Nuria mematung menatap mobil yang meninggalkan gerbang. Entah mau ke mana mereka. Suaminya hanya bicara jika sedang ada urusan. Nuria mendekat pada lemari dan mencari-cari jilbab. Dia akan turun ke lantai bawah untuk membunuh rasa bosan. Meskipun tak tahu akan melakukan apa? Namun berdiam di kamar membuat dunianya terasa terpenjara. Di lantai bawah tampak Bi Lala tengah sibuk membersihkan perabotan. Suaranya terdengar nyaring karena bersenandung. Sebuah lagu sunda yang membuat siapapun tersentuh dengan liriknya---pileuleuyan. “Bagus suaranya, Bibi.” Sontak Bi Menih menoleh. Sedikit tersipu karena terpergok sedang bersenandung ria. “Duh ada Neng Nuria, eh Nyonya maksudnya.” Digaruknya kepala yang rasa tak gatal. “Panggil Neng saja gak apa, Bi. Panggil Nur juga boleh.” Nuria menyunggingkan senyum. Keberadaan Bi Lala sedikit mengusir rasa hampa di dalam dada. “Ah gak berani. Juragan bilang sama istrinya tuh harus panggil Nyonya atau Ibu.” “Saya kan masih muda, Bi. Dipanggil Neng j
“Abang ada urusan sebentar, Istriku. Mungkin selama seminggu ini kamu tidur sendirian! Gak apa, ya?! Kalau kesepian, minta Bi Lala saja temani tidur di sini!” Dia mengusap pipi Nuria. Lalu bangkit dan gegas berjalan dengan wajah yang tampak tegang. “B--Bang!” Panggilan Nuria menghentikan langkah lelaki itu. Dia menoleh dan menatap dengan senyuman yang tak tampak natural. “Ya, Istriku.” “Apa aku boleh beli ponsel? Aku mau mencari nomor Ibu. Pengen tahu kabarnya.” Entah kenapa Nuria masih saja merasa harus izin ketika hendak menggunakan uang yang diberikan suaminya. Juragan Arga terdiam sejenak. Langkahnya kembali mendekat ke arah Nuria, tetapi ternyata tujuannya bukan Nuria, melainkan menuju ke arah lemari. Lalu dia berjongkok dan mengambil sesuatu dari laci paling bawah yang dia kunci. Sebuah tas kain mini berwarna merah diambilnya. “Kamu gak usah beli lagi … maaf Abang lupa belum memberikan ini. Sudah ada sim cardnya. Tanya pada Bi Lala saja cara menggunakannya.” Ada senyum te
“Bibi, apakah suamiku punya banyak lagi istri-istri muda yang menjadi simpanannya? Apakah bukan hanya aku saja dan dua orang yang tadi Bibi sebutkan?” Nuria teringat gadis sabayanya yang berangkat bersama dengan suaminya tempo hari. Perempuan yang tampak begitu disayangi juga oleh juragan Arga. Bi Lala menautkan alis. “Memangnya Nyonya lihat di mana, ya?” “Dari balkon kamar tempo hari, Bi. Dia ada bawa suster sama anak kecil juga.” Bi Lala menautkan alisnya. Dia mencoba mengingat-ingat. Namun tak pernah ingat jika majikannya membicarakan lagi pernikahannya.“Setahu Bibi gak ada, Nyonya. Istrinya Juragan hanya Nyonya Saraswati almarhum, Nyonya Nilam dan sekarang Nyonya.” “Lalu siapa gadis muda itu, ya, Bi? Apa mungkin calon istri barunya, ya?”Nuria menautkan alis dan mengingat-ingat lagi, tapi benar sekali, dia masih ingat jika suaminya bahkan memperlakukannya dengan begitu manis. Bi Lala menggeleng.“Hmmm … setahu Bibi, Juragan bukan tipe seperti itu, Nyonya. Mungkin nanti bisa
“Berikan dulu nomor itu padaku, Bi! Atau gak akan ada uang sama sekali yang akan aku keluarkan untuk Bibi! Gimana?” Nuria menatap tajam. Wajah Bi Lela semakin memerah dibuatnya sekarang. Bi Lela berdecak, lalu menatap tajam pada Nuria. Gak menyangka, keponakannya yang penurut sudah berubah. Apakah mungkin kekuatan uang bisa sebegitu dahsyatnya? “Kamu sudah berani sama Bibi sekarang ya, Nur! Menolak dan melawan Bibi, sama saja cari mati.” Dia menyeringai, raut wajahnya yang ditekuk perlahan berubah dipenuhi seringai tajam. Nuria hanya menarik napas panjang. Lelah, itu yang dia rasakan setiap kali beradu debat dengan orang seperti Bi Lela. Nuria belum menjawab, ketika Bi Lela melanjutkan kalimatnya. “Nuria keponakanku yang manis, sayangnya gaya OKB kamu gak bakal bisa nekan Bibi. Sekarang sih, semua terserah sama kamu … mau pinjami Bibi uang, atau Bibi buat Ibu kami membenci kamu. Ingat, Nur … Mbak Fatma sangat membenci Juragan Arga. Kamu lupa, ya? Mbak Fatma pergi jadi TKW ke luar
“Bu Anggi, mari mau minum apa?” Bi Lala tak menjawab pertanyaan Anggita, tetapi dia gegas mengalihkan pembicaraan. Dia pun mengisyaratkan Nuria untuk gegas ke dapur, tak berlama-lama di sana. “Ahm gak usah Bi Lala, saya hanya mau mengambil barang Celia yang tertinggal. Kebetulan tadi sekalian lewat! Lagian, saya bawa minum sendiri, kok!” Anggita menjawab pertanyaan Bi Lala seraya menunjukkan kaleng softdrink yang sudah terbuka di tangannya, tetapi fokusnya pada punggung Nuria yang menjauh dan menghilang di balik pintu yang menghubungkan ke dapur.“Bi Lala … apa dia sepolos penampilannya?” Anggita masih tertarik membahas Nuria. Bi Lala memaksakan diri tersenyum dan mengangguk.“Seperti yang Bu Anggi lihat, Nyonya Nur masih sangat belia.”“Apakah bukan serigala berbulu domba, Bi? Yang pura-pura polos, tetapi sebetulnya mengincar kekayaan harta benda milik kakak saya?” Anggita berbicara pada Bi Lala, tetapi semua itu seperti dia lontarkan pada dirinya sendiri. “Bibi gak tahu, Bu! Nam
Hari ketiga yang ditunggu Bi Lela pun tiba. Sejak pagi dia melihat ke arah jalanan, berharap Nuria mengirimkan seorang utusan untuk mengiriminya uang. Namun hingga sore menjelang, tak ada kabar sedikit pun dari keponakannya itu. Tak ada sepeser pun uang yang Nuria kirimkan. “Mama, gimana sudah dapat uangnya, Ma?” Nirina yang sudah cantik dengan balutan kebaya dan riasan wajah yang paripurna menatap ibunya. Sore itu keluarga Rudi akan datang untuk meminangnya, meresmikan hubungan mereka berdua. “Kamu itu tahunya cuma uang sih, Rin! Si Nur gak ngasih, jangan tanya Mama melulu! Lagian coba kamu suruh di Rudi itu nanggung semua biaya, sih? Yang mau nikah ‘kan kalian, kenapa Mama yang harus repot gini!” Bi Lela menoleh pada Nirina. Lama-kelamaan, kesal juga rasanya. Yang membuat dia kesal karena keinginan Nirina untuk membuat pesta lebih mewah dari pada pesta pernikahan Nuria dan Juragan Arga. “Kok gitu sih, Ma? Mama kan orang tua aku. Kok ada orang tua yang pikirannya sempit kayak Mam
“Iya, Mama setuju, Yah! Semoga saja setelah disakiti keluarga si Rudi, Rina mau ya sama Juragan Arga. Tapi emangnya Juragan lagi mau cari istri baru lagi, Yah?”Bi Lela menoleh pada Paman Nursam yang tengah memijit pelipisnya. “Gampang itu, sih, Ma. Nanti biar Ayah tanyakan sama Pak Suryadi. Lagian si Rina juga gak kalah cantik sama si Nur. Bisa-bisa malah jadi istri kesayangan Juragan nantinya. Biar keponakan kurang ajar itu tahu diri. Mama pastikan saja bujuk Rina biar mau sama Juragan Arga, ya!” Paman Nursam bicara dengan berapi-api. “Iya, bener, Yah! Mama juga kesel sama si Nur. Mentang-mentang sudah jadi istri orang kaya, sudah seperti kacang lupa kulitnya. Biar Mama nanti bujuk Nirina, masa iya dia gak terpikat melihat ketampanan Juragan Arga. Mama saja kalau tahu keren sama ganteng kayak gitu mah, dari kemarin gak akan setujuin Si Rina sama Rudi, huh. Ayah juga gak bilang kalau Juragan masih ganteng.” “Ya mana ayah tahu lah, Ma. Lagian memang ayah juga gak pernah langsung ko
“B--bukan itu, Juragan. Saat ini, Nirina sudah dewasa … dia sudah siap untuk menikah! Apakah Juragan ada minat untuk tambah istri baru misalnya. Saya jamin, Nirina gak kalah cantik dari pada Nuria, Juragan!” Paman Nursam akhirnya bisa menyampaikan kalimatnya dengan lancar. Juragan Arga tertegun, ditatapnya lekat wajah lelaki paruh baya yang ada di depannya itu.“Pak Nursam bercanda?”“Tidak, Juragan. Saya serius. Waktu kemarin itu Nirina memang belum siap nikah. Sekarang dia sudah siap, Juragan.” Juragan Arga bergeming. Dia menautkan alis dengan tatapan yang tajam menatap Paman Nursam.“Bagaimana orang bisa dewasa secepat itu.” Seolah tengah berbicara dengan dirinya sendiri, Juragan Arga hanya memalingkan wajah. “Betul, Juragan. Kemarin itu Nirina sangat takut untuk menikah, tetapi sekarang sudah siap. Dia bahkan siap menjadi adik madu dari Nur, Juragan. Saya harap Juragan bisa mempertimbangkannya.” Lelaki dengan wajah tampan itu bergeming. Dia melirik sekilas pada Paman Nursam de