Share

6. Hadiah Pengantin Baru

Alana menganga ketika melihat di depan ruang kerjanya berjejer bunga dan aneka bentuk ucapan selamat entah dari pegawainya atau kiriman rekan kerja. Tadi juga sepanjang perjalanan menuju ruangan ia harus terus memasang senyum saat tiap orang menyapanya sembari memberi selamat. Memang Alana tak mengundang semua pegawainya, tapi siapa di kota ini yang tak tahu bahwa dirinya menikahi salah satu anak konglomerat paling hits?

Menghela nafas pelan sebelum mengambil beberapa bidikan foto menggunakan ponselnya. Tak butuh waktu lama baginya untuk mengunggahnya ke salah satu media sosial dan melayangkan ucapan terimakasih. Tak perlu menandai siapapun, terlalu banyak nama yang harus disebutkan kalau dia mau menandai. Jadi sebagai wanita sibuk, Alana hanya mengunggahnya secara umum saja. Yap, untuk mempermanis dramanya, setidaknya dia harus melakukan ini bukan?

Hendak membuka pintu ruangannya, namun sulit karena dihalangi berbagai karangan bunga. Ia memanggil salah satu office boy untuk merapikan seluruhnya. Namun ketika sedang mengawasi bunga- bunga itu diangkut, pandangannya terarah pada salah satu kartu ucapan yang terikat di buket mawar putih. Tulisan standar happy wedding, namun tulisan tangan itu begitu melekat hingga dia bisa tahu siapa pengirimnya. 

"Yang itu mau disimpan, bu?" tanya si OB yang kini menunjuk buket bunga di tangan Alana.

Alana tersadar lalu dia menyerahkannya dengan cepat, "khusus yang ini sebaiknya kamu buang paling jauh! Atau bakar saja sekalian!" ketusnya. Ia lalu masuk kedalam ruangannya, menyisakan sang office boy malang yang bingung akan perubahan mood bosnya. 

***

Beberapa hari tak masuk kerja membuat Alana harus mengejar dengan cepat ketertinggalannya. Untung dia punya asisten cekatan yang dapat diandalkan, setidaknya perkerjaannya cukup diringankan. 

"Permisi bu," Rosaline, si asisten kepercayaannya masuk sembari membawa teh hangat untuknya.

"Thanks," sahut Alana ketika Rosaline meletakkan cangkir kecil dengan asap mengepul itu di meja.

"Kenapa kamu senyum- senyum begitu?" tanya Alana yang merasa aneh dengan gelagat asisten utamanya yang terus menampakkan senyum aneh baginya.

Gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu memberi tatapan meledek, "saya pikir bu Alana akan kembali lebih lama. Masa hanya cuti empat hari sih?" ujarnya.

Alana melotot, hanya?  Meninggalkan kantor empat hari sudah sudah membuatnya mati kutu banyak pikiran. 

"Kalau mau lebih juga tidak apa bu. Sebagai bos, ibu jarang mengambil libur dan kalaupun mau cuti sedikit lebih lama juga tidak masalah seharusnyaa," ucapan Rosaline sedikit menarik kabel emosi Alana. Sejujurnya, baik dia karyawan ataupun bos, bukannya aturan tetaplah aturan? 

Mungkin karena pengaruh Rosaline sudah cukup lama bersamanya, makanya gadis itu jadi sedikit lebih berani bercanda dengan Alana yang dikenal jutek itu. "Rosa, kalau kamu bicara begitu, kedengarannya kurang baik di telinga karyawan. Mau saya bos ataupun karyawan, aturannya tetap sama," Alana memberi pengertian. 

Rosaline mungkin sedikit tersentil dan merasa malu, ia lanjut senyum- senyum tak enak lalu meminta maaf. 

Tak biasa berlarut- larut, Alana langsung meminta jadwal mingguannya pada Rosaline. Kembali membahas daftar pekerjaan yang harus mereka kerjakan kedepannya. 

Ditengah pembahasan, ponselnya berdering. Ia meminta Rosaline untuk menghentikan sebentar penjelasannya dan menerima panggilan dari bundanya. 

"Iya bunda?"

Alana menyapa dengan ramah. Selama menikah bundanya tak pernah menghubunginya secara langsung. Malah lebih sibuk video call dengan mama mertuanya dan juga Adara. Entah apa yang mereka bicarakan. 

"Al, kamu sudah balik kerja lagi, ya?" tanya si bunda diseberang telepon.

Alana berdehem, "iya nih bun, sudah beberapa hari kutinggal, jadi banyak yang harus aku kejar. Bunda nelpon pagi- pagi, ada apa?"

"Bunda cuma mau tanya aja, minggu depan kamu bisa luangkan waktu sekitar tiga harian tidak?

Alana mengernyit, "tiga hari? untuk apa bun?"

Diseberang bunda Alana mendesis kesal, "kamu itu kemarin kan masih di rumah mertua terus sibuk ngurus surat- surat ini itu sama Arkasa. Terus sekarang langsung balik kerja. Kamu belum bulan madu loh, nak!"

Astaga! Alana ingin menjerit keras sekarang. Bisa- bisanya bundanya membahas hal ini.

"Duh bunda! Jangan bahas itu dulu yaa! Aku baru balik kerja, Mas Arka juga baru mulai masuk hari ini. Kita sama- sama lagi sibuk sekarang."

"Gak bisa gitu dong sayang! Bunda sama mama mertua kamu udah pilih-pilih tempat dan survey juga. Tinggal menentukan waktu aja. Pokoknya bunda maunya paling lambat minggu depan kalian harus berangkat," kukuh sang bunda.

"Tapi bun--" telepon dimatikan secara sepihak. Alana menggerutu kesal. Dia menghubungi bundanya via chat namun tak dibalas. Masalahnya dia paham betul karakter sang bunda yang meskipun suka bercanda, namun jika sudah kukuh pada satu hal pasti akan mengusahakan berbagai jalan.

Sampai akhirnya dia mendengar dering telepon Rosaline. Gadis itu pamit sebentar keluar lalu tak lama masuk lagi dan memberikan tatapan aneh pada Alana.

"Tadi Bu Diandra menelepon, katanya saya diminta kosongkan jadwal bu Alana untuk minggu depan. Sudah saya iyakan," ujarnya.

Alana kembali melotot, "loh kenapa begituu?!" 

Rosaline terkikik, daripada ia menerima omelan dari bosnya ini, lebih baik ia cepat- cepat pergi dari ruangan. Ia pamit sembari membawa beberapa pekerjannya, meninggalkan Alana yang masih melotot tidak terima. 

Alana menghela nafasnya kasar. Bisa- bisanya para ibu melakukan ini padanya. Alana merengek sebelum meluruskan lengannya di meja dan menelungkupkan kepalanya disana. Setengah frustasi karena demi sandiwara ini pekerjaannya bisa- bisa ikut terseret.

Wanita dengan rambut hitam legam itu kembali meraih ponselnya ketika dering ponsel berbunyi lagi. Setelah tadi bundanya, kali ini sahabat sekaligus saudara ipar tersayangnya, Adara yang menelpon. 

"Yaa kenapa, Dar?"

"Coba cek email yah kakak ipar, urgent !" 

Terdengar tawa cekikikan adara dan sang ibu mertua. Setelah mengatakan kalimat itu, Adara mematikan telepon secara sepihak. Kenapa sih hari ini orang- orang yang menghubunginya suka mematikan sambungan secara sepihak? Alana lagi- lagi menggeram kesal sembari memeriksa apa yang Adara kirimkan di emailnya.

Mata si gadis kembali membulat. Gila, apa- apaan ini? Adara mengirimkan attachment dua tiket pesawat dan penginapan. Ditambah lagi destinasinya membuat Adara menganga. Serius Maldives?

Belum selesai kekagetannya, kini si suami tersayang yang giliran menghubunginya. Serius! Alana berjanji pokoknya kali ini dialah yang akan memutus sambungan secara sepihak. Egonya mengatakan demikian, hari ini dia sudah terlalu banyak tersakiti.

Ketika telepon terangkat, terdengar deheman yang seratus persen ia sadar merupakan suara khas milik suaminya. "Hm?"

"Mama telpon kamu juga tadi?" lelaki itu langsung memotong.

Alana memijat pelipisnya, "iya, terus gimana mas?"

Jawaban Arkasa membuat Alana bingung setengah mati, "ya sudah, memang mau gimana? Ikuti saja kemauannya."

"Loh kok kamu jadi pasrah?"

Arkasa tertawa kecil, "ya gimana, Al? Saya bahkan belum memulai isi kelas. Tapi rektor datang dengan senyum untuk mengatakan bahwa saya bisa pakai cuti tambahan minggu depan," lelaki itu merasa miris. Sadar bahwa itu pasti juga perbuatan keluarganya. Sejujurnya ini juga yang membuatnya jadi malas bekerja kembali di Indoneisa. Pengaruh orang tuanya terlalu besar, sih. 

Alana merutuk, baru selesai cuti kenapa justru diminta libur lagi? 

"Ya tapi masa kita mau menurut saja? Terus terang aku keberatan kalau ini mengganggu pekerjaan. Kita sama- sama baru kembali ke tempat kerja, lho!" protes Alana lagi.

Diseberang terdengar helaan nafas pelan dari Arkasa yang mungkin sama kesalnya. "Iya, paham. Saya juga inginnya bisa kerja normal dulu dan gak terdistract, tapi kamu tau kan seberapa besar power keluarga kita? Saya justru takutnya kalau kita gak jalanin ini, yang ada mereka menggunakan cara lain yang membuat kita makin sulit. Contohnya sudah kejadian di saya. Itu pasti mama yang kontak pak rektor untuk bilang begitu. Kamu mau justru mama kontak client kamu dan membuat perjanjian aneh lainnya?"

Jawaban panjang dari Arkasa kali ini ada benarnya. Setelah melihat sendiri bagaimana kerasnya keluarga Pradipta, kemungkinan seperti itu juga bisa saja terjadi. Apalagi dengan akses yang keluarga itu miliki pasti tak akan sulit untuk melakukan hal- hal diluar nalar juga. Alana jadi takut. 

Tak mendengar jawaban dari Alana yang tengah berpikir keras, Arkasa menghela nafas sabar lagi. "Ya sudah, jangan dipikirkan dulu. Kamu fokus kerja aja hari ini. Nanti malam kita bahas lagi di rumah," ujar Arkasa.

Alana mengangguk lalu tertawa tanpa suara karena sadar akan hal yang baru dilakukannya. Bagaimana Arkasa bisa melihatnya mengangguk?

"Iya mas," jawabnya sebelum akhirnya mengakhiri panggilan. Alana mengusap kasar rambutnya lalu menghela nafas lagi entah untuk keberapa kalinya. Dia pikir bermain peran dengan menikahi Arkasa saja sudah menyelesaikan satu masalah. Tapi ternyata penyelesaiannya tak pendek dan justru merembet kemana-mana. Ada terlalu banyak hal yang harus dia lakukan selama menjadi istri seorang Arkasa Dean Pradipta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status