Share

BAB 3 WHY SO WEIRD?

Oke seketika aku kenyang dan atmosfir aneh diruangan ini membuatku tertekan. Bisa saja Pak Manager ini mabuk atau salah minum obat jadi beliau bicara seperti itu.  Aku menyeruput teh hangat itu, menatap Manager itu kilat dan kembali ku tarik tanganku yang ada dalam pegangannya.

“Boleh saya antar kamu pulang...?”

“nggak...”

            Baik, aku terdengar lebih dingin dari beliau. Beliau mengangguk ringan seraya berdiri dari hadapanku, aku merasa buruk seketika.

“pak... emm saya tidak bisa karena harus bawa pulang motor saya...”

“baik, tidak masalah... selesaikan makanmu dan segera pulang...”

            Tangan kiri Pak Manager terasa mengusap puncak kepalaku, dan pergi dari ruangan meninggalkan aku sendiri. deg! Baik, ini mulai terasa aneh. Aku meminum sisa teh yang ada dalam cangkir itu. Nafasku memburu, aku menengok dan masih kulihat punggung lebar itu menjauh. It so weird. Siang marah seperti singa, sore lembut seperti seekor kelinci.

****

            Jam menunjukan pukul 7:05 malam, aku bersiap diteras rumah karena Bagas sudah dijalan untuk menjemputku. Sesekali kurapikan kuncir ekor kuda pada rambutku yang tak begitu lebat ini. aku memakai kaos putih dengan jaket crop jeans, celana hitam dan sneakers serta tas selempang kecil sebagai pemanis. I’m ready... tak berapa lama aku mendengar suara motor berhenti dari luar pagar.

“hey...” sapaku pada Bagas

“hallo kak, sorry agak telat, tadi nganter kakak dulu ke tempat temennya”

“gapapa, aku juga baru kelar kok... berangkat sekarang?”

“yups, nih aku bawain helm...”

“makasih ya...”

“btw kita samaan pakai kaos putih, padahal gak janjian...”

“oh iya heheh....”

            Bagas terlihat rapi dengan kaos putih, jaket ripped jeans, celana warna coklat selutut dan sepatu convers hitam putih. Wangi parfumnya begitu maskulin tapi tidak terlalu strong. Mungkin jika aku ketemu Bagas waktu masih kuliah pasti langsung gue jadiin pacar. Di jalan lumayan ramai kami asik ngobrol gimana Bagas menceritakan hobinya main sepeda jauh sebelum trend bergowes hipe diseluruh kota seperti sekarang.

“kak, tas nya juga taruh tengah lho ya...”

            Aku melingkarkan tanganku kepinggang Bagas dengan tas yang aku letakkan diantara kami. Bagas benar-benar terlihat seperti Luky keponakan laki-lakiku yang kuliah di luar kota. Mengenalnya tak lama tapi terasa seperti kami telah saling kenal bertahun-tahun. Iya, kadang kita bisa menemukan orang seperti ini dalam hidup kita satu sampai dua kali. Tanpa antrian panjang kami sampai diloket bioskop, film zombie yang dipilih Bagas untuk nonton. Sebenarnya aku sama sekali tidak menyukai film bertema Zombie karena akan membuatku mual. Dan yup, baru 30 menit aku sudah keluar dari gedung bioskop karena mual sekali, berbeda dengan Bagas yang sangat menikamati, Gilakk.

“kenapa sih kak?” menertawakanku

“gimana kamu bisa ketawa-tawa lihat mereka makan isi perut manusia kayak gitu... huekk...”

“ahahah kan cuma film”

“...ck!” mendecak kesal

“hahah ok, ok sorry, kita cari makan yuk”

“gak, gilak loe. gue gak nafsu makan, huek....”

            Bagas terus menertawakanku dan mengejekku dengan sesekali menirukan cara berjalan zombie dengan satu kaki yang diseret, tidak terlihat seperti zombie dia benar-benar lebih mirip Mr. Bean, ia membuatku geli menahan tawa. Aku meneguk sisa minumanku, memperhatikan orang yang wira-wiri disana, Bagas yang duduk didepanku yang gelesotan di lantai sama sekali tidak menghiraukan siapapun dengan terus mengunyah sisa popcorn caramel dipangkuannya. Bisa jelas terlihat ada beberapa gadis yang memperhatikannya dan kemudian berbisik satu sama lain. Aku menahan senyum melihatnya.

“Bagas, aku kelihatan kayak kakak bawa adeknya nonton film ya...”

“... nggak, kata siapa?”

“ya kayaknya sih gitu. Ehh, ciwi-ciwi banyak yang liatin kamu lhoo”

Menahan senyum “udah tiap hari kak, kadang ada yang minta foto juga ke store...” tanpa melihatku

“hah?! Serius?”

“hmmm, mereka nggak beli apa-apa ke store, cuma minta foto aja”

“masa’ sih? Minta fotoke kamu? aku kira kamu nggak ganteng-ganteng banget kok”  menahan senyum

            Seketika ia berhenti dengan popcorn-nya dan melirikku, membuatku melepaskan tawa melihat ekspresinya itu. Aku menarik kuncirku yang kendur membuat rambut sepunggung-ku terurai, saat bersiap mengucirnya kembali, Bagas menahan tanganku.

“kak rambutnya gak usah diikat lagi...”

“kenapa?”

“lebih cantik kayak gitu, rambut kakak bagus bgt. Serius...”

Aku tersenyum geli “ woyy! kita naik motor, effort banget kalau harus naik motor bergerai-gerai kayak gini. Kamu tuh ya anak kecil bisa aja ngerayu, huuu!!”

“aku bukan anak kecil lah. Inget, age just a number”

****

            Aku duduk disisi kasur sambil memakai lotion bersiap beranjak tidur, aku melihat notif masuk dari Pak Manager. Aku menghembuskan nafas panjang, menerka-nerka pasti beliau akan mengatakan kalau ada revisi lagi, ini jam 10 malam lho. Tak berapa lama Hpku berdering dan dari Pak Manager lagi.

“ Hallo, selamat malam pak...”

 hening

“Hallo Pak Manager?”

“H-Hallo Fii, apa kamu sudah tidur?”

“iya, sebentar lagi saya mau tidur. Apa ada laporan yang harus saya revisi sekarang Pak?”

“nggak kok”

“lalu ada apa Pak?”

“saya cuma mau mengucapkan selamat malam, itu saja...”

“... ohh?”

“ baik, saya tutup telponnya ya, have a good rest”

 Tutt tutt tutt

“Random sekali Pak Manager ini..” ku lihat chat yang masuk dari belaiu, rupanya ia mengirimkan gambar balkon dari dalam ruangan dengan kaca besar yang membuat pantulan cahaya bulan masuk ke dalam ruangan itu. Mungkin itu kamar beliau, tapi untuk apa beliau mengirim itu padaku?

            Rumi Akbar, laki-laki berusia 32 tahun, Founder sekaligus menjabat sebagai Mananger dari sebuah perusahaan properti Good Rumi Corporation, baliau berdarah campuran Swedish-Timur Tengah dan sudah lama tinggal disini. Berkulit putih kecoklatan khas pria Timur Tengah bersih dengan brewok tipis diwajahnya, tinggi beliau sekitar 187 cm, body-nya jangan ditanya sudah pasti proporsional, setiap hari selalu memakai kemeja warna putih dengan celana setelan hitam, coklat dan navy. Matanya lebar abu-abu kebiruan, hidunganya mancung (bisa buat belah semangka, hehe), lengannya besar dengan bulu yang lebat. Wait! Aku tau bulunya lebat karena belau sering menyingsing lengan bajunya ya, jangan mikir yang lain.

Dikehidupan pribadinya beredar rumor jika 3 tahun lalu beliau mempunyai seorang tunangan tapi mereka putus karena tunangannya lebih memilih menikah dengan pengusaha real estate asal Dubai, setelah itu kejadian itu beliau tidak terdengar memiliki kekasih lagi. Diatas langit masih ada langit, aku kira Pak Manager udah tajir masih ditinggalin untuk yang lebih tajir. Pesona beliau sulit ditawar, figur Pak Manager benar-benar Hot Boss didunia nyata. Namun dikantor alih-alih memperkerjakan sekertaris cantik yang muda yang sexy, beliau lebih memilih menghire Mbak Nik, wanita beranak satu yang bawelnya setengah mati. Jika banyak bos-bos lain yang naik mobil mewah, beliau hanya naik Honda HRV untuk ke kantor walau dipostingan IG-nya beliau punya Mercedez. Beliau pelit atau gimana sih?

****

“Fii kamu hari ini ikut Pak Bos meeting keluar ya...” Mbak Nik dari sebelah kanan, aku yang sibuk dengan komputer mendongak.

“lho kok aku Mbak, biasanya kan Mbak Nik yang ikut Pak Manager meeting keluar”

“Duhh Fii, please ya gue gak bisa, soalnya anak gue sakit. Hari ini gue izin setengah hari”

“ yahh, si boy sakit yaa... hmm, yaudah kalo gitu, kasih aja bahannya”

“... aakh! Makasih ya cantik!! Eh wait, tumben kamu gerai rambut ke kantor, lu kek cewek ..” Memainkan rambutku

“lhah? Biasanya gue laki ya?”

            Aku mengingat kata-kata Bagas semlam membuatku ingin mencoba menggerai rambutku, walaupun sebenarnya aku tidak yakin akan nyaman. Benar saja gerah sekali, ternyata jadi cantik itu susah.

“Fii, sudah jam 10 langsung berangkat sekarang” keluar dari kantornya

“baik Pak...”

            Pak Manager memandangku sesaat dan kemudian pergi yang langkahnya aku ikuti. Aku merogoh karet rambut dari kantongku, ku gigit dan tanganku sibuk memegang tas dan beberapa map. Inilah Fiani, gak pernah gak rempong. Aku melangkah cepat dan sedikit berlari dengan karet kuncir masih aku gigit. Masuk ke mobil Pak Manager aku duduk di kursi belakang, beliau menoleh heran. Aku mengangkat kedua alisku.

“kenapa kamu duduk disitu? Saya bukan supir”

            Aku mengerti apa yang Pak Manager maksud, aku turun dan duduk disebelahnya. Aku mulai mengikat rambutku, walau sepertinya bukan timing yang tepat untuk kunciran. Pak Manager melihatku dan kami saling bertatapan, kedua tanganku masih berposisi terangkat memegang rambut. Pak Manager mendekat padaku, sangat dekat deg! nafasku tertahan. Pak plz jangan... teriakku dalam hati, ternyata beliau hanya menarik beltset disebelahku dan dipakaikannya padaku. Baik gue bego’...

“tidak usah diikat nanti rambut kamu kusut” menarik karet dari tanganku. Lima belas menit perjalanan sangat hening tidak ada kata yang keluar dari mulut kami masing-masing. Sampai dilampu merah menyala dan mobil berhenti beliau mulai membuka percakapan. “tadi malam kamu kemana?”

“saya pergi nonton sama teman”

“ohya, kamu pergi sama siapa?”

“sama Bagas teman saya tempo hari”

            Pak Manager menatapku sesaat dan mendecak. Aneh, apa ada yang salah dengan ucapanku barusan? Mengapa beliau seperti tidak suka. Lampu hijau menyala Pak Manager mulai kembali konsentrasi menyetir dan suasana hening kembali. Apa ada yang salah dengan ucapanku? Aku kembali bergumam dalam hati

“bisa kamu jauhi dia demi kebaikan kamu?” Tanpa menoleh kepadaku, aku menatapnya

“Pak, Bagas bukan orang jahat.Dia baik, dia antar dan jemput saya, dia sopan pada saya”

“dan kamu menyukai laki-laki itu?”

“tentu” aku mantap dengan jawabanku

“gak tau ya, saya merasa dia tidak baik buat kamu”

Suasana hening kembali beberapa saat, aku terus bertanya dalam hati tentang sikap Pak Manager yang selalu berubah-ubah padaku, seperti melarangku untuk berteman dengan Bagas. Tak lama sampailah kami di tempat meeting. Semua berjalan lancar. Sepulang dari meeting tidak ada kata yang keluar dari kami selain membahas tentang kerjaan. Entah aku merasa tidak nyaman saat kami saling mendiamkan.

****

“Mbak Nik, si boy udah baikan?” aku mengunyah rotiku dan minum dari botol ditangan kiriku

“alhamdulilah Fii, mendingan dari kemarin, makasih ya udah gantiin aku”

            Aku mengangguk sambil mengacungkan ibu jariku. Jam menunjukan pukul 10 pagi, ku lirik ruang kantor Manager itu, sepi. Aku melihat sekeliling tidak ada tanda-tanda dari beliau, sampai jam makan siang selesai Mbak Nik memberiku beberapa map kembali ku kerjakan. Lagi, aku menoleh kearah kantor beliau. Apakah beliau sedang sakit dan tidak berangkat kantor?

****

            Ini jam 10 pagi, hari kedua aku tidak melihat sosok dingin itu dikantor, semua terasa beda dan ada yang kurang. Kantor terasa tidak hidup, walaupun beliau hanya marah-marah pada karyawan-karyawannya yang berkerja tidak seperti apa yang beliau mau.

“Mbak Nik, Pak Manager sakit ya? kok udah dua hari nggak berangkat ke kantor”

“kamu kangen ya sama Pak Bos? Hehehe” Mbak Nik menggoda dengan mencolek pipiku

“ihhh apaan kan aku nanya”

“Pak Bos terbang ke Singapore Fii kemarin pagi , kamu nggak tahu?”

“hah?! ke singapore?”

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status