Sudah terlambat. Ayara tidak semangat lagi untuk melanjutkan langkahnya. Dari rumah Nawang menuju jalan raya saja membutuhkan waktu tidak kurang dari lima belas menit untuk sampai, karena dia hanya berjalan kaki atau berlari. Belum lagi menunggu bis yang dapat membawanya ke depan kampus datang. Setidaknya butuh lima belas menit lagi, bahkan bisa lebih dari itu. Sedangkan waktunya tinggal satu jam kurang. Kalau sedang beruntung sih bisa sepuluh menit sudah ada bis lewat, kalau lagi apes, bisa satu jam baru bisa naik.“Kelinci Liar,” panggil Cashel, merasa kasihan melihat Ayara menekuk wajah sambil berjalan. Matanya sempat bersitatap dengan Arlo yang tampak biasa saja.“Dasar manusia salju tak punya hati! Tunggu aku di sini, akan kubuat perhitungan denganmu!” teriak Cashel, mengancam Arlo. Kemudian dia menarik tangan Ayara untuk lari bersamanya. Arlo hanya menatap keduanya tanpa ekspresi.“Aku sudah mau kehabisan tenaga,” kata Ayara. “juga percuma, karena pasti akan terlambat,”“Kamu ti
Gistara merasa heran dengan Ayara, mengapa dia terlihat begitu buru-buru mengemas barang-barangnya begitu kuliah selesai. Padahal sebelumnya Ayara selalu santai, bahkan sering mengajaknya mengobrol dulu di kantin, atau sekadar duduk-duduk di bawah pohon akasia, yang ada di halaman kampus.“Ponselmu ke mana? Kamu bahkan tidak pernah membaca pesan whatsappku.” Kata Gistara. Ayara menatap wajah sahabatnya lekat-lekat.“Maafkan aku, Tara, bahkan mungkin, aku tidak akan pernah bisa lagi menemanimu jalan-jalan dan sebagainya, seperti dulu,” kata Ayara, seraya mengamankan tasnya di punggung. Keduanya melangkah beriring keluar ruangan.“Kenapa?” protes Gistara, tidak terima.“Aku mendapat pekerjaan,”“Hah? Kerjaan? Kerjaan apa? Buat apa lagi? Sedangkan kamu sudah peroleh uang yang lumayan banyak dari …”“Sssst…” Ayara langsung membekap mulut Gistara sebelum gadis itu menyeselesaikan kalimatnya. Lalu memberinya kode, bahwa ada sesorang yang sedang berjalan ke arah mereka.“Apa kabar, Ayara,” o
Sudah tiga jam! Ayara tersentak ketika membuka kedua matanya, tubuhnya langsung berjingkat duduk. Seorang pria sedang duduk di kursi belajarnya. Laptopnya juga menyala di depan pria tersebut. Ayara diberi waktu satu jam untuk istirahat, dan berbenah diri sejak pulang dari kampus. Tetapi dia justru tertidur dan baru bangun tiga jam kemudian. Mengapa Arlo Raynar tidak membangunkannya?“Kenapa Tuan Muda ada di sini?” tanya Ayara. Dalam hati merutuki, sungguh tidak beradab tuannya itu, masuk kamar gadis tanpa mengetuk pintu. Namun Ayara masih bisa bersukur karena pakaiannya tidak ada yang tersingkap, meskipun setengah tubuhnya, tepatnya bagian pantat ke kaki, masih bergelantungan di luar kasur dengan tubuh telentang.“Tempat ini milikku, jadi aku bebas keluar masuk kapan pun aku mau,” jawab Arlo tanpa menoleh.“Tetapi Tuan menyuruh saya menempatinya.”"Bukan berarti tempat ini resmi menjadi milikmu.""Saya tahu."“Lalu?”“Ada saya di sini, tidak seharusnya Tuan sembarangan masuk seperti i
Di langit, rembulan yang semula tampak mulai meremang, dengan sinarnya yang terkalahkan oleh sinar lampu di bumi, semakin hilang pesona. Awan datang menutupi cahayanya. Wujudnya yang tinggal separuh semakin tidak terlihat. Beberapa lampu taman yang sudah dipadamkan, berhasil membuat suasana tampak lebih mencekam dari sebelumnya. Ayara dan Rhys Victor mungkin hanya dua orang yang masih berada di luar kamar, selain dua security yang berjaga di pintu gerbang utama, dan dua lagi di pintu gerbang kedua.Ayara berusaha mencari celah, bagaimana agar bisa terlepas dari Rhys Victor yang semakin mendekat ke tubuhnya. Bahkan beberapa langkah lagi ke belakang, tubuh Ayara bisa mencebur ke genangan air mancur di belakangnya.Melihat Ayara sudah terjebak dalam kuasanya, Rhys Victor semakin senang. Senyumnya yang setengah mesum, membuat bulu kuduk Ayara meremang.“Kamu pernah menolakku sekali, dan aku sudah memperingatkanmu untuk itu. Aku penasaran apa yang bisa kamu lakukan sekarang?” kata Rhys deng
Kamar Ayara masih sama. Seperti yang ia tinggalkan satu bulan yang lalu. Tentu saja, tidak ada yang bisa masuk ke sana, kecuali jika ada yang mau mendobrak pintunya. Ayara menguncinya, dan menitipkan satu kuncinya kepada sahabatnya, Gistara. Sedangkan satu lagi kunci yang dia bawa, dia lemparkan ke belukar dekat parit di kebun karet, saat akan berangkat ke rumah Nawang Nehan. Hal ini sengaja dia lakukan karena dia tidak ingin privasinya diinjak-injak.Ayara sengaja membuang kunci kamarnya agar tidak dirampas oleh pihak Arlo, maupun pamannya.Hari ini, saat Arlo mengijinkannya untuk pulang ke rumah Dihyan. Ayara terpaksa harus mencari kunci tersebut lebih dulu, karena tidak memungkinkan menghubungi dan pergi ke rumah Gistara, lebih dulu. Bisa-bisa Arlo akan mengiranya sebagai usaha kabur lagi. Dia bisa sampai di rumah tersebut pun harus mengalami sedikit perdebatan dulu dengannya tadi pagi, saat keduanya berada di meja makan.“Saya akan berangkat setelah ini, Tuan.” kata Ayara tadi pag
Di kamarnya Ayara merasa gelisah. Sudah sepuluh menit berlalu, panggilan balik yang ia tunggu belum juga ada tanda-tanda masuk. Perasaannya tidak enak. Hatinya mengatakan seseorang yang dia amanahi banyak rahasianya, orang yang paling ia sayangi saat ini, sedang ada dalam masalah. Sahabat sekaligus orang yang paling dekat dalam hidupnya membutuhkan bantuan.Sepuluh menit menanti, bagi Ayara adalah waktu yang sudah sangat panjang. Ia tidak bisa diam, dan hanya menanti kabar. Dia harus keluar. Peduli setan dengan peraturan Arlo, Ayara harus keluar dari sana.Tanpa berpikir panjang, Ayara langsung menghentak tubuhnya untuk bangkit. Ia langsung membuka pintu, menutupnya kembali dan berlari ke pintu gerbang. Persetan dengan peraturan Arlo, maupun kediaman Nawang Nehan, Ayara memutuskan. Dia siap dengan segala resiko yang akan dia hadapi selanjutnya."Mau ke mana, Nona?" Tanya satpam di gerbang kedua saat melihat Ayara berjalan ke arah luar."Saya ada urusan mendesak, tolong ijinkan saya ke
Kamar Ayara sangat lengang. Namun Arlo mendapati, semuanya masih utuh. Tidak ada satu barang pun pemberiannya yang dibawa kabur oleh Ayara. Arlo juga tidak menemukan pesan apa pun di sana. Puas memandangi setiap detail ruangan Ayara, Arlo membalik badan, menatap Cashel.“Apa yang kamu sembunyikan dariku?” Cashel juga sedang berada di kamar Ayara. Ada juga Among di depan pintu, dan empat security di halaman rumah. Arlo sengaja mengumpulkan mereka.“Apa maksudmu? Aku tidak menyembunyikan apa-apa,” balas Cashel.“Sungguh?”“Kamu tidak mempercayaiku?”“Kamu dekat dengan Ayara. Bahkan kulihat dia sering tertawa jika bersamamu. Kalian bercanda.” Mendengar itu Cashel tergelak.“Kamu cemburu rupanya?” goda Cashel, senyumnya yang manis langsung tampak di sana. Tidak ingin menanggapi adik bungsunya lebih lanjut, Arlo berjalan keluar rumah. Menghampiri ke empat security, lalu bertanya,“Siapa saja yang mengetahui hal ini?” tanya Arlo.“Hanya kami berempat, dan Tuan Cashel, Tuan.” jawab salah se
Cashel merasa geram, namun dia juga tidak tahu, kepada siapa. Tidak mungkin kepada Ayara, atau pun Arlo yang menuduhnya melakukan konspirasi dengan Ayara. Kepada penjaga gerbang apalagi. Pada diri sendiri karena keterlambatannya menyelamatkan Ayara? Bisa jadi.Saat kejadian, Cashel sedang ada urusan. Dia hendak keluar rumah, ketika dilihatnya dua penjaga Gerbang Dalam, tidak menyambutnya. Keduanya justru terkulai di tanah. Setelah peroleh penjelasan bahwa ada pelayan yang melarikan diri dengan melumpuhkan keduanya, Cashel langsung menduga, pelakunya pasti Ayara. Siapa lagi? Di kalangan pelayan di rumah itu, tidak ada yang memiliki kemampuan ilmu bela diri selain Ayara. Tidak buang-buang waktu lagi, Cashel langsung mengejar ke Gerbang Utama setelah membantu penjaga Gerbang Dalam pulih. Sayangnya terlambat, Ayara sudah melumpuhkan penjaga Gerbang Utama dan bersiap melarikan diri. Bahkan gadis itu tidak menggubris teriakannya.Cashel langsung kembali ke Gerbang Dalam setelah membantu me