Agni dikhianati oleh adiknya sendiri, Zara, yang tega merebut calon suaminya. Tak sampai di sana, ia juga mengaku ingin menikah secepatnya karena tengah berbadan dua. Agni terkejut dan marah, tetapi orang tua Agni malah membela perbuatan Zara dan Farhaaz, serta memintanya untuk membiayai pesta pernikahan mereka. Agni pun tak mau tinggal diam! Dia pun perlahan menyusun sebuah strategi ... terlebih, dia menemukan sebuah rahasia mengejutkan yang menguatkan hatinya!
Lihat lebih banyakBRUGHH
Seorang berbadan besar dengan kepala plontos menabrak. Tubuhku yang lumayan kurus ini sampai harus terjungkal karenanya. Begitu juga dengan lelaki tersebut.
Map yang tengah kupeluk jatuh berserakan. Berkas-berkas yang telah dipersiapkan untuk melamar pekerjaan berhamburan. Si lelaki pun mengalami hal yang serupa. Kulihat tas yang ia pegang terlempar akibat benturan. Anehnya kenapa tas itu seperti kepunyaan seorang wanita.
"Jambrettt!"
Tiba-tiba terdengar suara wanita berteriak. Pria plontos yang masih terengah-engah napasnya itu gegas bangkit. Lalu langsung menyambar tas kulit yang terlihat begitu mewah itu. Dan lari terbirit-birit.
"Jambrettt!"
Wanita cantik dengan kaca mata hitam di atas kepalanya kembali berseru. Sekarang aku paham, pria plontos itu adalah berandal. Aku harus menolong perempuan itu. Lantas mata ini bergerak mencari alat untuk menghentikan laju. Kebetulan ada sebuah batu yang cukup besar. Lumayan jika digunakan untuk menimpuknya.
Tanpa membuang waktu lagi kuraih batu tersebut. Lantas mulai melemparkan benda berat tersebut. Beruntung tepat sasaran. Si jambret itu tersentak kaget saat kepalanya terkena batu.
Jambret itu membalikkan badan dengan wajah murka. Tentu saja nyaliku ciut melihatnya. Namun, sudah kepalang tanggung. Aku harus menghadapi. Kembali mata ini mencari-cari sesuatu untuk jaga-jaga.
Sayangnya hanya sebuah batu pun sulit didapat. Akhirnya setelah bingung mencari senjata, sementara si jambret kian mendekat. Maka tanpa ragu lagi kulepas sepatu pantofel berhak lima centimeter ini. Tanganku langsung menolak sepatu hitam tersebut dan tepat sasaran. Sepatu itu mendarat mulus mengenai perut besar si bandit.
"Kurang aj*r!" Si bandit berteriak marah.
Sepatu di kaki sebelah kiri aku lepas. Lantas kugunakan lagi untuk menimpuk si kepala plontos. Pria itu menangkis serangan sepatuku dengan bahunya yang telah terlapisi jaket kulit itu.
Selanjutnya si berandal berlari mendekat. Aku sekuat tenaga ingin menghindar. Namun, sudah kena tubruk terlebih dulu. Tubuhku terjerembab kembali. Dan si kepala plontos langsung menjambak. Dia menarik rambut yang kuikat kucir kuda ini ke atas tinggi-tinggi. Membuat mulutku memekik kesakitan.
"Awww!"
Aku menjerit sakit karena tidak hanya menjambak, si bandit sialan ini juga menampar pipiku kuat-kuat. Selain meninggalkan rasa panas dan sakit di pipi, telinga ini juga berdenging karenanya. Rasa asin terkecap di lidah. Sepertinya bibirku pecah lantas berdarah akibat gamparan tangan besar si berandal. Tidak sampai di situ, dia juga mengunci tubuhku.
Di antara rasa sakit itu otak ini berjalan. Tenagaku tidak cukup kuat untuk melawan. Apalagi sejak tadi pagi perutku belum terisi makanan. Hanya segelas air teh untuk pengganjal ketika berangkat mencari pekerjaan.
Tiba-tiba aku teringat jika seorang pria perkasa bisa bertekuk pasrah apabila keintimannya ditendang. Dan adegan seperti itu sering kutonton di sinetron. Tanpa membuang waktu lagi, kugigit keras tangan si bandit yang masih menarik rambut.
"Arghhh!" Si bandit mengerang kesakitan.
Cekalan pada rambut terlepas. Kesempatan ini tidak kusia-siakan. Dengan segenap tenaga yang terkumpul kutendang kemaluan si bandit sekeras mungkin.
"Aduuuhhh!" Mulut si bandit mengaduh kesakitan lagi.
Pria tinggi besar itu sampai terbungkuk-bungkuk saking sakitnya barangkali. Lalu tiba-tiba dua petugas keamanan datang. Keduanya menyerang si bandit dengan pentungan.
Akhirnya, kedua petugas keamanan itu berhasil meringkus sang penjahat. Lantas menggelandangnya ke kantor untuk dimintai pertanggungjawaban.
Aku sendiri lekas memungut tas mewah bermerk brand terkenal dari negeri Napoleon itu.Sementara itu orang-orang yang tadi melihat saja kala aku menghajar bandit, mulai mendekat. Begitu juga dengan sang pemilik tas mahal tersebut.
"Mbak, gak papa?" tanya wanita cantik berbaju bagus dengan ikat pinggang kecil di perut itu dengan lembut. Mata lentiknya yang berhias maskara menatapku perhatian.
"Saya baik," jawabku memaksakan untuk tersenyum. Walau sebenarnya pipi dan rambut ini masih terasa sakit. "Ini tasnya. Silahkan diperiksa barang kali ada yang hilang." Kuserahkan tas kulit warna putih tersebut.
Wanita cantik berkalung mutiara merah muda itu menerima tasnya. Lalu mulai memeriksa isinya. "Alhamdulillah ... isinya masih utuh," ujarnya disertai senyuman.
"Syukurlah." Aku berucap lega.
Selanjutnya kupunguti berkas-berkas yang tercecer. Wanita muda itu ikut membantu. Ketika kuambil sepatu bekas melempar si bandit, hati ini tergerus sedih. Sebab hanya itu sepatu satu-satunya yang ada. Dan kini kembali robek.
Padahal beberapa hari lalu sudah kututup dengan lem super. Mungkin memang sebaiknya harus diganti dengan yang baru. Andai aku punya uang lebih.
"Bibir Mbak berdarah, mari saya bawa berobat." Aku tersentak dari lamunan mendengar tawaran dari wanita cantik itu. Tawaran tulus dari perempuan umurnya terlihat lebih muda dariku.
"Mari!"
Aku tak kuasa menolak lagi. Saat tangannya terulur, ragu-ragu aku sambut. Benar-benar tangan yang halus bak kulit pantat bayi. Pastinya dia tidak pernah bekerja kasar.
Mendadak aku jadi rendah diri. Telapak tangan ini penuh kapal di mana-mana. Pertanda diri ini memang seorang pekerja keras. Aku takut jika tangan halusnya lecet menggenggam telapak tangan kasar ini.
Perempuan yang tinggi badannya lebih satu jengkal itu membawaku hingga mobilnya. Mobil sedan berwarna putih yang terlihat begitu mengkilat. Begitu masuk hawa sejuk dari mesin pendingin udara menusuk kulit. Masih dengan menyunggingkan senyum, wanita itu mulai melajukan mobil.
"Kalo boleh tahu, namanya siapa Mbak?" Perempuan cantik itu bertanya dengan pandangan fokus ke depan. Sementara kaca mata hitam sudah di hidungnya. Menambah kesan anggun yang mendalam.
"Nama saya Kira ... Shakira," jawabku sambil mengatupkan kedua tangan di dada.
"Saya Nina. Sandrina," balasnya dengan senyum yang menawan.
Selanjutnya mobil yang kami tumpangi berhenti sebuah klinik. Seorang dokter memeriksa, lalu menutup luka di samping bibir ini dengan plester. Setelah itu Sandrina mengajakku ke suatu tempat.
"Mbak Kira kerja di mana?" tanya Sandrina dalam perjalanan.
"Saya baru kena PHK dua Minggu lalu. Hari ini rencananya keliling melamar pekerjaan." Aku menjawab jujur.
"Kenapa di-PHK?"
Aku tersenyum kecut mendengar pertanyaan peduli dari gadis ini. "Saya karyawan kontrak dan masa kontrak saya sudah habis," jawabku menunduk menatapi map yang berada dalam pangkuan ini.
"Mbak Kira sudah menikah?" Sandrina bertanya dengan sangat hati-hati. Mungkin takut jika pertanyaan yang ia lontarkan tidak berkenan di hati.
"Saya single mom," balasku jujur.
"Oh ... maaf," ucap Sandrina tampak tidak enak hati.
"Gak papa." Aku tersenyum kecil.
Sandrina membawaku ke sebuah mal. Gadis berambut hitam legam itu membelikanku sebuah sepatu. Bibirku ternganga melihat harga yang tertera di label. Bagiku itu cukup mahal. Sandrina juga membelanjakan aku beberapa buah kemeja dan tas.
"Gak papa. Anggap saja ini sebagai ucapan terima kasih karena Mbak Kira sudah menolong saya," ujarnya saat kutolak pemberian darinya beserta beberapa lembar uang merah.
"Menolong seseorang adalah kewajiban karena Allah ta'ala. Dan saya tidak ingin mendapatkan imbalan atas kewajiban yang harus dilakukan," ujarku saat Sandrina bersikeras memaksa.
Sandrina tidak berkutik mendengar jawabanku. Gadis ramping itu mengembalikan baju-baju itu dan tas kembali ke tempatnya. Namun, sepatu pantofel hitam berhak sepuluh centimeter itu tetap ia sodorkan untukku. Dia beralasan jika sepatuku perlu diganti.
Sandrina tidak hanya berhati baik. Akan tetapi, juga pengertian. Mengetahui perutku bernyanyi keroncongan, dia mengajak makan ke gerai ayam. Ketika sedang menunggu pesanan, Sandrina menelepon seseorang.
"Tunangan saya baru saja membuka cabang distronya. Sepertinya dia butuh banyak karyawan. Semoga Mbak Kira bisa diterima," ujar Sandrina usai menutup ponsel.
"Terima kasih." Aku terharu mendengarnya.
Lima belas menit berlalu. Kami menikmati ayam goreng ini dengan saling bercerita. Sandrina selain cantik dan baik, dia juga ramah. Gadis itu tampak senang mendengar cerita putri semata wayangku.
"Sudah lama, Sayang?"
Aku mengenal suara itu. Suara yang dulu begitu kurindukan. Suara membuatku jatuh cinta hingga melayang ke udara. Namun, tidak lama terjungkal ke jurang keterpurukan.
Dengan sekuat tenaga yang berhasil dihimpun, kutengok pemilik suara tersebut. Fix. Dialah ayah dari putri semata wayangku.
Next
Dua Bulan Seusai Kematian Zulkifli dan Zara “Saya terima nikahnya Agnia Kemilau Rembulan dengan mas kawin satu unit rumah di Jalan Melati Kusuma nomor 17, logam mulia seberat dua ratus gram, dan sebuah mobil All New Toyota Land Cruiser dibayar tunai!” “Sah?” “Sah!” “Alhamdulillah!” Debaran kencang di dadaku yang sedari pagi buta tak bisa diredakan itu, kini perlahan normal iramanya. Desah napas lega keluar dari mulutku. Kedua tanganku yang gemetar pun kontan langsung tengadah, memanjatkan doa-doa suci yang tanpa sadar malah membuat kedua mata ini berlinang. Sosok pria yang duduk di kursi tepat di sebelahku itu tampak tersedu-sedu setelah mengucapkan ijab qabul di hadapan wali hakim dan dua orang saksi yang tak lain adalah Hartawan Surya Wijaya, om dari Mas Nathan yang juga ayah dari CEO dan direktur perusahaan tempatku bekerja. Selain Om Hartawan, yang menjadi saksi pernikahan kami lainnya adalah Mas G
“Ayang, bangun ya, Ay. Aku udah di sini. Aku nggak mau kamu terus-terusan pingsan kaya gini, Ay.” Sebuah suara yang terdengar begitu pilu, tiba-tiba menembus masuk ke telingaku. Perlahan, aku mulai menggeliat. Kedua kelopak mataku pun membuka seperti kuncup bunga yang mekar ketika pagi menyapa. Silau. Satu kata itulah yang kurasa ketika berkas cahaya lampu di atas sana menembus ke pupil mata. Aku mengerang. Mencoba menerka, di mana aku sekarang. “Agni!” Panggilan itu membuatku campur aduk rasanya. Kenapa aku? Kenapa suara itu terdengar sangat khawatir? “A-aku d-di mana?” gagapku pelan. Mendadak lidah dan kerongkonganku terasa begitu kering kerontang. Apa yang sebenarnya telah terjadi padaku? “Ayang, kamu udah sadar?! Alhamdulillah! Ya Allah, makasih!” Jeritan penuh gegap gempita itu kudengar jelas. Aku mencoba membuka kelopak mata lagi meski awalnya begitu berat. Kuedarkan p
“Ayah dengar kan, apa yang aku bilang?” tanyaku dingin dengan tatapan setajam silet. Ayah kini tertunduk lemas. Napasnya kelihatan tak beraturan. Matanya tiba-tiba terpejam, kemudian kedua tangannya menangkupi wajahnya yang berubah pucat pasi. “Z-zara,” gagapnya terisak-isak dengan kedua bahu yang berguncang. “Yah, Ibu juga lagi dipasangi oksigen di ranjang sebelahnya Zara. Ibu syok dan pingsan.” Aku sengaja memberi tahu semuanya. Buat apalagi ditutup-tutupi. Supaya Ayah tahu apa yang tengah terjadi pada hidupnya dan keluarga kecil kebanggaannya itu. Tangisan Ayah semakin tersedu-sedu. Entah sehancur apa perasaan Ayah, aku juga tak mau mengerti. Sedangkan dia saja, bisa melontarkan kalimat sadis nan hina ke arahku. Anak hasil zinalah, apalah. Subhanallah! Hanya Allah saja yang tahu betapa leburnya perasaanku saat mendengarkan umpatan Ayah tadi! “Oh, ya. Calon suamiku, Mas Nat, akan datang ke sini bersa
“Agni … kamu mau kan, maafin Ibu, Ayah, dan Zara?” lirih Ibu dengan wajah yang tertekan. Sendu wajahnya Ibu, lirih suaranya, dan sesak isak tangisnya mendadak hatiku jadi hancur lebur berkeping. Aku jadi tak tega luar biasa. Benar-benar menyesal dan frustrasi karena telah menipu beliau. “B-bu … sebenarnya ….” Aku tergagap dengan napas yang tercekat. “Kenapa, Ag? Sebenarnya apa?” tanya Ibu yang bengkak matanya karena terlalu banyak menangis. Kulirik sejenak tubuh Zara yang masih dikemaskan oleh dua perawat yang kini berganti menjadi perawat wanita. Tadinya yang melakukan pertolongan bantuan napas pada Zara adalah perawat lelaki. Kini, jenazah gadis cantik itu tengah dikemasi oleh dua perawat wanita yang sungguh lembut mengikat dagunya, kedua pergelangan tangan, dan ujung kaki-kakinya dengan kain kasa. Ya Allah, sungguh tak tega hatiku melihatnya. “Bu, sebenarnya … uang seratus dua puluh lima juta itu b
Kepala Farhaaz kutendang dengan kakiku saking geramnya. Kemarahanku kini mencapai ubun-ubun. Meskipun Zara adalah adik angkat yang telah menghancurkan hubunganku dengan Farhaaz dan menjadi penyebab mengapa aku kabur dari rumah, tetapi bagaimanapun juga, dia pernah berbuat manis di dalam hidupnya. Tetap saja bagiku dia adalah seorang adik kecil yang memerlukan uluran bantuanku ketika dia terpuruk. Apalagi, sekarang Zara sudah tiada. Sakit sekali perasaanku membayangkan betapa menderitanya dia sebelum nyawanya lepas dari raga. Kasihan. Karena salah kenal pria, hidupnya jadi hancur seperti ini. Aku langsung merogoh ponselku. Kutelepon Mas Nat demi meminta pertolongannya. Aku tahu dia orang baik. Meskipun keluargaku bejat, tapi aku yakin bahwa pria tampan itu pasti mau menolong Zara buat mendapatkan keadilan. Setidakn
“Ya Allah, Zara!” pekikku histeris sembari menghambur ke arah ranjang Zara. Gadis malang itu tengah terbaring lemah dan masih diberikan tindakan medis dengan semaksimal mungkin. Tangannya dipasangi infus hingga dua jalur. Dadanya penuh terpasang kabel. Sedang mulutnya, kini terpasang selang yang terhubung dengan sebuah balon yang tengah ditekan-tekan oleh seorang perawat pria. Seorang perawat lagi kini sibuk menekan dada Zara berkali-kali. Mereka berdua benar-benar fokus memberikan pertolongan supaya Zara bisa hidup dan tetap bernapas. Hatiku hancur saat melihat betapa lemahnya Zara saat ini. Suara ‘tut’ panjang itu masih saja terdengar memekik keras. Sedang gambar di monitor hanya garis lurus saja. Tubu Zara makin pucat kulihat. Apalagi wajahnya.Ibu berada di dalam de
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen