Hingga tiba di depan ruang UGD. Suster Intan membawa segera Jihan ke dalamnya untuk mendapatkan tindakan.Aku hanya bisa mengantar sampai depa pintu dan kini menunggu dengan tak menentu di luar ruang UGD. Karena aku sudah tidak bekerja lagi di sini. Sehingga aku tidak memiliki kewenangan menangani Jihan seperti mauku. Apalagi aku tak memakai pakaian dinas. Jadilah aku hanya bisa menunggunya di sini.Kuhempaskan bobotku di kursi tunggu. Aku menunduk sambil meremas rambut di kepalaku. Pikiranku berkecamuk.Menurut analisaku, sepertinya Jihan tengah hamil muda dan dia mengalami pendarahan.Entah berapa usia kehamilannya sekarang. Namun aku harapkan, dia dan kandungannya baik-baik saja.Kuraup wajah kasar. Adrian benar-benar kurang ajar. Bisa-bisanya dia membawa istri mudanya tinggal di komplek yang sama dan bertetangga dengan Jihan."Benar-benar tidak punya otak!" umpatku geram.Ingin kupatahkan leher laki-laki sok tampan itu.Jihan terlalu naif untuk mencari tahu semuanya. Jihan terlalu
**********POV Adrian"Lepasin, Pak! Saya harus menemui istri saya. Dia sedang dirawat. Kenapa saya dibawa keluar?!" hardikku pada kedua petugas keamanan. Mereka menghimpitku di kanan dan kiri. Menyeretku hingga keluar dari rumah sakit dan kini aku berada di area parkir."Bapak membuat keributan. Jadi terpaksa kami harus membawa Bapak keluar karena akan mengganggu kenyamanan pasien di sini!" ujar satu petugas yang tingginya sama denganku."Jika Bapak kembali masuk dan membuat keributan lagi, terpaksa Bapak akan kami bawa pada pihak berwajib!" imbuh petugas lain yang berbadan lebih tinggi dariku.Kemudian mereka kembali ke dalam bangunan rumah sakit. Setelah menyeret dan menghempas tubuhku di parkiran ini."Sialan!" umpatku kesal.Aku lantas kembali ke mobil. Duduk di kursi kemudi dan membawa mobilku menjauh dari rumah sakit. Terpaksa aku harus kembali ke rumah.Benar dugaanku. Fano memang mencintai Jihan. Dia memakai kedok sahabat untuk bisa tetap dekat dengan istriku itu.Namun sayan
*********POV JihanBau khas obat-obatan menyengat tajam. Memaksa netra yang begitu lengket ini untuk terbuka. Perlahan, aku pun mencoba untuk membuka mata ini. Mengerjapkannya pelan-pelan hingga langit-langit ruangan berwarna putih menyapa indera penglihatanku.Aku lalu memindai sekeliling. Aku menduga, ini adalah ruangan rawat di sebuah rumah sakit.Di sampingku terbaring, wajah Fano yang pertamakali aku lihat.Sejenak, aku pun coba mengingat apa yang terjadi pada diriku hingga bisa ada di sini.Cesss!Bulir bening meluncur bebas dari ujung mataku. Mengalir hangat membasahi pelipis. Hati ini terasa begitu sakit. Setelah aku mengingatnya."Hiks …." Aku menangis."Han?" Fano memanggilku.Aku pun berusaha bangkit. Fano yang berdiri di samping brankar, lantas membantu sampai akhirnya aku berhasil duduk.Seperti mengerti, Fano mendekap tubuhku. Hingga aku berada di pelukannya. Kepalaku bersandar pada perutnya yang bidang.Aku menangis. Menumpahkan semua rasa sesak yang menghimpit begitu
*****POV JihanAku hanya menggelengkan kepalaku dalam kondisi terbaring saat ini."Fan, seharusnya kabar kehamilanku ini. Menjadi kabar yang sangat membahagiakan. Kamu tahu? Kabar kehamilanku sekarang, menjadi hal yang paling aku dan Mas Adrian tunggu-tunggu selama ini," ujarku kecewa."Seharusnya aku bahagia dengan kehamilan ini, Fan. Bahagia …." Suaraku parau.Tiba-tiba Fano meraih tanganku untuk digenggamnya. Fano kemudian duduk di kursi yang ada di samping brankar ini. Aku bingung harus bersikap seperti apa pada Fano saat ini.Di satu sisi, aku kecewa dengannya. Aku merasa marah karena dia ternyata tahu hubungan Mas Adrian bersama perempuan lain.Tapi di sisi lain. Hanya Fano yang ada bersamaku saat ini. Hanya dia yang menjadi peganganku saat rapuh sekarang.Fano menggenggam tanganku. Dia menatapku lekat. "Han, berbahagialah atas berita kehamilan kamu ini. Berbahagialah! Sambut kehadiran buah hati dalam rahim kamu dengan penuh sukacita dan rasa syukur. Meski hati kamu sedang terl
******Kulihat Fano tersenyum. "Aku setuju. Aku akan mendukung apa pun langkahmu, Han," ucapnya penuh dukungan.Walau hati ini berdenyut nyeri. Tapi aku tidak boleh terus terpuruk dan berlarut dalam kesedihan ini. Jika Mas Adrian dengan mudah menduakanku dan mengkhianati pernikahan ini. Maka aku juga akan dengan mudah menghempasnya kembali ke tempat asalnya."Aku akan mendukung dan akan selalu ada bersama kamu, Han. Tapi untuk saat ini, kita fokus dulu pada kesembuhan kamu, ya!" ujar Fano kemudian.Aku pun hanya mengangguk. Aku memang harus sembuh. Lebih cepat dan lebih sehat.Aku harus membuat Mas Adrian sadar. Dia bukanlah siapa-siapa selama ini. Tanpa bantuan ayah, tanpa harta ayah. Dia bukan siapa-siapa.Fano berdiri dari kursinya. Lalu dengan sigap dan cekatan. Dia membantuku untuk akhirnya kembali terbaring."Istirahatlah, aku akan jaga kamu di sini," ujarnya setelah aku berbaring dengan benar. Tubuhku juga sudah ditutupi selimut hingga ke pinggang."Makasih, Fan," jawabku kemud
Melangkah gontai menuruni anak tangga. Hingga berhasil melewatinya dengan sekujur tubuh terasa lesu.Yolanda sudah berdiri di ujung anak tangga ini. Seolah menyambut kedatanganku dari lantai atas.Dia menatapku dari atas hingga bawah. Satu sudut bibirnya tertarik. Membentuk senyuman meledek di wajahnya.Yolanda mendecih. "Kenapa? Kamu tidak menemukan yang kamu cari, Mba? Tentu saja. Suamiku … maksudku, suami kita. Dia sudah lebih dulu bergerak. Mengantisipasi hari ini," ujarnya membuatku muak."Suami kita? Kamu bangga memiliki suami seperti Mas Adrian?" tanyaku dengan nada tinggi.Yolanda mengangguk cepat. "Pasti. Dia cinta pertamaku. Dan sampai kapanpun, dia akan tetap jadi milikku. Meski harus berbagi, aku tidak masalah!" jawabnya yang tidak bisa diterima dengan akal sehatku."Silahkan kamu ambil! Silahkan kamu umumkan ke seluruh penjuru dunia. Bahwa kamu sudah berhasil mendapatkan cinta pertamamu kembali dan tidak peduli dengan cara apa kamu mendapatkannya! Silahkan kamu banggakan
******Aku duduk di kursi balkon teras kamar. Sambil melihat keadaan komplek di bawah sana sore hari ini. Hingga tak lama, aku melihat mobil milik Mas Adrian berhenti di depan pagar rumah ini.Aku masih tak beranjak. Memperhatikan gerakannya yang tengah memasukkan mobil melewati gerbang pagar.Ku ketuk-ketuk meja yang jadi tumpuan tanganku. Menunggu dia yang pasti akan menemuiku di sini.Kualihkan pandangan pada rumah sebelah. Rumah yang ditinggali Yolanda belum lama ini. Perempuan yang aku kira akan menjadi tetangga baik nantinya. Namun ternyata kedatangannya, justru membawaku pada satu rahasia besar yang disembunyikan Mas Adrian selama ini.Kemudian telingaku mendengar derap langkah dari dalam. Aku mengalihkan pandangan ke arah dalam. Memang benar saja, Mas Adrian yang muncul. Dia berjalan dari dalam menuju tempatku duduk saat ini.Aku menatapnya. Hanya bisa menatapnya dari sini. Sungguh, aku tidak pernah menyangka. Laki-laki yang telah lama hidup bersamaku itu, ternyata tega mengkh
Rahangku mengeras mendengar ucapannya. "Jangan gila kamu, Mas! Imbalan apa yang kamu maksud? Bukankah selama ini, pemasukan toko baik pusat maupun cabang, selalu masuk ke rekeningmu? Bukankah selama ini, kamu juga menikmati semuanya? Terus apa lagi yang kamu inginkan? Bahkan mobil yang kamu pakai pun, dapat kamu beli dari penghasilan toko! Sekarang kamu mengharap imbalan? Gila kamu!" "Udahlah, Sayang. Kamu ikuti saja aturan dari mas. Kita hidup bersama di rumah ini! Kita ga perlu adopsi adopsi anak. Ada Arsen, darah dagingku sendiri. Kamu bisa mengurusnya 24jam. Apalagi yang kamu permasalahkan, Sayang?" tanyanya seperti tidak memiliki perasaan.Dadaku bergemuruh. Apa dia pikir, berbagi suami itu hal yang mudah? Apa dia pikir, pernikahan diam-diamnya dengan Yolanda bisa aku terima? Di mana perasaannya?Sungguh, laki-laki yang berada di hadapanku saat ini. Seperti bukanlah Adrian suamiku, yang kukenali selama enam tahun ini.Kuraup wajah dengan kedua tangan. Menyugar Surai depanku ke a