan putrinya, melainkan cucunya. Ia menggeleng pelan saat Nalini menjelaskan sambil tersedu-sedu. Sungguh tidak masuk akal, pikirnya. Namun, nenek itu memilih diam. Takdir Tuhan, pasti yang terbaik.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status