"Aku bisa bawa sendiri, mas!"
Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor.
Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.
Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksanakan privat namun tetap terkesan glamor. Tak banyak yang mereka undang, hanya keluarga besar, beberapa teman dekat, dan sisanya rekanan utama masing- masing perusahaan.
Setelah menikah, keduanya sempat tinggal tiga hari di rumah Pradipta sebelum akhirnya hari ini bisa pindah ke rumah yang telah dibeli Arkasa. Karena pernikahan yang cukup mendadak, Arkasa pun berusaha menyelesaikan semuanya dengan cepat. Bagi Arkasa, membeli rumah mungkin bukan hal yang sulit. Selain dia lahir sebagai anggota keluarga Pradipta yang terkenal kaya raya tujuh turunan, Arkasa juga punya beberapa sumber cuan yang tak kalah gila. Alana saja sempat mengalami culture shock saat ikut menemani Arkasa mengurus pembelian rumah. Transfer untuk sejumlah nominal yang fantastis terkesan terlalu mudah. Bak checkout belanja online Alana biasanya di e-commerce oranye favoritnya.
Hunian ini lumayan besar untuk ditempati berdua. Dari depan terlihat halaman yang cukup luas dan garasi yang mungkin cukup memuat tiga hingga empat mobil didalamnya. Belum lagi menilik bagian belakang rumah yang terdapat kolam renang dan taman kecil. Mungkin akan jadi spot favorit Alana berhubung dirinya suka berenang. Saat sekolah menengah dulu, dia hampir saja menjadi atlet renang namun tak diizinkan sang ayah karena takut tak bisa fokus pada akademik.
Arkasa membuka pintu utama. Baru saja masuk, keduanya menganga karena melihat figura foto besar yang langsung menghadap pintu utama. Ini pasti campur tangan orang tuanya. Alana meringis ketika mengingat bagaimana sulitnya mendapatkan foto pernikahan itu. Drama Alana kedatangan tamu bulanan saat itu membuat moodnya buruk dan cekcok dengan Arkasa. Untung saja Arkasa berusaha mengendalikan diri lalu mencengkram kuat pinggang Alana hingga gadis itu tak bisa berkutik.
"Untung masih keliatan cantik," cicit Alana yang mengundang decakan heran Arkasa disebelahnya. Alana yang tak mau mengingat hal itu lagi memilih tak menoleh dan berjalan lurus untuk masuk lebih dalam hunian yang akan mereka tempati berdua ini.
Pasal interior pun mereka tak perlu pusing. Semuanya telah terisi dengan estetik dan diselesaikan oleh anak buah Alana. Tentu saja memiliki perusahaan yang bergerak di bidang jasa desain interior dan eksterior membuat Alana tinggal memilih beberapa gambar favoritnya dan membiarkan Arkasa memilih. Kenapa? Karena biar bagaimanapun Arkasa adalah orang yang mengeluarkan dana untuk membeli rumah.
Keluarga sultan tak perlu lagi repot- repot memindahkan atau menata barang. Mereka cukup membawa koper pakaian dan beberapa peralatan pribadi saja. Mudah bukan?
"Aku pakai kamar yang ini ya, mas?!"
Alana berhenti di depan satu kamar dengan pintu berwarna coklat. Bersebelahan dengan kamar satunya dengan warna pintu senada yang juga akan ditempati Arkasa. Arkasa mengangguk saja karena itu memang kesepakatan mereka berdua sebelumnya. Mereka mau tetap tidur terpisah dan punya kamar masing- masing. Kalau suatu saat keluarga datang, mereka hanya akan beralasan karena masing- masing memiliki banyak barang pribadi.
Sebelumnya, tiga hari di rumah keluarga Pradipta tentu mereka mau tak mau menempati kamar Arkasa. Meskipun pada kenyataannya Arkasa tidur di sofa panjang dan Alana tidur di kasur utama.
"Mau lanjut membahas isi kontraknya malam ini?" tanya Arkasa yang kini berdiri di depan pintu. Menyaksikan bagaimana Alana mengantung pakaiannya satu per satu. Alana menoleh kesal, "bisa ketuk pintu dulu gak, sih? jangan ngagetin begitu," ujarnya kesal.
Arkasa juga mulai suka mengganggu Alana. Baginya, gadis jutek itu terlihat makin lucu saat menggerutu.
Dia mendekat lalu duduk di kasur Alana sembari melipat tangan di depan dada. Masih memperhatikan aktivitas istrinya yang kini seolah tak memerdulikan keberadaannya. Dia hanya diam memantau, "kamu belum jawab pertanyaan saya," Arkasa menyadarkan.
Alana menoleh lagi, sadar bahwa suaminya itu tak suka didiamkan begitu. "Iya, nanti malam kita bahas," jawabnya sekenanya.
Tangan Alana tergerak menarik resleting bagian dalam koper, terhenti saat menyadari isinya. Dia melirik Arkasa yang masih memperhatikan gerak- geriknya. "Kenapa masih disini? Mas Arka gak mau merapikan baju sendiri?" tanyanya sembari lebih tepatnya mengusir.
Arkasa menyeringai, "justru itu. Buat apa saya punya istri kalau tidak bisa bantu berberes pakaian?" ucapnya meledek.
Alana menarik nafas perlahan, dia juga semakin sadar bahwa suaminya ini cukup menyebalkan. Dia suka menjahili Alana dan membuatnya kesal. Alana sempat menyesal melabelinya dengan tanda lelaki paling sabar dan sopan karena pertemuannya malam itu. Kenyataanya, Arkasa justru yang paling mudah memancing emosinya.
"Iya nanti aku bantuin. Sekarang Mas Arka keluar dulu, aku selesaikan punyaku terlebih dulu," ucapnya tak mau memperpanjang perdebatan, memilih mengalah. Alana juga mulai membiasakan diri memanggil Arkasa dengan embel-embel "mas" sesuai permintaan suaminya itu.
"Kenapa?" tanya Arkasa yang kini justru memilih mendekat dan tau- tau tangannya sudah menyelinap ke dalam koper milik Alana. Menarik resleting dalam koper sementara Alana entah kenapa masih mematung. Arkasa menyeringai saat melihat isinya lalu balas memandang Alana dengan pandangan meledek.
"Kamu gak mau saya lihat daleman renda- renda ini?" dengan santai Arkasa mengangkatnya, mengambil salah satu celana dengan aksen bordir kebanggan Alana. Wanita itu mendadak sadar akan lamunannya dan jelas melotot marah pada Arkasa. Dia menarik celananya yang tadi dipegang Arkasa dan langsung mendorong kasar suami menyebalkannya itu kearah pintu.
Arkasa masih tertawa bahkan ketika ia mendengar suara kunci diputar dari dalam kamar Alana. Ini salah satu sifat menyebalkan Arkasa yang paling Alana benci, maniak pakaian dalam!
***
"Deketan sini Al duduknya. Kalau jauh begitu kamu gak akan bisa baca poin- poinnya nanti," tutur Arkasa masih dengan sorot meledek. Ia tahu betul istrinya itu masih ngambek karena kejadian tadi siang. Tapi bukan Arkasa namanya kalau mudah menyerah. Seolah tanpa tenaga ia menarik tubuh Alana yang seringan kapas itu hingga duduk berdekatan dengannya. Alana masih menekuk wajahnya kesal namun ia diam saja.
"Oke kita mulai poin pertama, ya!" Arkasa mengetikkan beberapa kalimat di laptopnya lalu menyenggol Alana untuk persetujuan. Wanita itu hanya iya iya saja menanggapi.
"Kamu ada poin tambahan, gak?" pancing Arkasa lagi.
Alana mulai melepaskan tumpuan tangannya di dagu dan akhirnya melirik serius catatan Arkasa. Lelaki itu tersenyum tipis, berhasil, kan?
"Aku mau tetap bekerja setelah menikah," ujarnya lugas. Lelaki itu mengangguk dan langsung mencatatnya, menurutnya itu hal basic dan dia tak pernah ada masalah tentang itu. Lagipula dia sadar betul seberapa passionate Alana dalam bekerja.
"Lagi?"
"Bersikap baik- baik saja di depan keluarga. Menghadiri acara dan jamuan keluarga dan sejenisnya," tambahnya. Arkasa pun kembali menuliskan poin yang hampir dia lupakan tadi.
"Tidak mencampuri urusan pribadi," ujaran Alana kali ini mendapat lirikan dari Arkasa. Lelaki itu mengerutkan keningnya, "contohnya?"
Alana merotasikan bola matanya, "yaa seperti mau pergi dengan siapapun boleh saja," jawabnya.
Arkasa menghentikan ketikannya lalu memandang penuh pada Alana, "dengan syarat izin dulu," ujarnya.
Alana memandang bingung, "kenapa begitu?"
Lelaki itu tersenyum sinis, "kita juga harus menjaga nama baik keluarga. Kalau diantara kita berbuat aneh dan dilihat oleh seseorang akan berbahaya. Setidaknya kalau izin akan bisa saling melindungi, kan?"
Berpikir agak dalam lalu Alana mengangguk. Ya benar juga sih. Mereka berdua bukan dari kalangan biasa, dan pergerakannya akan lebih terbatas. Keduanya harus berhati- hati dan jangan sampai melukai keluarga dua belah pihak, bukan?
"Ada yang ingin aku tanyakan," Arkasa kembali memandang Alana penuh minat, "apa?"
Wanita itu nampak sedikit ragu, namun dia harus membuatnya jelas dari sekarang. Ia melegakan sedikit tenggorokannya, "aku belum siap untuk urusan anak," ujar wanita yang kini menunduk itu.
Perlahan sebuah senyuman miring terbit kembali di sudut bibir Arkasa. Lelaki berkulit terang itu kini menggeser duduknya agar lebih fokus pada Alana. "Kamu tenang saja, saya cukup sadar bahwa pernikahan kita tidak dilandasi cinta dua pihak. Saya tidak mau melibatkan anak yang tidak bersalah nantinya. Karena kedepannya kita tidak tahu, berapa lama kita bisa mempertahankan skenario ini, bukan begitu?"
Balik memandang serius lelaki dihadapannya, Alana lupa fakta bahwa mereka tak bisa menjamin apa yang terjadi kedepannya. Mereka menikah hanya untuk menyelamatkan reputasi dan tradisi keluarga. Suatu saat ada kemungkinan mereka bisa berpisah setelah Adara puas dengan dramanya, tinggal waktu yang menjawab semuanya, bukan?
"Itu tubuh kamu, saya gak akan memaksa kamu untuk memiliki anak dari saya," ujar Arkasa lagi.
Alana sedikit tertegun. Jarang ia menemukan laki- laki yang berpikir seperti Arkasa. Meskipun Arkasa suka mengganggunya dan dalamannya, tapi laki- laki itu sampai saat ini tak pernah menyentuhnya secara berlebihan. Sepersekian detik, Alana hampir saja terpana.
"Tapi bukan berarti saya gak boleh menagih hak saya, kan?"
Deg! Alana langsung mengenyahkan pikiran- pikiran memujanya. Yang namanya laki- laki memang tak akan bisa lepas dari bahasan ini sepertinya. Alana menatap ngeri Arkasa yang menyunggingkan senyum setan miliknya. Tak lama tawa lelaki itu terdengar menggema, "jangan tegang begitu! Tenang saja, saya tidak akan menyentuh kamu kalau kamu tidak mengizinkan," terangnya.
Alana kembali sedikit tenang. Tapi dia lagi merasa aneh, apa- apaan ? Kenapa Arkasa jadi terlalu sopan?
Sekarang dia jadi bingung akan dirinya sendiri. Maunya tak disentuh dan hanya suami istri formalitas diatas kertas, tapi sekarang justru berpikir aneh juga kalau dia menikah tapi tak disentuh suaminya sama sekali, bukan? Duh, dasar wanita. Beragam pikiran aneh menyeruak, apa jangan- jangan Arkasa punya kelainan ya?
Alana tersadar kala mendapati tangan besar Arkasa melayang- layang didepan wajahnya.
"Sedang apa? Mikir jorok, ya?"
Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t
Alana menggenggam erat seminar kit dan tas bawaannya. Langkahnya masih terasa berat, apalagi ketika harus kembali masuk kedalam ruangan sesak yang telah menguras otaknya dua hari kemarin. Dia menghela nafas kasar dan menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan kembali energi dan semangatnya setelah melewati aneka sesi focus group discussion dan serentetan acara lainnya. Perlahan senyuman cantiknya terpancar, ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu.Tak seperti dua hari sebelumnya yang menghabiskan masing- masing sepuluh jam full di dalam ruangan untuk terus berpikir kritis, rundown hari ini jelas berbeda. Setelah memastikan kembali rundown yang dibagikan, Alana bisa bernafas sedikit lega. Hanya tersisa seminar motivasi dan upacara penutupan yang totalnya kurang lebih hanya dihelat selama lima jam. Ia mengembangkan senyumannya makin lebar, setelah ini dia bisa berlibur.Mempertahankan senyumnya kala menyapa beberapa panitia dan peserta lokakarya yang sudah
Satu tangan Arkasa menarik pinggang Alana untuk merapatkan tubuh keduanya, sementara tangan sebelahnya meraih gelas kaca ditangan wanita itu dan meletakkannya kembali di nakas. Setelah itu, tangannya kembali membuai pipi halus Alana tanpa melepaskan tautan mata keduanya sejak tadi."M-mas?" Terbata namun tak juga bisa melepaskan diri. Tangannya mengatung di udara sementara mata cantiknya mengelana seakan memindai ruangan—kemana saja asalkan menghindari tatapan panas milik Arkasa."Tiga hari tanpa kontak, kamu gak kangen saya?" Bertanya lagi seolah tak puas akan respon Alana sebelumnya yang justru mengalihkan percakapan. Perlahan tapi pasti, Arkasa mulai menunjukkan sosok dominannya yang tak mau diabaikan ataupun dibantah.Tapi satu yang membuat wanita pemilik hazel gelap itu heran, sejak kapan Arkasa jadi begini,sih?Alana berusaha bersikap sebiasa mungkin, seolah tak terpengaruh akan tindakan Arkasa. Meskipun sebena
"Mau kemana?"Wangi segar yang menyeruak mampu mengusik lelapnya Alana yang akhirnya berusaha membuka matanya. Gadis itu menggeliat dan mengusap wajahnya pelan, pandangannya perlahan makin jelas dan langsung terarah pada laki-laki yang tengah menyemprotkan parfum mahalnya di pergelangan tangan. Lelaki itu mengenakan pakaian casual, rambutnya pun masih setengah basah. Wajahnya nampak segar karena sepertinya sudah lebih dulu menyapa air dingin."Nanti malam kita akan menghadiri undangan pesta pembukaan perusahaan baru milik rekan bisnis ayah. Beliau yang mengutus kita untuk hadir kesana," Arkasa kini menyibak rambut basahnya kebelakang. Netra elang itu pada akhirnya berlabuh pada Alana yang masih menggulung dirinya dalam selimut persis kepompong. Jelas gadis itu masih setengah sadar, wajahnya nampak clueless dan hanya berdehem pelan sebagai sebuah tanggapan. Arkasa menahan senyum, Alana mode pagi seperti ini tentu nampak men