“Agni, kemarin Ibu lihat di kamarmu ada brosur umroh. Kamu mau pergi umroh? Sejak kapan kepikiran pergi umroh segala?”
Suara Ibu telah mengejutkanku. Aku yang sedang fokus menyiram tanaman hias di halaman, langsung menoleh ke sumber suara. Ibu yang telah cantik dengan dandanan lengkapnya itu terlihat gusar.
“Oh, itu. Kemarin ditawarin temen, Bu. Emang tertarik pengen berangkat, sih. Biayanya juga relatif terjangkau. Mulai dari tiga puluh jutaan buat sepuluh hari di Tanah Suci.”
Entah kenapa, wajah Ibu yang putih mulus berkat pertolongan skincare itu berubah memerah. Terdengar dengusan dari hidung mancungnya yang baru dua bulan lalu mendapat perawatan filler di sebuah salon mahal. Tentu aku kaget dengan ekspresi ibuku yang sangat-sangat tak terima itu.
“Bisa-bisanya kamu mikirin dirimu sendiri, Agni! Kamu kepengen umroh dengan biaya sebanyak itu, apa nggak mikirin kami? Orangtua dan adik semata wayangmu masih ada kebutuhan yang lebih penting, ketimbang keinginanmu buat liburan ke Mekkah!”
Aku syok. Apalagi suaranya Ibu cukup keras. Takutnya terdengar oleh tetangga kiri dan kanan.
“Bu, aku bukan mau liburan. Aku mau ibadah!” sahutku setengah berbisik.
“Ibadah nggak harus ke Mekkah segala! Siapa yang bilang ke kamu kalau umroh itu wajib? Kamu itu ibadahnya di rumah aja, nggak usah sampai jauh-jauh segala. Kamu ngerti agama nggak, sih?!” bentak Ibu sembari berkacak pinggang.
Wanita 48 tahun itu sampai membeliakkan matanya lebar-lebar. Astaghfirullah! Kok, dadaku nyeri sekali ya pas mendengar kata-kata hujatan Ibu barusan?
“Udah, nggak usah umroh-umroh segala! Mana uang tiga puluh jutamu itu? Sini, biar Ibu yang pegang!”
Ibu menodongkan telapak tangan yang dia tengadahkan di depanku. Ya Allah, ini salahku. Kenapa aku sampai keceplosan tentang uang itu dan sembrono menaruh brosur umroh di atas meja kerja? Semua jadi rumit!
“Nggak, Bu. Nggak ada uangnya. Itu aku ambil brosur cuma iseng doang, kok,” kilahku deg-degan.
“Kamu bohong, Agni! Ibu nggak mau tahu! Kasih uang tiga puluh juta itu ke Ibu pokoknya! Zara mau nikah soalnya! Adikmu butuh biaya besar buat pesta pernikahannya!” jerit Ibu makin histeris.
Sontak aku syok. Zara mau menikah? Sama siapa?
Adik semata wayangku itu padahal baru saja menamatkan studi diploma empat kebidanan satu setengah bulan lalu. Dia bahkan belum mendapatkan pekerjaan dan masih menganggur di rumah. Setahuku, Zara juga baru putus dari pacarnya, yakni Andra.
“Nikah? Nikah sama siapa, Bu? Dia kan, baru putus sama Andra.” Aku gelagapan dan tentu saja syok berat.
“Sama siapa pun dia nikah, itu bukan urusan kamu, Agni! Pokoknya, uang harus siap buat nikahan Zara. Kamu yang tanggung itu, Agni! Uangnya Ayah udah kepake buat renovasi rumah kita dan beliin Zara motor baru. Ibu apalagi! Mana ada uangnya Ibu, kalau bukan kamu yang kasih!”
Napasku tercekat. Ya Allah, Zara yang usianya baru 23 tahun itu akan menikah? Sementara bekerja saja dia belum sempat.
Jadi, aku yang bakal menanggung semuanya? Kok, sakit sekali ya, hatiku.
“Bu, kenapa nggak minta aja sama calon suaminya Zara? Kalau aku yang tanggung semua, terus tabunganku gimana? Aku juga punya pacar dan kami juga berencana kepengen nikah, Bu,” sahutku memberanikan diri buat membantah Ibu.
“Hah? Berencana menikah? Kamu yakin kalau Farhaz mau nikahin kamu? Nggak usah ngimpi kamu, Agni! Coba kamu ngaca, dengan badanmu yang gempal kaya gentong dan hidung lebar kaya jambu air begitu, apa kamu yakin kalau pacarmu yang ganteng itu mau ngejadiin kamu istri? Astaga, Agni! Bodoh itu jangan terlalu dipeliharalah!” Ibu lalu tertawa keras di depanku, mengejek kekurangan fisik yang jujur saja selalu membuatku tak pernah bisa percaya diri.
Entah kenapa, caci maki Ibu lagi-lagi sukses meruntuhkan hati kecilku. Padahal, aku sudah berulang kali menguatkan tekad buat tetap kuat meski dihantam ucapan kasar orangtuaku. Sayangnya, pertahananku ternyata belum kokoh. Aku kembali sedih dan sakit hati, tanpa bisa melawan sedikit pun.
“Coba kamu telepon pacarmu itu! Tanya, dia mau nggak ngawinin kamu? Atau jangan-jangan, Farhaz udah punya calon istri dan bakal segera menikah.” Senyuman tipis Ibu sarat akan sebuah kelicikan.
Aku panik. Di saat panik itu melanda, tiba-tiba saja ponsel di saku gamisku bergetar. Cepat kurogoh saku gamisku untuk menyambar ponsel.
Mas Farhaz. Ternyata telepon dari pacarku. Astaga, kenapa bisa pas begini?
Aku langsung mengangkat telepon itu. Entah kenapa, jantungku tiba-tiba saja berdebar sangat kencang. Seolah aku memiliki firasat yang buruk akan hubungan kami berdua.
“Assalamualaikum, Mas,” sapaku pelan di depan Ibu yang masih berdiri angkuh.
“Waalaikumsalam, Agni.”
Deg!
Mas Farhaz bahkan tak lagi menyapaku dengan sebutan ‘dek’ seperti sebelum-sebelumnya. Hatiku langsung tak tenang. Kenapa dia tiba-tiba memanggilku hanya dengan namaku saja?
“Kenapa, Mas?”
“Agni, aku cuma mau bilang kalau aku mau putus dari kamu.”
“A-apa?”
Aku memilih untuk mundur demi menjauh dari Ibu. Namun, sialnya Ibu malah membuntutiku. Aku jengkel, tapi sayangnya aku tak punya nyali buat membentak Ibu. Aku takut kualat.
“Kamu nggak salah dengar. Aku mau putus dari kamu, Agni.”
“Tapi kenapa, Mas? Kenapa tiba-tiba begini?”
“Karena … karena aku mau nikah sama cewek lain.”
Ya Allah, batinku hancur lebur saat itu juga. Kedua kaki ini seperti tidak lagi berpijak ke bumi. Siapa perempuan itu, Mas? Kenapa kamu malah mengingkari janjimu yang pernah bilang bahwa kita akan menikah tahun depan?
“Siapa? Siapa dia, Mas? Kenapa kamu tega selingkuh dari aku?” Bergetar suaraku. Begitu juga dengan jantungku yang tak hentinya berdebar sangat kencang.
“Dia orang yang kamu kenal, Agni. Dia adikmu, Zara.”
Ponsel itu terjatuh dari genggamanku. Air mata pun merembes membasahi pipiku. Ibu tiba-tiba berdiri lagi di depanku dengan wajah yang penuh menang.
“Gimana, Agni? Kamu udah tahu kan, Zara mau nikah sama siapa?”
Senyuman Ibu terulas lebar. Sumpah demi Allah, sampai kapan pun aku tak akan pernah melupakan senyuman buas itu! Sampai mati pun aku tetap akan mengingat kejadian ini!
“Nggak usah nangis, Agni! Sadar dirilah kalau kamu emang nggak pantas buat lelaki mana pun! Sekarang, mana buku tabunganmu? Besok pagi kita tarik semua uangmu di bank buat persiapan pernikahan adikmu. Kalau nggak, Ibu nggak segan buat bunuh diri, supaya kamu merasa menyesal seumur hidupmu!”
Napasku sampai tertahan mendengar itu. Bu, tega-teganya dirimu memanfaatkan dan menjahatiku hingga sejauh ini. Baiklah, Bu. Akan kuberikan kalian semua hadiah terindah, supaya kalian tahu bahwa dunia ini tak selamanya berpihak kepada orang jahat!
Halo, teman-teman. Aku kembali lagi dengan cerita baru. Terima kasih karena sudah membaca. Terus ikuti kelanjutannya, ya. Jangan lupa masukin ke pustaka kalian, vote, dan komentar :)
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Sandra memacu vespanya dengan kecepatan sedang saat dia membawaku menuju RSIA Impian Bunda. Rumah sakit ibu dan anak tersebut memang lokasinya dekat dengan rumah pribadi milik Farhaaz. Maka, semakin sakitlah hatiku membayangkannya. Apa mungkin, Farhaaz menyetubuhi adikku di rumahnya hingga anak itu sekarat dan pendarahan? Apa hanya disetubuhi tok atau dengan tindak kekerasan lain seperti dipukuli atau dihantam bagian kemaluannya dengan benda tumpul yang berbahaya? Astaghfirullah! Nyeri hatiku memikirkannya. Kasihan Zara kalau memang dia betul-betul sakaratul maut saat ini. Farhaaz benar-benar harus bertanggung jawab! Kalau perlu masuk ke penjara jika memang dia melakukan tindakan gila itu. Yang aku heran, kok, bisa Farhaaz memiliki sikap layaknya psikopat, padahal saat bersamaku, dia tidak begitu. “San, kok, bisa ya, Farhaaz sekejam itu sama Zara? Pas sama aku, Farhaaz nggak pernah kasar, San. Dia cuma senangnya morotin duitku
“Ag, kenapa adikmu?” Sandra bertanya dengan wajah yang pias dan mimik terkaget-kaget. “San, si Zara pendarahan sampe koma ini! Ya Allah, Zara! Aku nggak nyangka bisa kaya gini!” ucapku sesak sambil terus meneteskan air mata. “Astaghfirullah! Kok, bisa, sih?” Sandra terlihat makin panik. Membuatku kian berdebar-debar, takut terjadi sesuatu hal yang lebih menakutkan ketimbang kabar Zara yang sekarang. “Kata ibuku disiksa sama Farhaaz, San. Ya Allah, setega itu Farhaaz ampe bikin adikku koma. San, tolong aku, San. Bisa nggak boncengin aku ke rumah sakit Impian Bunda? Aku lemes banget. Lututku gemetar saking kagetnya,” pintaku dengan suara yang parau dan penuh sesak di dada. “Gila! Sinting apa si Farhaaz, Ag? Wah, tindak kriminal ini. Bisa dipenjarain, tuh!” teriak Sandra menggebu-gebu. “Tapi, Ag, apa ini bukan strateginya orangtua angkatmu? M-maksudku … apa bukan akal-akalan mereka buat ngejebak kamu doang?” tanya Sand
“Iya, San. Aku juga minta maaf kalau ada salah-salah kata. Mulai besok, aku nggak di sini lagi. Aku harus pindah ke rumahnya calon suamiku. Kami emang belom satu rumah. Tapi, aku mau nggak mau harus ikut kata-kata dia buat nempatin rumahnya dia yang sempat dikontrakan itu, San. Sorry ya, San, kemarin bikin kamu repot sampai harus ngebayarin duit DP kostanku segala,” sahutku sambil balik mendekapnya. “Santai aja, Ag. Nggak apa-apa, kok. Aku harus ikutan seneng dengan kebahagiaanmu. Kayanya, aku mau balikan aja sama Nino. Doain ya, Ag, dia mau nerima aku lagi.” Aku pun melepaskan diri dari dekapannya Sandra. Kuanggukkan kepala. Kuulas senyuman kecil pada Sandra. “Pasti mau, San. Aku tahu, kalau Nino itu cinta matinya sama kamu doang. Nanti kamu coba aja hubungin dia. Bilang, kalau kemarin kamu mutusin dia itu karena lagi pusing sama kerjaan aja.” Sandra mengangguk-angguk. Dia mengusap buliran bening di sudut mata sendunya. Gadis it