PART 2. Perkelahian
Ayara sedang dalam perjalanan pulang, ketika sayup-sayup telinganya mendengar percakapan mencurigakan di balik gedung kosong, yang hampir ia lintasi. Suara lelaki dan perempuan.
Didorong rasa penasaran, Ayara menyelinap di balik tembok. Pembicaraan itu mengusik hatinya. Mungkin mereka akan berbuat mesum, pikirnya, mengingati jalanan setapak itu begitu sepi.
Dari balik tembok, dilihatnya seorang perempuan berbaju ungu, dan dua laki-laki sedang melakukan transaksi. Perempuan itu menyerahkan satu amplop tipis kepada salah satu dari pria tersebut. Juga satu botol kecil berisi cairan.
"Dia itu begitu rapi,” Ayara mengomentari penampilan si perempuan. “rasanya tidak mungkin jika dia hendak menjajakan diri, kepada dua pria itu di tempat seperti ini." Ayara terus mengamati. Sesaat, ia teringat sesuatu, bukankah itu perempuan yang kemarin dia lihat, bersama salah seorang manager platform kepenulisan Angkasa Biru, di acara temu penulis, di floating cafe? Sedang apa dia di sini, malam begini?
"Siapa di sana?" Sebuah suara dari arah lain, mengejutkan Ayara. Reflek ia menoleh, berniat melesatkan diri untuk kabur, tetapi pria di dekatnya terlanjur siaga menangkapnya. Dia mencengkeram kuat lengan Ayara. Gadis belia itu berusaha menutupi wajah dengan tangan satunya. Sayangnya, lagi-lagi sosok di depannya dengan cepat menghalanginya. Ayara tidak tinggal diam. Dengan kemampuan bela diri yang diajarkan beberapa guru sejak kecil, serta latihan terus-menerus di sepanjang hidupnya, Ayara balas mencengkeram lengan penyerangnya, lalu memuntir ke belakang dan menjatuhkan tubuh pria itu ke tanah. Ayara bertindak cepat, menginjak punggung pria itu.
"Siapa di sana?" Lagi-lagi Ayara dikejutkan oleh suara tidak jauh dari mereka. Saat kepalanya menoleh, ia mendapati perempuan berbaju ungu dan kedua pria yang tadi melakukan transaksi sedang menatapnya. Dengan kuat Ayara menghentak kakinya, ia lepaskan tangan pria yang diinjaknya, lalu melesat, melarikan diri.
"Kejar dan tangkap dia!" perintah suara itu lagi, terdengar nyaring. Dua orang yang berada di samping perempuan tadi langsung mematuhi perintahnya. Keduanya mengejar Ayara.
Usai memberi perintah, perempuan berbaju ungu itu mendekati pria yang tergeletak yang tadi diinjak Ayara.
"Sepertinya dia seorang perempuan, bagaimana bisa seorang Arlo Raynar yang tangguh bisa dijatuhkan oleh seorang perempuan?" Perempuan berbaju ungu itu mencibir, seraya berjalan dengan gemulai menuju sosok yang disebutnya Arlo Raynar tersebut. Setelah dekat, perempuan itu mengulurkan tangan bermaksud membantu Arlo bangkit. Namun bukan sambutan yang Arlo berikan. Pria itu berjingkat dengan cepat, mengebaskan pakaiannya, lalu berjalan meninggalkan dewi penolongnya itu. Perempuan itu tersenyum miring menatap punggung Arlo.
***
Di sebuah kebun karet yang sepi, Ayara berusaha berlari dengan mengerahkan seluruh tenaganya. Dua orang pria sedang mengejarnya, dia harus berhati-hati agar tidak tertangkap. Sayangnya, baju putih yang ia kenakan menyulitkannya untuk bersembunyi di dalam kegelapan. Kedua pria itu berhasil menemukannya.
"Kamu sudah menyusahkan kami, Nona," seru salah satu dari pria tersebut.
"Aku tidak pernah mencampuri urusan kalian," kata Ayara.
"Ikut kami jika kamu ingin selamat," kata pria satunya.
"Kenapa aku harus ikut kalian? Bahkan aku bisa menghabisi kalian di sini," balas Ayara, sombong.
"Gadis keras kepala!" Usai berkata begitu, pria berbadan sedikit gemuk, langsung menghambur ke Ayara. Mengayunkan tangan dengan kekuatan penuh. Ayara yang sudah waspada langsung bergerak ke samping, sehingga tangan pria itu menghantam udara kosong, tubuhnya terhuyung hampir jatuh. Saat itulah Ayara menghantamnya dengan kaki, sehingga pria itu tersungkur ke tanah.
Melihat temannya tak berdaya, pria yang satu menyerang. Lagi-lagi Ayara berhasil menaklukkannya.
"Tolong jangan sakiti kami, Nona. Kami hanya menjalankan perintah," suara mereka terdengar gemetar karena ketakutan.
"Siapa yang memerintahkan kalian?"
"Perempuan yang tadi bersama kami."
"Sebut namanya!" Bentak Ayara.
"Itu, Nona Birdella," sahut salah satu dari mereka.
"Birdella Xavera?"
"Be, betul, Nona." Ayara melepaskan cengkeramannya pada dua tangan pria tersebut, lalu mendorong tubuh mereka menjauh. Dua pria itu langsung berlari meninggalkannya.
***
Plak!
Plak!
Dua tamparan mendarat di masing-masing pipi dua pria itu.
"Bodoh sekali! Bagaimana bisa amplop itu hilang? Bagaimana kalau ada yang menemukannya?"
"Saya jamin tidak akan ada yang menemukannya Nona."
"Dari mana kamu bisa menjamin?"
"Karena kami yakin sekali amplop itu jatuh di semak-semak yang orang tidak akan peduli untuk menoleh ke sana."
"Lalu bagaimana dengan perempuan itu? Kalian melihat wajahnya?" Dua pria itu saling pandang, lalu menggeleng.
"Kami hampir menangkapnya, sayangnya dia tergelincir dan masuk ke sungai." Kedua pria itu sudah sepakat untuk berbohong.
Birdella mendengkus kesal. Ingin rasanya dia memecat kedua bawahannya itu, karena ia anggap tidak becus bekerja. Namun dia tidak bisa karena rahasianya sudah banyak diketahui oleh mereka. Jika keduanya tidak terima, bisa-bisa tersebar semua rahasianya.
"Kalian boleh pergi, tapi ingat, segera cari info tentang perempuan itu. Apakah dia selamat atau tidak. Jika selamat, introgasi apa yang dia dengar dari pembicaraan kita tadi."
"Baik, Nona." Setelah membungkuk di depan perempuan itu, kedua pria itu langsung meninggalkan ruangan.
***
Ayara mengeluarkan amplop coklat yang ia temukan di lokasi perkelahian. Benda yang kini terikat dengan karet gelang bersama sebotol cairan itu ia buka. Kedua matanya langsung terbelalak mendapati isinya. Itu, beberapa lembar poto yang wajah pemiliknya sangat dia kenali, dengan bermacam-macam angle.
"Gistara, Hyuna Sada," Ayara bergumam, "apa yang Birdella rencanakan dengan poto-poto ini?"
Diambilnya botol kecil yang berisi cairan, diamatinya dengan seksama. Warnanya tidak benar-benar bening, tetapi mendekati keruh kekuningan.
"Cairan apa ini? Racun?" Ayara terus memandangi benda mungil di tangannya. Didorong rasa penasaran, gadis itu kembali memasukkan poto ke dalam amplop, mengamankan botol, lalu keluar kamarnya. Rumahnya yang hanya beberapa meter dari sungai, menyebabkan banyak tikus di sekitarnya. Ayara akan menangkap satu dan menjadikan tikus sebagai bahan uji coba.
***
Brak!
Dihyan dan Gayatri saling pandang. Suara yang berasal dari dapur itu mengejutkan keduanya.
"Siapa itu jam segini masih di dapur?" tanya Gayatri.
"Mungkin tikus menjatuhkan barang," sahut Dihyan.
"Ayo kita lihat, Pak." Dihyan hanya menurut ketika Gayatri mengajaknya bangkit dari kasurnya.
"Ayara?"
Ayara terkejut!
"Sedang apa kamu di sini?" tanya Gayatri.
"Banyak tikus berkeliaran, Bu, brisik sekali suaranya," balas Ayara.
"Oh iya, kami juga mendengarnya. Apa tadi yang jatuh?" lanjut Gayatri. Ayara menunjuk baskom yang berada tidak jauh darinya.
"Tikus-tikus itu memang semakin mengganggu saja," gumam Gayatri kemudian. Ayara mengangguk. Tetapi tadi itu bukan tikus yang menjatuhkan, Bu. Aku pelakunya, batinnya.
Gayatri menatap Ayara cukup lama. Membuat gadis itu merasa aneh.
"Ada apa, Bu?" tanya Ayara penasaran. Gayatri mengembuskan napas. Menoleh kepada suaminya. Lalu memberi isyarat dengan matanya. Dihyan mendehem.
"Ayara, apakah kamu belum mengantuk?" tanya Dihyan. Ayara mulai curiga dengan gelagat keduanya.
"Ada apa?" Seperti biasa, nadanya pelan tetapi tegas.
"Duduklah sebentar, ada yang ingin kami bicarakan denganmu."
Ayara mengikuti ajakan Dihyan untuk duduk di kursi meja makan yang ada di dapur. Gayatri mengikuti. Ayara menangkap kegelisahan di wajah keduanya.
"Ada apa?" ulangnya.
Part 3. Pertemuan BerikutnyaTidak memerlukan waktu lama buat Ayara mencerna apa yang baru saja disampaikan oleh Dihyan. Balas budi. Dua kalimat yang tidak bisa Ayara bantah, karena keduanya tidak bisa lunas hanya dengan hukuman cambuk rotan.Berkali-kali Ayara menarik napas berat. Sebagai gadis jelang sembilan belas tahun, yang jiwa mudanya masih menggebu, dan menginginkan impiannya sendiri terwujud, Ayara sangat keberatan atas permintaan Dihyan dan Gayatri.Seharusnya dia meraung saat ini. Menolak dengan keras permintaan mereka. Orang yang telah membesarkannya itu. Namun Ayara tidak melakukannya. Pantang baginya menangis di depan orang, seperti wanita pada umumnya."Katakan sesuatu, Ayara," pinta Dihyan.“Ayara, kamu bersedia kan, Nak?” Gayatri menimpali dengan nada cemas. Mereka sangat tahu karakter Ayara. Sejak kecil, jika dia tidak mau melakukan sesuatu, dia akan berontak dan lebih memilih dicambuk lima sampai sepuluh kali di bawah pohon jambu air, di belakang rumah, hingga kedua
Part 4, Pria Arogan Di KelasnyaBegitu memasuki ruangan, Ayara langsung mencari tempat untuk duduk. Dia langsung tersenyum ketika mendapati Gistara, sahabatnya, memberi isyarat dengan jarinya agar ia datang kepadanya. Ayara langsung menuju tempat yang ditunjuk Gistara.“Apa yang terjadi?” bisik Ayara ketika ia telah duduk di belakang Gistara. Tumben, biasanya Gistara akan memberinya tempat di depan dia atau di sampingnya agar memudahkan mereka mengobrol di sela-sela materi.“Belum terjadi apa-apa, tetapi dia tadi sempat bertanya, apakah ada yang terlambat datang,” jawab Gistara.“Lalu?”“Gimana lagi, semua serentak menyebut namamu.”“Oke.”“Ayara awas!” tiba-tiba Gistara berseru. Dengan tangkas Ayara menggerakkan tubuhnya ke belakang. Sementara tangan kanannya menyambar benda yang barusan melayang menujunya. Lalu, dengan satu gerakan yang sangat cepat, Ayara kembali melempar benda tersebut kepada orang yang melemparnya."Wow …" gumam sebagian orang yang ada di ruangan.Ayara menatap t
Part 5. Rumah Nawang NehanKyra meraung, memohon kepada ayahnya agar tidak dibawa ke rumah Nawang Nehan. Kuliahnya tinggal tiga semester lagi selesai. Mimpinya untuk menjadi designer terkenal tinggal beberapa langkah lagi akan terwujud. Juga rencana menikah dengan Fusena setelah lulus kuliah. Pria tampan impian banyak wanita di kampusnya, yang kini menjadi pacarnya. Apa jadinya jika dia harus menikah dengan anak Nawang Nehan yang terkenal Arogan dan tak tersentuh hukum itu? Akan menjadi apa nasibnya?“Ibuuu aku mohon, Bu, bujuk ayah agar tidak melakukan ini kepadaku, Bu,” teriak Kyra. Gayatri hanya bisa memejamkan kedua matanya. Kedua tinjunya mengepal. Bayangan wajah Ayara tersenyum mengejeknya melintas di benaknya. Kamu telah mengecoh kami, Ayara. Nawang menarik tangan Kyra agar mau keluar dari rumah.“Ayah mohon, Kyra. Kita semua akan mati jika kamu juga menolak,” pinta Dihyan.“Lalu mengapa kalian tidak membiarkanku mati saja sejak bayi!” teriak Kyra.“Kyra,” Dihyan tidak berdaya
Birdella Xavera, adalah anak tiri, yang berasal dari istri ke empat Nawang Nehan. Mahasiswi jurusan sastra di universitas terkenal di daerah Lampung. Cerdas, pemberani, mudah bergaul. Memiliki kulit yang putih, bersih, dengan porsi tubuh yang proposional. Dia juga sedang merencanakan akan melanjutkan kuliah ke luar negeri untuk mengambil jurusan sastra Inggris.Dengan berlimpahnya kemewahan yang dijatah dari ayah tirinya, Birdella memiliki kemampuan lebih di atas teman-temannya. Ia bisa membeli apa saja yang dia inginkan. Termasuk membeli tenaga untuk menyakiti orang lain. Birdella juga memiliki pengawal khusus yang diberi ayah tirinya, namun dia lebih suka menggunakan tenaga pilihannya sendiri sehingga merasa aman dari mata-mata ayahnya.Sejauh perjalanan hidupnya, Birdella memiliki reputasi yang baik, sehingga semua saudara, dan ayahnya sangat menyayanginya.Sebagai gadis yang mempelajari sastra, Birdella memiliki kemampuan mengolah kata menjadi sebuah tulisan. Sebab itulah ketika te
Sudah ada tiga puluh menit Arlo berdiri di teras panggung rumahnya. Kini, ia sedang menatap Cashel yang sedang berjalan menuju tempatnya. “Kenapa dia ada di sini?” tanyanya begitu Cashel sampai di dekatnya.“Kamu melihat rupanya.” Balas Cashel.“Aku sudah di sini sejak gadis bodoh itu membuat ikan-ikan koi piaraanku, pusing dengan ulahnya,” balas Arlo.“Wah, kamu sepertinya akan membahayakannya.”“Kamu khawatir?”“Sebaiknya jaga dia baik-baik, aku akan membunuhmu jika sampai kelinci liarku itu kamu lukai.”“Kelinci liar?”“Hahahaha, dia tidak mau mengatakan namanya kepadaku. Jadi aku menamainya itu.” Arlo memutar badannya, melihat tumpukan kertas di atas meja. Cashel yang melihat itu langsung bergerak cepat dan duduk di kursi. Arlo langsung memukul tangannya manakala pria itu hampir menyentuh dokumen yang ada di meja tersebut.“Wah, kamu tertarik juga untuk melihat,” goda Cashel“Sama sekali tidak. Tetapi kamu tidak boleh sembarangan menyentuh milikku.”“Gadis itu milikmu juga?” Cash
“Kemarilah,” panggil Arlo. Pria itu sudah duduk di sofa dengan menyelonjorkan kedua kaki di atasnya. Bersandar dengan nyaman, kedua mata terpejam. Pelan Ayara mendekatinya.“Kamu bisa memijat?”Deg!Jantung Ayara terasa mau lompat dari rongga dadanya.“Saya belum pernah melakukannya, Tuan,” jawabnya.“Lakukan sekarang,” perintah Arlo. Ayara terdiam. Kakinya terasa sangat berat untuk dibawa melangkah memenuhi perintah itu. Bukan kah seharusnya dia belum resmi menjadi pelayannya? Bukan kah seharusnya dia masih bisa berontak atau mundur? Bahkan dia masih bisa menolak perintah pria di depannya itu?Sekian detik berlalu, Arlo belum juga merasakan sentuhan yang dia pinta. Pria itu membuka matanya.“Tunggu apa? Kamu tahu apa hukuman bagi pelayan yang tidak patuh?” gertak Arlo.“Saya akan lakukan, Tuan.” Buru-buru Ayara mendekati Arlo. “Sekarang!” bentak Arlo, “Aku tidak mau ada yang lamban di rumahku! Paham?” Pria itu membuka kancing atas bajunya, Ayara melotot. Namum kemudian merasa lega,
Part 9. Putra Kedua, Rhys VictorLapangan olah raga itu luasnya lebih besar dari ruangan yang baru saja Ayara tinggalkan. Hanya berupa lokasi terbuka dengan banyak balok berbagai ukuran. Di kanan kiri lokasi ada beberapa pepohonan. Arlo biasa menggunakan tempat tersebut untuk latihan bela diri. Ayara juga melihat ada tempat dan alat latihan memanah. Ia mendekati. Dirabanya peralatan yang tampak jauh lebih bagus dari pada di tempatnya belajar."Kamu sepertinya tidak takut sama sekali, Nona," kata pria yang membawanya ke tempat ini tadi."Apakah Arlo sekejam itu?" Ayara balas bertanya."Kamu akan mengetahuinya nanti," balas pria itu lagi."Dia pernah melakukan ini kepada perempuan lain sebelumnya?"Lelaki itu hanya tersenyum menanggapi pertanyaan Ayara, tetapi tidak mau menjawab. Ia membuka pintu sebuah ruangan, kemudian kembali dengan dua cambuk pesanan Arlo.Tidak bisa menipu diri sendiri. Bulu kuduk Ayara merinding membayangkan benda yang terlihat kokoh itu, akan mencambuk tubuhnya y
Di depan pintu kamar, Ayara melihat wanita yang tadi mengantarnya ke tempat Arlo, sedang berdiri di sana. Wanita itu menatap Ayara dengan rasa iba. Ayara membungkuk seraya menganggukkan kepala sebagai tanda hormat."Kamu kembali,” sapa wanita itu. Sekali lagi Ayara mengangguk."Kamu pasti mengalami kesulitan." lanjut wanita itu seraya mengulurkan tangan untuk menyentuh sudut bibir Ayara yang mengalirkan darah. Ayara terdiam.Pintu kamar terbuka dari dalam, seorang wanita keluar. Pakaiannya sangat rapi dengan riasan yang sempurna. Hidung mancung, alis yang tertata rapi, serta kedua matanya bercelak. Meninggalkan kesan bening dan tajam. Dengan bulu lentik yang indah, serta bibir yang merah merona. Dari tubuhnya menguar bau wangi yang sensual. Diam-diam Ayara mengagumi totalitas teman sekamarnya itu. Arlo pasti akan nyaman dengan pelayan secantik dia, pikir Ayara.Di tempat Arlo nanti, wanita itu tinggal mengganti pakaiannya dengan baju seksi pilihan Arlo, maka pria itu tidak akan bisa b