Paduan aroma citrus dan wood mendominasi penciuman Alana ketika angin berhembus sedikit lebih kencang dari sebelumnya. Wanita itu masih menatap tanpa gentar si pemilik aroma, lelaki tiga puluhan yang berdiri dihadapannya. Setelah tiga menit lalu pamit dari ruangan dan menyisakan tanya di benak semua orang, kini Alana dan Arkasa telah berada di taman belakang. Dari jarak sedekat ini, ketampanan Arkasa Dean Pradipta makin jelas tercetak. Alana menarik nafas pelan, berusaha menghalau pikiran- pikiran buruknya.
"Maaf, kamu mungkin terkejut," suara pertama Arkasa setelah beberapa saat terdiam akhirnya terdengar.
Alana berusaha sopan karena biar bagaimanapun, sosok dihadapannya lebih tua darinya. "Sebenarnya tidak juga," balasnya singkat.
Arkasa tersenyum simpul. Ia mencuri pandang kearah ruang makan dimana lima manusia di dalamnya nampak harap- harap cemas lalu kembali memandang lamat Alana.
"Jadi, sudah berapa lama kamu berteman dengan Adara?" terlontar begitu saja dari lelaki pemilik wajah dingin dihadapannya. Adara tak langsung menjawab cepat, memberi jeda beberapa detik hanya untuk sekedar memastikan ingatannya.
"Sejak SMA," balasnya singkat.
Satu tawa kecil hinggap di sudut bibir Arkasa. Alana heran, apa yang lucu memangnya?
"Bagaimana orang cuek seperti kamu bisa betah berteman dengan Adara? Kalian terlalu berbeda, kan?" ujarnya.
Alana mengernyit, satu lagi sifat yang dia tidak suka adalah menilai dan menghakimi orang terlalu dini. Dia tahu kalau sahabatnya Adara sosok gadis periang dan bubbly, berbeda dengannya. Tapi bukan berarti Alana cuek, kan? Dan lagi menilai bahwa dirinya dan Adara terlalu berbeda? Kalau berbeda memangnya tak bisa berteman?
Belum ada beberapa menit pertemuan keduanya, Alana langsung merasa tak suka pada laki- laki dihadapannya. Entah karena faktor tamu bulanannya yang memang hinggap hari ini atau memang senyum miring lelaki dihadapannya tampak terlalu menyebalkan baginya. Bagi Alana, baik Adara maupun Arkasa punya beragam kepribadian. Mereka bisa bermulut manis tapi juga bisa menjadi super menyebalkan.
"Bapak dosen yang terhormat, saya rasa ini masih terlalu dini untuk menilai kepribadian orang yang baru anda kenal," sarkasnya.
Beberapa menit tadi ditatar tentang serba-serbi kehidupan Arkasa Dean Pradipta sesungguhnya membuatnya muak. Dari sekian informasi yang masuk telinga kanan keluar telinga kiri, mungkin Alana hanya ingat nama lengkap, umur, profesinya. Sisanya? dia tak begitu peduli.
Arkasa menarik satu sudut bibirnya, mulai sedikit tertarik dengan sikap jutek yang gadis dihadapannya tunjukkan itu. "Mungkin iya?" jawabnya sekenanya.
Namun Alana justru menangkap ada maksud lain di senyum setengah-setengah itu. Alana menahannya karena sekarang ini dia lebih gemas pada Arkasa yang terkesan bertele-tele dalam menyampaikan maksudnya. Mereka berdua pamit untuk berbicara, namun paham bahwa orang- orang didalam pasti menantikan keputusannya. Jadi bukankah sebaiknya mereka menyelesaikan ini dengan cepat?
"Maaf, saya tahu anda mungkin berpikir runtut, mulai dari latar belakang, masalah, teori hingga sampai kesimpulan. Tapi bisa langsung saja, kan?" Alana menyentilnya sarkas. Sementara lelaki dihadapannya kini menampakkan senyum kecil lagi.
"Kamu menolak perjodohan ini?" tanya Arkasa pada akhirnya.
Tepat sasaran dan jelas Alana mengangguk pasti. Ia pikir tak ada salahnya mengatakan yang sejujurnya pada pria dihadapannya, kan? Siapa tahu mereka bisa bekerjasama untuk memperbaiki keadaan. "Kalau begitu kita sama," tambah Arkasa.
Alana makin lega, merasakan angin segar mulai masuk mengisi paru-parunya lagi setelah sejak kemarin ia merasa bak mayat hidup. Masih menunggu Arkasa melanjutkan kalimatnya guna menunggu metode apa yang akan mereka gencarkan setelah ini.
"Saya sejujurnya tidak ada niatan untuk menikah," ujarnya tenang dan memancing Alana untuk ikut mengangguk karena kesamaan mereka. Lelaki tinggi yang mengenakan setelan hitam itu masih memfokuskan pandangannya pada gadis seusia adiknya itu. "Sebelum itu, boleh saya tahu alasan kamu mempertimbangkan tawaran ini? Maksudnya, kamu bisa saja menolak sejak awal, tapi tadi kamu tak terlihat melakukannya," tanya Arkasa lagi.
Melihat kilat penasaran di mata Arkasa, Alana tak punya motivasi lagi untuk memperumit keadaan. "Balas budi," jawab Alana dengan cepat.
Arkasa menggangguk paham, "kalau begitu terima saja, menikahlah denganku," ujar sang lelaki lugas. Alana menganga, dia tak salah dengar, kan? Dia bilang tadi tak menginginkan ini tapi sekarang kenapa justru begini?
Tanda tanya tercetak jelas di dahi Alana.
"Kalau kita menolak hari ini, tak akan menjamin semuanya selesai begitu saja. Lambat laun, Adara akan melakukan banyak hal untuk membuat rencananya berjalan, apapun itu. Lebih baik ikuti saja skenarionya sebelum dia berbuat yang lebih gila lagi," dengan enteng lelaki itu berbicara. Alana tak habis pikir, bagaimana bisa lelaki dihadapannya itu benar- benar mengubah keputusannya hanya dalam waktu beberapa menit?
Keheningan tercipta diantara keduanya. Sesungguhnya Alana ingin meledak tapi sadar ini bukan tempat yang tepat.
"Anda benar- benar menyetujui ide gila ini?" tanya Alana memastikan. Takutnya sejak tadi ia hanya berhalusinasi. Bahkan beberapa kali Alana kedapatan menepuk pelan dirinya sendiri.
Tapi anggukan pasti di kepala Arkasa seakan meruntuhkan lagi dunianya. Kenapa sangat mudah bagi Arkasa untuk menyetujui ini?
"Anda tidak sedang mabuk, kan?" lagi Alana meragukan racauan manusia dihadapannya.
Arkasa menggeleng pelan. Kini nampak wajah kalut Arkasa mulai muncul. "Adara belum memberitahumu?" tanya Arkasa.
Mendadak Alana jadi tak tenang. Arkasa yang sejak tadi berusaha mempertahankan ketenangannya pun mulai menampakkan ada sesuatu yang ia sembunyikan. Apa ada hal lain yang Alana tak ketahui?
"Sepertinya dia memang menyembunyikan ini dari kita semua," ujar Arkasa sembari berdehem sebentar. Lagi dan lagi Alana menunggu lelaki tegap itu melanjutkan ucapannya.
"Adara sedang mengandung."
Bak tersambar petir lagi, Alana merasa tertampar untuk kesekian kalinya. Apa yang baru saja dia dengar saat ini benar? Jujur kali ini dia jadi semakin meragukan persahabatannya dengan Adara. Bisa- bisanya Adara menyembunyikan semua ini darinya.
"Adara bilang begitu?" tanya Alana memastikan.
Lelaki yang kini mengusap kasar wajahnya itu menggeleng lalu kembali mencuri pandang kearah ruang makan. "Dia tidak tahu saya mengetahui ini, bahkan sampai sekarang," jawabnya.
Kenapa sih Adara? Kenapa dia menyembunyikan semua masalahnya sendirian? Jadi ini juga faktor kenapa dia benar- benar memaksa Alana untuk segera menikah dengan Arkasa?
Paham gadis ittu terkejut dengan apa yang dia katakan, Arkasa menambahkan, "awalnya saya ingin meminta penjelasannya karena mengatur semua ini tiba- tiba. Tapi kemudian saya menemukan hasil pemeriksaan di kamarnya."
Lutut Alana melemas, dia hampir oleng dan terduduk di lantai kalau saja tangan kekar Arkasa tak menyangga tubuhnya. Lelaki itu cekatan membantu Alana untuk kembali berdiri.
"Maaf karena membuat kamu terlibat dalam masalah ini. Tapi saya tidak punya pilihan lain. Tidak mungkin saya membiarkan Adara ketahuan, kamu tahu kan bagaimana keluarga kami?" bahkan hanya sekedar mengangguk pun Alana tak sanggup. Selama ini sejauh yang dia tahu Adara selalu menceritakan apapun kegiatannya apalagi masalahnya. Tapi kali ini dia benar- benar menyimpan semuanya sendiri? Entah kenapa Alana merasa gagal menjadi sahabat karena mungkin ia terlalu sibuk hingga Adara tak menceritakan masalah ini dengannya.
Arkasa kembali memindai ruangan lalu menatap Alana yang masih berpikir keras.
"Begini, kita bisa ajukan beberapa syarat dalam pernikahan juga. Tapi sekarang lebih baik kita hadapi orang- orang di dalam dahulu. Yang penting kamu sepakat kan untuk membantu Adara kali ini?"
Alana mendongak, menatap keseriusan di mata Arkasa. Alana membulatkan tekadnya, ini semua demi Adara, kan? Kalau selama ini Adara telah banyak membantunya, mungkin inilah saat tepat bagi Alana untuk membalas semua kebaikan sahabat satu-satunya itu.
Detik itu, Arkasa tersenyum singkat. Meraih pelan jemari Alana, merapikan sedikit anakan rambutnya, dan menuntunnya kembali ke dalam ruangan. Keduanya berjalan beriringan setelah Alana berhasil menguasai kembali dirinya.
Setelah sampai di dalam ruangan, Arkasa sedikit terkejut dengan perubahan drastis Alana. Kalau tadi gadis itu nampak tekejut dan tertekan, kali ini dia jelas melihat topeng keyakinan terpasang sempurna di wajah Alana. Dia pikir, mungkin ini juga alasan Adara hanya memilih Alana sejak awal?
Oke, karena sudah terlanjur masuk dalam skenario, mereka harus berperan dengan baik sampai akhir, kan?
"Aku bisa bawa sendiri, mas!"Arkasa melepaskan tangannya dari koper besar berwarna silver, membiarkan Alana kini sibuk mengatur beberapa tombol di kopernya dan mulai menariknya. Belum genap seminggu resmi menjadi suami Alana, sedikit banyak ia mulai paham bagaimana wanita itu begitu tak mau terlihat lemah. Arkasa mungkin juga tak akan kaget nantinya kalau melihat Alana mengangkat dan mengganti galon sendiri atau mungkin membenahi rumah bocor.Yap, setelah pertemuan keluarga malam itu, semuanya sepakat bahwa pernikahan Alana dan Arkasa dilaksanakan dua minggu setelahnya. Kenapa? Karena keluarga percaya itu adalah hari baik terdekat. Mereka tak mau menunda- nunda pernikahan Arkasa dan Alana. Lagipula, bagi keluarga super kaya raya seperti keluarga Pradipta, mengurus satu acara pernikahan bukanlah hal sulit.Arkasa dan Alana tinggal terima jadi. Mereka hanya diharuskan memilih satu konsep dan langsung memilih yang paling sederhana. Perhelatannya pun dilaksan
Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy
Arkasa hampir memuntahkan kembali air yang baru saja dia teguk ketika rungunya menangkap suara tak biasa di pagi temaramnya. Setelah mengusap bibirnya, perlahan juga netranya makin terbuka. Arkasa menyingkirkan residu disekitar matanya untuk memperjelas penglihatan, melirik jam dinding yang menunjuk pukul enam pagi. Rambut laki- laki itu masih acak-acakan, mengenakan kaos hitam polos seadanya dan celana trening yang biasa nyaman ia pakai tidur. Kaki panjangnya melangkah mengikuti asal keributan. Tadinya Arkasa berada di dapur untuk minum air setelah bangun tidur. Namun suara kecipak air yang lumayan kencang cukup membuat rasa penasarannya membuncah. Dapur dan taman belakang hanya dibatasi satu pintu sliding besar. Arkasa membuka sedikit lalu menyembulkan kepalanya keluar guna mengamati. Benar saja, ada sosok yang tengah berenang jam enam pagi dengan brutal di kolam. Arkasa mengernyit heran namun beberapa saat kemudian sadar bahwa ia tak tinggal sendirian di rumah ini. Sia
Wanita bersurai hitam itu masih setia di depan laptop, berkutat pada rancangan terbarunya. Alisnya naik turun seiringan dengan pening yang tiba- tiba menyeruak dibarengi lantunan paduan suara dari perut. Mata kucingnya melirik jam dinding, pukul 11 lewat, ini sudah larut malam. Sial. Kenapa harus lapar selarut ini? Pikirnya.Alana baru ingat, terakhir ia menyentuh makanan hari ini saat makan siang. Itupun hanya setengah porsi pasta. Salahkan hari super sibuk dan hecticnya hingga sulit sekali rasanya untuk makan. Sekali lagi egonya berdebat, jam kritis mau makan apa? Kata orang, makan tengah malam bisa membuat berat badannya naik. Tapi suara dan alarm kelaparan itu terus mengganggu konsentrasinya. Setelah perdebatan batin itu, akhirnya dengan langkah berat Alana menuju dapur. Persetan dengan berat badan naik! Yang penting dia bisa konsentrasi lagi melanjutkan pekerjaannya yang harus dia selesaikan sebelum berangkat seminar tig
"Mau saya pesankan sesuatu, bu?"Lagi dan lagi hanya gelengan yang ia dapat sebagai jawaban. Rosaline untuk kesekian kalinya masuk dengan raut cemas kedalam ruangan bos utamanya. Ini pukul 2 siang dan bosnya itu tidak berpindah posisi sama sekali sejak pagi tadi. Beginilah Alana kalau sudah terlalu fokus pada pekerjaannya, makan dan istirahat sama sekali tak ia indahkan. Memang Alana bukan tipikal yang sering sakit dan bahkan dianggap punya daya tahan tubuh yang cukup bagus. Namun tetap saja, riwayat penyakit lambungnya dan terlebih dulu ia pernah kumat saat di kantor cukup membuat Rosaline was-was. Ia tentu tak mau bos kesayangannya itu jatuh sakit lagi."Tapi sebentar lagi akan ada meeting di ruangan utama. Bu Alana belum makan siang sedikitpun, kan?" Rosaline berusaha mengingatkan lagi.Kali ini Alana menatapnya, "ah iya, client itu sudah datang belum?" tanya Alana.Rosaline yang tadinya hampir tersenyum kini kembali melunturkan senyuman di bibirnya. D
Manhattan rasanya jauh sekali. Oh bukan rasanya, tapi memang benar- benar jauh. Hampir dua puluh empat jam berada di dalam pesawat termasuk transit dan segala macamnya membuat tubuh Alana rasanya hampir remuk. Sudah lama sekali ia tak mengikuti lokakarya dan semacamnya hingga sejauh ini, ke benua Amerika pula. Siapa sih yang memilih perhelatan tahunan ini dilaksanakan disini?Dengan sisa kekuatannya, Alana menarik koper milik suaminya itu. Dia telah disapa ramah oleh beberapa utusan yang bertugas menjemput para peserta lokakarya. Ada beberapa juga kenalannya yang pernah ia temui di beberapa kesempatan sebelumnya sehingga Alana tak merasa terlalu kesepian. Alana melirik Rosaline yang nampak jauh tertinggal dibelakangnya, gadis itu nampak sibuk dengan ponselnya sejak tadi. Mungkin sedang mengabari kekasihnya.Mereka masuk kedalam mobil yang disediakan panitia untuk diantar ke hotel tempat diadakannya acara yang akan digelar tiga hari kedepan. Yap, acara seriusnya hanya t
Alana menggenggam erat seminar kit dan tas bawaannya. Langkahnya masih terasa berat, apalagi ketika harus kembali masuk kedalam ruangan sesak yang telah menguras otaknya dua hari kemarin. Dia menghela nafas kasar dan menatap sekeliling, berusaha mengumpulkan kembali energi dan semangatnya setelah melewati aneka sesi focus group discussion dan serentetan acara lainnya. Perlahan senyuman cantiknya terpancar, ini adalah hari yang paling dia tunggu-tunggu.Tak seperti dua hari sebelumnya yang menghabiskan masing- masing sepuluh jam full di dalam ruangan untuk terus berpikir kritis, rundown hari ini jelas berbeda. Setelah memastikan kembali rundown yang dibagikan, Alana bisa bernafas sedikit lega. Hanya tersisa seminar motivasi dan upacara penutupan yang totalnya kurang lebih hanya dihelat selama lima jam. Ia mengembangkan senyumannya makin lebar, setelah ini dia bisa berlibur.Mempertahankan senyumnya kala menyapa beberapa panitia dan peserta lokakarya yang sudah
Satu tangan Arkasa menarik pinggang Alana untuk merapatkan tubuh keduanya, sementara tangan sebelahnya meraih gelas kaca ditangan wanita itu dan meletakkannya kembali di nakas. Setelah itu, tangannya kembali membuai pipi halus Alana tanpa melepaskan tautan mata keduanya sejak tadi."M-mas?" Terbata namun tak juga bisa melepaskan diri. Tangannya mengatung di udara sementara mata cantiknya mengelana seakan memindai ruangan—kemana saja asalkan menghindari tatapan panas milik Arkasa."Tiga hari tanpa kontak, kamu gak kangen saya?" Bertanya lagi seolah tak puas akan respon Alana sebelumnya yang justru mengalihkan percakapan. Perlahan tapi pasti, Arkasa mulai menunjukkan sosok dominannya yang tak mau diabaikan ataupun dibantah.Tapi satu yang membuat wanita pemilik hazel gelap itu heran, sejak kapan Arkasa jadi begini,sih?Alana berusaha bersikap sebiasa mungkin, seolah tak terpengaruh akan tindakan Arkasa. Meskipun sebena