Share

4. Kesepakatan Bersama

Paduan aroma citrus dan wood mendominasi penciuman Alana ketika angin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Wanita itu masih menatap tanpa gentar si pemilik aroma, lelaki tiga puluhan yang berdiri dihadapannya. Setelah tiga menit lalu pamit dari ruangan dan menyisakan tanya di benak semua orang, kini Alana dan Arkasa telah berada di taman belakang. Dari jarak sedekat ini, ketampanan Arkasa Dean Pradipta makin jelas tercetak. Alana menarik nafas pelan, berusaha menghalau pikiran- pikiran buruknya. 

"Maaf, kamu mungkin terkejut," suara pertama Arkasa setelah beberapa saat terdiam akhirnya terdengar. 

Alana berusaha sopan karena biar bagaimanapun, sosok dihadapannya lebih tua darinya. "Sebenarnya tidak juga," balasnya singkat.

Arkasa tersenyum simpul. Ia mencuri pandang kearah ruang makan dimana lima manusia di dalamnya nampak harap- harap cemas lalu kembali memandang lamat Alana. 

"Jadi, sudah berapa lama kamu berteman dengan Adara?" terlontar begitu saja dari lelaki pemilik wajah dingin dihadapannya. Adara tak langsung menjawab cepat, memberi jeda beberapa detik hanya untuk sekedar memastikan ingatannya. 

"Sejak SMA," balasnya singkat.

Satu tawa kecil hinggap di sudut bibir Arkasa. Alana heran, apa yang lucu memangnya?

"Bagaimana orang cuek seperti kamu bisa betah berteman dengan Adara? Kalian terlalu berbeda, kan?" ujarnya.

Alana mengernyit, satu lagi sifat yang dia tidak suka adalah menilai dan menghakimi orang terlalu dini. Dia tahu kalau sahabatnya Adara sosok gadis periang dan bubbly, berbeda dengannya. Tapi bukan berarti Alana cuek, kan? Dan lagi menilai bahwa dirinya dan Adara terlalu berbeda? Kalau berbeda memangnya tak bisa berteman?

Belum ada beberapa menit pertemuan keduanya, Alana langsung merasa tak suka pada laki- laki dihadapannya. Entah karena faktor tamu bulanannya yang memang hinggap hari ini atau memang senyum miring lelaki dihadapannya tampak terlalu menyebalkan baginya. Bagi Alana, baik Adara maupun Arkasa punya beragam kepribadian. Mereka bisa bermulut manis tapi juga bisa menjadi super menyebalkan. 

"Bapak dosen yang terhormat, saya rasa ini masih terlalu dini untuk menilai kepribadian orang yang baru anda kenal," sarkasnya.

Beberapa menit tadi ditatar tentang serba-serbi kehidupan Arkasa Dean Pradipta sesungguhnya membuatnya muak. Dari sekian informasi yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri, mungkin Alana hanya ingat nama lengkap, umur, profesinya. Sisanya? dia tak begitu peduli. 

Arkasa menarik satu sudut bibirnya, mulai sedikit tertarik dengan sikap jutek yang gadis dihadapannya tunjukkan itu. "Mungkin iya?" jawabnya sekenanya.

Namun Alana justru menangkap ada maksud lain di senyum setengah-setengah itu. Alana menahannya karena sekarang ini dia lebih gemas pada Arkasa yang terkesan bertele-tele dalam menyampaikan maksudnya. Mereka berdua pamit untuk berbicara, namun paham bahwa orang- orang didalam pasti menantikan keputusannya. Jadi bukankah sebaiknya mereka menyelesaikan ini dengan cepat? 

"Maaf, saya tahu anda mungkin berpikir runtut, mulai dari latar belakang, masalah, teori hingga sampai kesimpulan. Tapi bisa langsung saja, kan?" Alana menyentilnya sarkas. Sementara lelaki dihadapannya kini menampakkan senyum kecil lagi. 

"Kamu menolak perjodohan ini?" tanya Arkasa pada akhirnya.

Tepat sasaran dan jelas Alana mengangguk pasti. Ia pikir tak ada salahnya mengatakan yang sejujurnya pada pria dihadapannya, kan? Siapa tahu mereka bisa bekerjasama untuk memperbaiki keadaan. "Kalau begitu kita sama," tambah Arkasa.

Alana makin lega, merasakan angin segar mulai masuk mengisi paru-parunya lagi setelah sejak kemarin ia merasa bak mayat hidup. Masih menunggu Arkasa melanjutkan kalimatnya guna menunggu metode apa yang akan mereka gencarkan setelah ini.

"Saya sejujurnya tidak ada niatan untuk menikah," ujarnya tenang dan memancing Alana untuk ikut mengangguk karena kesamaan mereka. Lelaki tinggi yang mengenakan setelan hitam itu masih memfokuskan pandangannya pada gadis seusia adiknya itu. "Sebelum itu, boleh saya tahu alasan kamu mempertimbangkan tawaran ini? Maksudnya, kamu bisa saja menolak sejak awal, tapi tadi kamu tak terlihat melakukannya," tanya Arkasa lagi. 

Melihat kilat penasaran di mata Arkasa, Alana tak punya motivasi lagi untuk memperumit keadaan. "Balas budi," jawab Alana dengan cepat.

Arkasa menggangguk paham, "kalau begitu terima saja, menikahlah denganku," ujar sang lelaki lugas. Alana menganga, dia tak salah dengar, kan? Dia bilang tadi tak menginginkan ini tapi sekarang kenapa justru begini?

Tanda tanya tercetak jelas di dahi Alana. 

"Kalau kita menolak hari ini, tak akan menjamin semuanya selesai begitu saja. Lambat laun, Adara akan melakukan banyak hal untuk membuat rencananya berjalan, apapun itu. Lebih baik ikuti saja skenarionya sebelum dia berbuat yang lebih gila lagi," dengan enteng lelaki itu berbicara. Alana tak habis pikir, bagaimana bisa lelaki dihadapannya itu benar- benar mengubah keputusannya hanya dalam waktu beberapa menit?

Keheningan tercipta diantara keduanya. Sesungguhnya Alana ingin meledak tapi sadar ini bukan tempat yang tepat. 

"Anda benar- benar menyetujui ide gila ini?" tanya Alana memastikan. Takutnya sejak tadi ia hanya berhalusinasi. Bahkan beberapa kali Alana kedapatan menepuk pelan dirinya sendiri.

Tapi anggukan pasti di kepala Arkasa seakan meruntuhkan lagi dunianya. Kenapa sangat mudah bagi Arkasa untuk menyetujui ini?

"Anda tidak sedang mabuk, kan?" lagi Alana meragukan racauan manusia dihadapannya.

Arkasa menggeleng pelan. Kini nampak wajah kalut Arkasa mulai muncul. "Adara belum memberitahumu?" tanya Arkasa.

Mendadak Alana jadi tak tenang. Arkasa yang sejak tadi berusaha mempertahankan ketenangannya pun mulai menampakkan ada sesuatu yang ia sembunyikan. Apa ada hal lain yang Alana tak ketahui? 

"Sepertinya dia memang menyembunyikan ini dari kita semua," ujar Arkasa sembari berdehem sebentar. Lagi dan lagi Alana menunggu lelaki tegap itu melanjutkan ucapannya. 

"Adara sedang mengandung."

Bak tersambar petir lagi, Alana merasa tertampar untuk kesekian kalinya. Apa yang baru saja dia dengar saat ini benar? Jujur kali ini dia jadi semakin meragukan persahabatannya dengan Adara. Bisa- bisanya Adara menyembunyikan semua ini darinya. 

"Adara bilang begitu?" tanya Alana memastikan. 

Lelaki yang kini mengusap kasar wajahnya itu menggeleng lalu kembali mencuri pandang kearah ruang makan. "Dia tidak tahu saya mengetahui ini, bahkan sampai sekarang," jawabnya. 

Kenapa sih Adara? Kenapa dia menyembunyikan semua masalahnya sendirian? Jadi ini juga faktor kenapa dia benar- benar memaksa Alana untuk segera menikah dengan Arkasa? 

Paham gadis ittu terkejut dengan apa yang dia katakan, Arkasa menambahkan, "awalnya saya ingin meminta penjelasannya karena mengatur semua ini tiba- tiba. Tapi kemudian saya menemukan hasil pemeriksaan di kamarnya."

Lutut Alana melemas, dia hampir oleng dan terduduk di lantai kalau saja tangan kekar Arkasa tak menyangga tubuhnya. Lelaki itu cekatan membantu Alana untuk kembali berdiri. 

"Maaf karena membuat kamu terlibat dalam masalah ini. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin saya membiarkan Adara ketahuan, kamu tahu kan bagaimana keluarga kami?" bahkan hanya sekedar mengangguk pun Alana tak sanggup. Selama ini sejauh yang dia tahu Adara selalu menceritakan apapun kegiatannya apalagi masalahnya.  Tapi kali ini dia benar- benar menyimpan semuanya sendiri? Entah kenapa Alana merasa gagal menjadi sahabat karena mungkin ia terlalu sibuk hingga Adara tak menceritakan masalah ini dengannya.

Arkasa kembali memindai ruangan lalu menatap Alana yang masih berpikir keras.

"Begini, kita bisa ajukan beberapa syarat dalam pernikahan juga. Tapi sekarang lebih baik kita hadapi orang- orang di dalam dahulu. Yang penting kamu sepakat kan untuk membantu Adara kali ini?"

Alana mendongak, menatap keseriusan di mata Arkasa. Alana membulatkan tekadnya, ini semua demi Adara, kan? Kalau selama ini Adara telah banyak membantunya, mungkin inilah saat tepat bagi Alana untuk membalas semua kebaikan sahabat satu-satunya itu.

Detik itu, Arkasa tersenyum singkat. Meraih pelan jemari Alana, merapikan sedikit anakan rambutnya, dan menuntunnya kembali ke dalam ruangan. Keduanya berjalan beriringan setelah Alana berhasil menguasai kembali dirinya. 

Setelah sampai di dalam ruangan, Arkasa sedikit terkejut dengan perubahan drastis Alana. Kalau tadi gadis itu nampak tekejut dan tertekan, kali ini dia jelas melihat topeng keyakinan terpasang sempurna di wajah Alana. Dia pikir, mungkin ini juga alasan Adara hanya memilih Alana sejak awal? 

Oke, karena sudah terlanjur masuk dalam skenario, mereka harus berperan dengan baik sampai akhir, kan?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status