Share

5. Hari Pertama di Rumah Baru

"Aku bisa bawa sendiri, mas!"

Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor. 

Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.

Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksanakan privat namun tetap terkesan glamor. Tak banyak yang mereka undang, hanya keluarga besar, beberapa teman dekat, dan sisanya rekanan utama masing- masing perusahaan. 

Setelah menikah, keduanya sempat tinggal tiga hari di rumah Pradipta sebelum akhirnya hari ini bisa pindah ke rumah yang telah dibeli Arkasa. Karena pernikahan yang cukup mendadak, Arkasa pun berusaha menyelesaikan semuanya dengan cepat. Bagi Arkasa, membeli rumah mungkin bukan hal yang sulit. Selain dia lahir sebagai anggota keluarga Pradipta yang terkenal kaya raya tujuh turunan, Arkasa juga punya beberapa sumber cuan yang tak kalah gila. Alana saja sempat mengalami culture shock saat ikut menemani Arkasa mengurus pembelian rumah. Transfer untuk sejumlah nominal yang fantastis terkesan terlalu mudah. Bak checkout belanja online Alana biasanya di e-commerce oranye favoritnya. 

Hunian ini lumayan besar untuk ditempati berdua. Dari depan terlihat halaman yang cukup luas dan garasi yang mungkin cukup memuat tiga hingga empat mobil didalamnya. Belum lagi menilik bagian belakang rumah yang terdapat kolam renang dan taman kecil. Mungkin akan jadi spot favorit Alana berhubung dirinya suka berenang. Saat sekolah menengah dulu, dia hampir saja menjadi atlet renang namun tak diizinkan sang ayah karena takut tak bisa fokus pada akademik.

Arkasa membuka pintu utama. Baru saja masuk, keduanya menganga karena melihat figura foto besar yang langsung menghadap pintu utama. Ini pasti campur tangan orang tuanya. Alana meringis ketika mengingat bagaimana sulitnya mendapatkan foto pernikahan itu. Drama Alana kedatangan tamu bulanan saat itu membuat moodnya buruk dan cekcok dengan Arkasa. Untung saja Arkasa berusaha mengendalikan diri lalu mencengkram kuat pinggang Alana hingga gadis itu tak bisa berkutik. 

"Untung masih keliatan cantik," cicit Alana yang mengundang decakan heran Arkasa disebelahnya. Alana yang tak mau mengingat hal itu lagi memilih tak menoleh dan berjalan lurus untuk masuk lebih dalam hunian yang akan mereka tempati berdua ini. 

Pasal interior pun mereka tak perlu pusing. Semuanya telah terisi dengan estetik dan diselesaikan oleh anak buah Alana. Tentu saja memiliki perusahaan yang bergerak di bidang jasa desain interior dan eksterior membuat Alana tinggal memilih beberapa gambar favoritnya dan membiarkan Arkasa memilih. Kenapa? Karena biar bagaimanapun Arkasa adalah orang yang mengeluarkan dana untuk membeli rumah. 

Keluarga sultan tak perlu lagi repot- repot memindahkan atau menata barang. Mereka cukup membawa koper pakaian dan beberapa peralatan pribadi saja. Mudah bukan?

"Aku pakai kamar yang ini ya, mas?!" 

Alana berhenti di depan satu kamar dengan pintu berwarna coklat. Bersebelahan dengan kamar satunya dengan warna pintu senada yang juga akan ditempati Arkasa. Arkasa mengangguk saja karena itu memang kesepakatan mereka berdua sebelumnya. Mereka mau tetap tidur terpisah dan punya kamar masing- masing. Kalau suatu saat keluarga datang, mereka hanya akan beralasan karena masing- masing memiliki banyak barang pribadi. 

Sebelumnya, tiga hari di rumah keluarga Pradipta tentu mereka mau tak mau menempati kamar Arkasa. Meskipun pada kenyataannya Arkasa tidur di sofa panjang dan Alana tidur di kasur utama. 

"Mau lanjut membahas isi kontraknya malam ini?" tanya Arkasa yang kini berdiri di depan pintu. Menyaksikan bagaimana Alana mengantung pakaiannya satu per satu. Alana menoleh kesal, "bisa ketuk pintu dulu gak, sih? jangan ngagetin begitu," ujarnya kesal.

Arkasa juga mulai suka mengganggu Alana. Baginya, gadis jutek itu terlihat makin lucu saat menggerutu. 

Dia mendekat lalu duduk di kasur Alana sembari melipat tangan di depan dada. Masih memperhatikan aktivitas istrinya yang kini seolah tak memerdulikan keberadaannya. Dia hanya diam memantau, "kamu belum jawab pertanyaan saya," Arkasa menyadarkan. 

Alana menoleh lagi, sadar bahwa suaminya itu tak suka didiamkan begitu. "Iya, nanti malam kita bahas," jawabnya sekenanya. 

Tangan Alana tergerak menarik resleting bagian dalam koper, terhenti saat menyadari isinya. Dia melirik Arkasa yang masih memperhatikan gerak- geriknya. "Kenapa masih disini? Mas Arka gak mau merapikan baju sendiri?" tanyanya sembari lebih tepatnya mengusir.

Arkasa menyeringai, "justru itu. Buat apa saya punya istri kalau tidak bisa bantu berberes pakaian?" ucapnya meledek.

Alana menarik nafas perlahan, dia juga semakin sadar bahwa suaminya ini cukup menyebalkan. Dia suka menjahili Alana dan membuatnya kesal. Alana sempat menyesal melabelinya dengan tanda lelaki paling sabar dan sopan karena pertemuannya malam itu. Kenyataanya, Arkasa justru yang paling mudah memancing emosinya.

"Iya nanti aku bantuin. Sekarang Mas Arka keluar dulu, aku selesaikan punyaku terlebih dulu," ucapnya tak mau memperpanjang perdebatan, memilih mengalah. Alana juga mulai membiasakan diri memanggil Arkasa dengan embel-embel "mas" sesuai permintaan suaminya itu. 

"Kenapa?" tanya Arkasa yang kini justru memilih mendekat dan tau- tau tangannya sudah menyelinap ke dalam koper milik Alana. Menarik resleting dalam koper sementara Alana entah kenapa masih mematung. Arkasa menyeringai saat melihat isinya lalu balas memandang Alana dengan pandangan meledek. 

"Kamu gak mau saya lihat daleman renda- renda ini?" dengan santai Arkasa mengangkatnya, mengambil salah satu celana dengan aksen bordir kebanggan Alana. Wanita itu mendadak sadar akan lamunannya dan jelas melotot marah pada Arkasa. Dia menarik celananya yang tadi dipegang Arkasa dan langsung mendorong kasar suami menyebalkannya itu kearah pintu. 

Arkasa masih tertawa bahkan ketika ia mendengar suara kunci diputar dari dalam kamar Alana. Ini salah satu sifat menyebalkan Arkasa yang paling Alana benci, maniak pakaian dalam!

***

"Deketan sini Al duduknya. Kalau jauh begitu kamu gak akan bisa baca poin- poinnya nanti," tutur Arkasa masih dengan sorot meledek. Ia tahu betul istrinya itu masih ngambek karena kejadian tadi siang. Tapi bukan Arkasa namanya kalau mudah menyerah. Seolah tanpa tenaga ia menarik tubuh Alana yang seringan kapas itu hingga duduk berdekatan dengannya. Alana masih menekuk wajahnya kesal namun ia diam saja.

"Oke kita mulai poin pertama, ya!" Arkasa mengetikkan beberapa kalimat di laptopnya lalu menyenggol Alana untuk persetujuan. Wanita itu hanya iya iya saja menanggapi.

"Kamu ada poin tambahan, gak?" pancing Arkasa lagi.

Alana mulai melepaskan tumpuan tangannya di dagu dan akhirnya melirik serius catatan Arkasa. Lelaki itu tersenyum tipis, berhasil, kan?

"Aku mau tetap bekerja setelah menikah," ujarnya lugas. Lelaki itu mengangguk dan langsung mencatatnya, menurutnya itu hal basic dan dia tak pernah ada masalah tentang itu. Lagipula dia sadar betul seberapa passionate Alana dalam bekerja.

"Lagi?"

"Bersikap baik- baik saja di depan keluarga. Menghadiri acara dan jamuan keluarga dan sejenisnya," tambahnya. Arkasa pun kembali menuliskan poin yang hampir dia lupakan tadi. 

"Tidak mencampuri urusan pribadi," ujaran Alana kali ini mendapat lirikan dari Arkasa. Lelaki itu mengerutkan keningnya, "contohnya?"

Alana merotasikan bola matanya, "yaa seperti mau pergi dengan siapapun boleh saja," jawabnya. 

Arkasa menghentikan ketikannya lalu memandang penuh pada Alana, "dengan syarat izin dulu," ujarnya. 

Alana memandang bingung, "kenapa begitu?"

Lelaki itu tersenyum sinis, "kita juga harus menjaga nama baik keluarga. Kalau diantara kita berbuat aneh dan dilihat oleh seseorang akan berbahaya. Setidaknya kalau izin akan bisa saling melindungi, kan?" 

Berpikir agak dalam lalu Alana mengangguk. Ya benar juga sih. Mereka berdua bukan dari kalangan biasa, dan pergerakannya akan lebih terbatas. Keduanya harus berhati- hati dan jangan sampai melukai keluarga dua belah pihak, bukan?

"Ada yang ingin aku tanyakan," Arkasa kembali memandang Alana penuh minat, "apa?"

Wanita itu nampak sedikit ragu, namun dia harus membuatnya jelas dari sekarang. Ia melegakan sedikit tenggorokannya, "aku belum siap untuk urusan anak," ujar wanita yang kini menunduk itu.

Perlahan sebuah senyuman miring terbit kembali di sudut bibir Arkasa. Lelaki berkulit terang itu kini menggeser duduknya agar lebih fokus pada Alana. "Kamu tenang saja, saya cukup sadar bahwa pernikahan kita tidak dilandasi cinta dua pihak. Saya tidak mau melibatkan anak yang tidak bersalah nantinya. Karena kedepannya kita tidak tahu, berapa lama kita bisa mempertahankan skenario ini, bukan begitu?"

Balik memandang serius lelaki dihadapannya, Alana lupa fakta bahwa mereka tak bisa menjamin apa yang terjadi kedepannya. Mereka menikah hanya untuk menyelamatkan reputasi dan tradisi keluarga. Suatu saat ada kemungkinan mereka bisa berpisah setelah Adara puas dengan dramanya, tinggal waktu yang menjawab semuanya, bukan?

"Itu tubuh kamu, saya gak akan memaksa kamu untuk memiliki anak dari saya," ujar Arkasa lagi. 

Alana sedikit tertegun. Jarang ia menemukan laki- laki yang berpikir seperti Arkasa. Meskipun Arkasa suka mengganggunya dan dalamannya, tapi laki- laki itu sampai saat ini tak pernah menyentuhnya secara berlebihan. Sepersekian detik, Alana hampir saja terpana. 

"Tapi bukan berarti saya gak boleh menagih hak saya, kan?"

Deg! Alana langsung mengenyahkan pikiran- pikiran memujanya. Yang namanya laki- laki memang tak akan bisa lepas dari bahasan ini sepertinya. Alana menatap ngeri Arkasa yang menyunggingkan senyum setan miliknya. Tak lama tawa lelaki itu terdengar menggema, "jangan tegang begitu! Tenang saja, saya tidak akan menyentuh kamu kalau kamu tidak mengizinkan," terangnya.

Alana kembali sedikit tenang. Tapi dia lagi merasa aneh, apa- apaan ? Kenapa Arkasa jadi terlalu sopan? 

Sekarang dia jadi bingung akan dirinya sendiri. Maunya tak disentuh dan hanya suami istri formalitas diatas kertas, tapi sekarang justru berpikir aneh juga kalau dia menikah tapi tak disentuh suaminya sama sekali, bukan? Duh, dasar wanita. Beragam pikiran aneh menyeruak, apa jangan- jangan Arkasa punya kelainan ya?

Alana tersadar kala mendapati tangan besar Arkasa melayang- layang didepan wajahnya. 

"Sedang apa? Mikir jorok, ya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status