Share

TERPAKSA MEMBIAYAI PESTA PERNIKAHAN ADIKKU
TERPAKSA MEMBIAYAI PESTA PERNIKAHAN ADIKKU
Penulis: Meisya Jasmine

Tiba-Tiba Mau Menikah

              “Agni, kemarin Ibu lihat di kamarmu ada brosur umroh. Kamu mau pergi umroh? Sejak kapan kepikiran pergi umroh segala?”

              Suara Ibu telah mengejutkanku. Aku yang sedang fokus menyiram tanaman hias di halaman, langsung menoleh ke sumber suara. Ibu yang telah cantik dengan dandanan lengkapnya itu terlihat gusar.

              “Oh, itu. Kemarin ditawarin temen, Bu. Emang tertarik pengen berangkat, sih. Biayanya juga relatif terjangkau. Mulai dari tiga puluh jutaan buat sepuluh hari di Tanah Suci.”

              Entah kenapa, wajah Ibu yang putih mulus berkat pertolongan skincare itu berubah memerah. Terdengar dengusan dari hidung mancungnya yang baru dua bulan lalu mendapat perawatan filler di sebuah salon mahal. Tentu aku kaget dengan ekspresi ibuku yang sangat-sangat tak terima itu.

              “Bisa-bisanya kamu mikirin dirimu sendiri, Agni! Kamu kepengen umroh dengan biaya sebanyak itu, apa nggak mikirin kami? Orangtua dan adik semata wayangmu masih ada kebutuhan yang lebih penting, ketimbang keinginanmu buat liburan ke Mekkah!”

              Aku syok. Apalagi suaranya Ibu cukup keras. Takutnya terdengar oleh tetangga kiri dan kanan.

              “Bu, aku bukan mau liburan. Aku mau ibadah!” sahutku setengah berbisik.

              “Ibadah nggak harus ke Mekkah segala! Siapa yang bilang ke kamu kalau umroh itu wajib? Kamu itu ibadahnya di rumah aja, nggak usah sampai jauh-jauh segala. Kamu ngerti agama nggak, sih?!” bentak Ibu sembari berkacak pinggang.

              Wanita 48 tahun itu sampai membeliakkan matanya lebar-lebar. Astaghfirullah! Kok, dadaku nyeri sekali ya pas mendengar kata-kata hujatan Ibu barusan?

              “Udah, nggak usah umroh-umroh segala! Mana uang tiga puluh jutamu itu? Sini, biar Ibu yang pegang!”

              Ibu menodongkan telapak tangan yang dia tengadahkan di depanku. Ya Allah, ini salahku. Kenapa aku sampai keceplosan tentang uang itu dan sembrono menaruh brosur umroh di atas meja kerja? Semua jadi rumit!

              “Nggak, Bu. Nggak ada uangnya. Itu aku ambil brosur cuma iseng doang, kok,” kilahku deg-degan.

              “Kamu bohong, Agni! Ibu nggak mau tahu! Kasih uang tiga puluh juta itu ke Ibu pokoknya! Zara mau nikah soalnya! Adikmu butuh biaya besar buat pesta pernikahannya!” jerit Ibu makin histeris.

              Sontak aku syok. Zara mau menikah? Sama siapa?

              Adik semata wayangku itu padahal baru saja menamatkan studi diploma empat kebidanan satu setengah bulan lalu. Dia bahkan belum mendapatkan pekerjaan dan masih menganggur di rumah. Setahuku, Zara juga baru putus dari pacarnya, yakni Andra.

              “Nikah? Nikah sama siapa, Bu? Dia kan, baru putus sama Andra.” Aku gelagapan dan tentu saja syok berat.

              “Sama siapa pun dia nikah, itu bukan urusan kamu, Agni! Pokoknya, uang harus siap buat nikahan Zara. Kamu yang tanggung itu, Agni! Uangnya Ayah udah kepake buat renovasi rumah kita dan beliin Zara motor baru. Ibu apalagi! Mana ada uangnya Ibu, kalau bukan kamu yang kasih!”

              Napasku tercekat. Ya Allah, Zara yang usianya baru 23 tahun itu akan menikah? Sementara bekerja saja dia belum sempat.

              Jadi, aku yang bakal menanggung semuanya? Kok, sakit sekali ya, hatiku.

              “Bu, kenapa nggak minta aja sama calon suaminya Zara? Kalau aku yang tanggung semua, terus tabunganku gimana? Aku juga punya pacar dan kami juga berencana kepengen nikah, Bu,” sahutku memberanikan diri buat membantah Ibu.

              “Hah? Berencana menikah? Kamu yakin kalau Farhaz mau nikahin kamu? Nggak usah ngimpi kamu, Agni! Coba kamu ngaca, dengan badanmu yang gempal kaya gentong dan hidung lebar kaya jambu air begitu, apa kamu yakin kalau pacarmu yang ganteng itu mau ngejadiin kamu istri? Astaga, Agni! Bodoh itu jangan terlalu dipeliharalah!” Ibu lalu tertawa keras di depanku, mengejek kekurangan fisik yang jujur saja selalu membuatku tak pernah bisa percaya diri.

              Entah kenapa, caci maki Ibu lagi-lagi sukses meruntuhkan hati kecilku. Padahal, aku sudah berulang kali menguatkan tekad buat tetap kuat meski dihantam ucapan kasar orangtuaku. Sayangnya, pertahananku ternyata belum kokoh. Aku kembali sedih dan sakit hati, tanpa bisa melawan sedikit pun.

              “Coba kamu telepon pacarmu itu! Tanya, dia mau nggak ngawinin kamu? Atau jangan-jangan, Farhaz udah punya calon istri dan bakal segera menikah.” Senyuman tipis Ibu sarat akan sebuah kelicikan.

              Aku panik. Di saat panik itu melanda, tiba-tiba saja ponsel di saku gamisku bergetar. Cepat kurogoh saku gamisku untuk menyambar ponsel.

              Mas Farhaz. Ternyata telepon dari pacarku. Astaga, kenapa bisa pas begini?

              Aku langsung mengangkat telepon itu. Entah kenapa, jantungku tiba-tiba saja berdebar sangat kencang. Seolah aku memiliki firasat yang buruk akan hubungan kami berdua.

              “Assalamualaikum, Mas,” sapaku pelan di depan Ibu yang masih berdiri angkuh.

              “Waalaikumsalam, Agni.”

              Deg!

              Mas Farhaz bahkan tak lagi menyapaku dengan sebutan ‘dek’ seperti sebelum-sebelumnya. Hatiku langsung tak tenang. Kenapa dia tiba-tiba memanggilku hanya dengan namaku saja?

              “Kenapa, Mas?”

              “Agni, aku cuma mau bilang kalau aku mau putus dari kamu.”

              “A-apa?”

              Aku memilih untuk mundur demi menjauh dari Ibu. Namun, sialnya Ibu malah membuntutiku. Aku jengkel, tapi sayangnya aku tak punya nyali buat membentak Ibu. Aku takut kualat.

              “Kamu nggak salah dengar. Aku mau putus dari kamu, Agni.”

              “Tapi kenapa, Mas? Kenapa tiba-tiba begini?”

              “Karena … karena aku mau nikah sama cewek lain.”

              Ya Allah, batinku hancur lebur saat itu juga. Kedua kaki ini seperti tidak lagi berpijak ke bumi. Siapa perempuan itu, Mas? Kenapa kamu malah mengingkari janjimu yang pernah bilang bahwa kita akan menikah tahun depan?

              “Siapa? Siapa dia, Mas? Kenapa kamu tega selingkuh dari aku?” Bergetar suaraku. Begitu juga dengan jantungku yang tak hentinya berdebar sangat kencang.

              “Dia orang yang kamu kenal, Agni. Dia adikmu, Zara.”

              Ponsel itu terjatuh dari genggamanku. Air mata pun merembes membasahi pipiku. Ibu tiba-tiba berdiri lagi di depanku dengan wajah yang penuh menang.

              “Gimana, Agni? Kamu udah tahu kan, Zara mau nikah sama siapa?”

              Senyuman Ibu terulas lebar. Sumpah demi Allah, sampai kapan pun aku tak akan pernah melupakan senyuman buas itu! Sampai mati pun aku tetap akan mengingat kejadian ini!

              “Nggak usah nangis, Agni! Sadar dirilah kalau kamu emang nggak pantas buat lelaki mana pun! Sekarang, mana buku tabunganmu? Besok pagi kita tarik semua uangmu di bank buat persiapan pernikahan adikmu. Kalau nggak, Ibu nggak segan buat bunuh diri, supaya kamu merasa menyesal seumur hidupmu!”

              Napasku sampai tertahan mendengar itu. Bu, tega-teganya dirimu memanfaatkan dan menjahatiku hingga sejauh ini. Baiklah, Bu. Akan kuberikan kalian semua hadiah terindah, supaya kalian tahu bahwa dunia ini tak selamanya berpihak kepada orang jahat!

Meisya Jasmine

Halo, teman-teman. Aku kembali lagi dengan cerita baru. Terima kasih karena sudah membaca. Terus ikuti kelanjutannya, ya. Jangan lupa masukin ke pustaka kalian, vote, dan komentar :)

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status