Share

BAB 4 BAGAS, SORRY I CAN'T

Ini sudah 5 hari setelah Pak Manager pergi ke Singapore, aku bediri didepan pintu kaca besar yang terkunci itu, aku seperti melihat refleksi diriku yang duduk disebrang meja Pak Manager saat beliau marah padaku. Sesekali aku seperti mendengar suaranya saat zoom meeting dengan client, aku memandangi tangan kiriku dengan luka disana yang sudah mulai mengering, ku hembuskan nafas panjang dan melangkah keluar gedung yang sepi menyisakan Pak Danu security kantor yang berjaga dekat parkiran. Aku duduk dibangku panjang disebelah pos security, jam menunjukan pukul 6:05 sore, badanku capek tapi aku merasa enggan untuk pulang.

            Kembali ku buka chat terakhir dari beliau, masih dengan foto balkon tempo hari. Terlintas dipikiranku untuk menelpon sekedar menanyakan kabar. Ahh tidak, buat apa? Aku menutup dan membuka kembali layar ponselku. Tapi aku ingin mendengar suaranya walaupun sedikit. Berakhir dengan benar-benar menutup HP-ku, Pak Danu terlihat mengunci pintu utama kantor. “lembur mbak..?” sapanya dari kejauhan

“nggak sih Pak, cuma lagi males pulang aja”

“... saya jarang lho ngunci kantor jam segini, biasanya selalu jam 10 dan jam 11 malam... Pak Bos gak pernah pulang sore, pasti kalau malam balik ke kantor”. Pak Danu membuka topimya dan menyibakannya sebagai kipas tangan.

“Pak Danu, Pak Bos galak juga ya sama Pak Danu”

“.... enggak mbak, nggak kok. Pak Bos nggak galak sama sekali beliau baik, saya kerja disini 7 tahun beliau masih sama dan tidak berubah, kalau malam sering ngobrol sama saya disini sambil minum kopi”

“masa’ sih Pak? Kalau dikantor beliau galak sering bentak-bentak karyawan, saya juga pernah dibentak”

“banyak karyawan yang dibentak beliau, hanya demi kebaikan mereka. Pak Bos sangat memperhatikan semua karyawannya. Hak karyawan, tidak ada gaji telat, intensive yang dikurangi. Beliau benar-benar menjanjikan tempat kerja yang nyaman untuk semua karyawannya”

            Aku termenung mendengar apa yang dikatakan Pak Danu. Benar, mungkin selama ini aku hanya tidak peka terhadap semua yang ada yang ada disekitarku, terutama Pak Manager yang sangat memperhatikan karyawannya.

****

            Hari sabtu aku bertemu Bagas, saat dia break jaga store kami makan di KFC sebrang jalan store tempat Bagas berkerja. Ini adalah minggu kedua Pak Manager di Singapore dan aku masih tidak punya keberanian untuk sekedar menghubunginya. Sebaliknya, hampir setiap hari aku bertemu dengan Bagas, tidak hanya sekedar bertemu bahkan Bagas juga tidak jarang membawaku ketempat dia berkumul bersama teman-temannya. Pulang kantor ia sering menyusulku dan juga saat jam makan siang, hingga beredar gosip kalau Bagas adalah pacarku. Aku merasa risih, tapi berbeda dengan Bagas yang terlihat tidak keberatan dengan hal itu, yang malah menyetujuinya.

“kak ayo makan jangan dilihatin terus” Ia menyuapkan aku kentang goreng, ia memegangi tanganku dan digengamnya erat.

Aku memandangnya dengan seksama, laki-laki yang ada didepanku ini serius makan burger dengan tangan kanannya dan sesekali tersenyum. Dalam pikiranku ia tak ubahnya seorang teamn baik, namun aku bisa merasakan penolakkanya ia memintaku untuk memandangnya lebih dari teman.

“kak, kita pacaran aja gimana? Mau ya jadi pacarku”

“Mau berapa kali kamu bicara kayak gitu” menarik tanganku dari genggamannya

“ya kan kakak gak pernah jawab pertanyaanku, udahlah stop bilang aku seperti adikmu”

“udah-udah, makan makanan kamu yang bener dan balik ke store. Gak usah kebanyakan halu”

“kakak gak jujur kan?”

“soal apa?”                            

“perasaan kakak sama aku”. Sekali lagi aku harus mendengar ini dari Bagas. Entah sudah berapa kali dia mengocehkan hal yang sama, merengek minta jadi pacarku. Aku tidak pernah menanggapinya dengan serius, hanya mendengarnya seperti angin lalu. Mungkin bisa dikatakan aku nyaman dengan dia namun aku tidak ingin punya perasaan lebih dari seorang teman dari dia dan itu sudah sangat jelas.

“Bagas udah dong kita udah bicara soal ini berapa kali”

“ok sorry, tapi aku bakal tunggu kakak sampe mau jadi pacarku”

“haahh~ terserah kamu lah cil bocil”

            Bagas bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan mengalungkan lengannya yang keleherku. Aku mengigitnya pelan sampai ia melepaskannya, begitulah Bagas dengan aku. Aku memandangnya pergi kembali berkerja, ia melambaikan tangan dan memamerkan barisan giginya padaku. Aku kembali ke lamunanku sambil melihat punggung Bagas yang menjauh, aku membuka foto profil  WhatsApp  Pak Manager. Aku tidak bisa lagi menahan keinginanku untuk hanya sekedar mendengar suaranya. Aku tarik satu nafas panjang dan ku tekan tombol panggilan telpon untuk pertama kali. Jangtungku berdetak kencang, ini bukan kali pertama aku berbicara dengan beliau namun sensasinya berbeda. Aku menunggu setelah beberapa kali nada sambung, aku mendengar suaranya diujung telpon.

“Hallo, Fii...”

“Ha-Hallo Pak Manager, apa kabar?”

“ saya baik-baik saja, bagaimana dengan kamu?”

“saya baik-baik saja Pak” Entah mengapa suaraku tercekat, jantungku berdebar cepat dan tanganku dingin. Aku merasa mataku berat, aku kehilangan kata-kata ketika mendengar suaranya. Apa yang terjadi padaku?

“ada apa Fii? apa ada masalah dikantor hari ini? kamu mau kita bicarakan itu”

“bu-bukan Pak. Kapan Pak Manager kembali?”

“Fii, kamu telpon untuk tanya ini?”

“... iya” suaraku parau dan entah apa yang menghimpit dadaku dan membuatnya sangat sesak.

“... sebelumya terima kasih. Saya senang sekali kamu telpon, maaf  tidak memberi tahu kamu saat saya akan pergi. Semuanya mendadak tanpa ada kesiapan...”

“ apa ada masalah Pak?”

 tidak ada, kita berhasil kontrak untuk penjulan satu tahun kedepan, semunya berkat kalian. Dan juga kamu, terima kasih sudah berkerja sangat hebat...”

“... jadi kapan Pak Manager kembali?”

“belum tau Fii, doakan saja”

Entah mengapa aku merasa kecewa mendengar beliau tak pasti kapan akan  kembali. Beberapa saat hening diantara kami.

“Fii, saya merindukanmu...”

            Deg! Jantungku kembali terpacu dengan satu kalimat yang dilontarkan

“saya tidak bohong saya merindukanmu selama disini. Kamu menelpon saya seperti ini membuat saya senang. Disini setiap hari sangat melelahkan, saya harus bangun jam 5 pagi dan kembali ke hotel lewat tengah malam, saya lelah dan tidak cukup istirahat”

“Pak Manager baik-baik saja kan?”

“... iya saya baik-baik saja, 5 menit lagi saya ada meeting. Maaf aku harus tutup telponnya... sekali lagi terima kasih telah menelpon saya...”

“baik Pak, take care...”

“ok, bye...”

Terasa seperti mimpi, hanya mendengarkan suara seseorang entah mengapa begitu membahagiakan.

****

            Bagas terlihat duduk didekat pos security, ia menungguku pulang kantor. Ia melambaikan tangan dengan senyum lebar. Sepertinya ia dalam mood yang sangat baik.

“hey, ada apa senyum-senyum gitu...”

            Bagas tiba-tiba menarik tanganku dan mendekapku dengan erat. Apa yang dilakukan Bagas menarik perharian teman-teman kantorku, mereka menyoraki dan memotret kami. Aku melepas pelukan Bagas dan sedikit mendorongnya, memberi sedikit jarak diantara kami.

“kamu apaan sih, disini banyak orang lho”

“sorry kak, gak tau kenapa liat kakak dari jauh seneng banget”

“tapi jangan gitu, ini kan tempat umum”

“berarti ditempat sepi boleh?”

“heyy! Nggak gitu konsepnya bocill...!”

“bercanda kak, ohya hari ini aku sift malem, anterin aku ke store dong”

“kamu kan naik sepeda” aku menunjuk sepeda yang berada didekatnya

“iya gak apa-apa antar aku sampai ke store, setelah itu kakak boleh pulang”

“yaudah-yaudah ayok, jangan bawel kek anak perawan”

            Bagas hanya nyengir kuda kegirangan. Aku mengambil motorku dan mengikutinya mengayuh sepeda ke store tempat Bagas kerja. Sampai disana ia memintaku untuk mampir kestore dan aku turuti.  Ada satu teman Bagas bernama Andi dan satu di kasir bernama Ilham, tentu mereka mengenalku dari Bagas. Setelah menyapa mereka berdua aku numpang toilet, aku melihat Bagas sedang menyisir rambut saat aku selesai dari toilet. Aku mendekatinya untuk mencoba mengagetinya, tanpa kuduga ia berbalik lebih dulu dan membuatku tepat dihadapannya. Pandangan kami bertemu, Bagas mulai melingkarkan kedua tangannya, membawa tubuhku kedalam pelukannya. Aku bisa mendengar jelas detak jantungnya dan hembus nafasnya, wangi khas parfum Bagas tercium sangat kuat. Aku bisa merasa ia mengecup puncak kepalaku disana, aku berusaha merenggangkan pelukannya namun pelukannya tetap erat. Ia mendongakkan kepalaku, ditatapnya mataku lekat-lekat dengan cepat ia menempelkan bibirnya kebibirku tanpa sempat aku menghindar. Mataku terbelalak, seketika aku mendorong tubuh tingginya, ia terkejut dengan responku. Aku menatapnya tajam, menghela nafas panjang.

“what the hell is going on Bagas?”

            Tak ada jawaban dari Bagas, kutepis tangannya saat berusaha menarik tanganku. Ia menggigit bibir bawahnya, berusaha berujar namun tetap tidak ada sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

“kayaknya lebih baik kita gak usah ketemu lagi”

“kak please!” Bagas menghalangi ku pergi “Sorry tapi aku gak bisa menahan diriku, aku suka sama kakak duluan. Aku capek denger cerita kakak soal Manager mu itu, bisa kan kak liat aku seperti laki-laki yang sayang sama kamu?”

“tapi aku gak bisa lebih dari teman sama kamu Bagas, udah berapa kali aku harus bilang”

“kenapa gak mau coba dulu? Kasih aku kesempatan sekali aja buat kakak bahagia setiap hari dan aku gak bakal bikin kakak kecewa, percaya sama aku”

            Aku terdiam sesaat, tak bisa aku pungkiri aku memang sangat nyaman dengan Bagas dan dia memang membuatku terasa sangat istimewa. Walaupun aku menolaknya, aku pernah merasa cemburu ketika dia digoda para gadis, merasa kurang ketika dia tidak menelponku sehari. Sekarang aku mulai mempertanyakan perasaanku sendiri padanya. Benarkah aku tidak menyukai Bagas?

“Coba tanya sama diri kamu kak? Benarkah kakak gak mau kasih aku kesempatan buat membuktikan?”

“... Bagas please! Udah aku capek bahas ini terus, lebih baik kita gak usah ketemu lagi”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status