Gabriella Calos has spent years guiding others through death, while quietly drowning in her own guilt. After losing the man she loved in a hospital bed she couldn’t save, she turned to pills for silence and vanished from everything she once was. Now back in her hometown, ready to leave nursing behind, she’s pulled into an emergency that changes everything—and into the path of Isaac Langton. Billionaire. Media mogul. Owner of half the city’s news stations and newspapers. He’s powerful, untouchable, and recovering from wounds no headline ever printed. When Isaac offers Gabriella a position as his private nurse at his secluded estate, she steps into a world far colder than the hospital—one filled with secrets, an unsettling wife, and a daughter who sees too much. As Gabriella and Isaac grow closer, so do the ghosts of their pasts—and the tension between them begins to burn.
Lihat lebih banyakWarning!!
BUKAN UNTUK ANAK-ANAK. YG MASIH DIBAWAH UMUR ,MINGGIR..!!"******
.Clara duduk di depan cermin dengan wajah yang sangat tak semangatnya. Pasalnya pria yang ia cintai sebentar lagi akan menikah dengan ibunya. Padahal ia pikir pria itu akan membatalkan rencananya, namun ia salah. Justru Mark tetap melanjutkan pernikahan tersebut.
Alasannya hanya satu, Mark tak ingin mengecewakan calon istrinya yang tak lain adalah ibu kandung Clara.
*****
3 Bulan yang lalu....
Malam ini Clara sedang berada di restoran mewah yang ada di hotel berbintang. Ia hendak menghadiri makan malam ibunya dengan seseorang. Kabarnya orang tersebut adalah calon Daddy tirinya.
Sejak sepuluh tahun yang lalu orang tuanya bercerai, Lauren sang ibu tak pernah lagi terlihat berkencan dengan lelaki manapun dan ini kali pertamanya Lauren mengatakan dan memperkenalkan kekasihnya pada sang anak. Dan itu di saat pemutusan untuk menikah.
Awalnya Clara tak setuju, namun bujukan maminya membuat Clara akhirnya pasrah. Ia pun menyadari jika jodoh seseorang itu tak satu saja. Perceraian menjadi jalan untuk bertemu jodoh ke dua atau ketiga dan seterusnya. Baik itu cerai hidup maupun cerai mati.
Dan untuk status ibunya ini adalah cerai hidup. Yang artinya sampai saat ini Clara masih punya ayah kandung yang masih hidup.
Clara jenuh dan bosan. Sudah lima menit calon dari ibunya itu terlambat dari jadwal yang sudah ditentukan.
"Mom, mana sih pacarnya Mom? Kok nggak datang-datang?" kesal Clara.
"Sabar sayang. Bentar lagi akan datang.."
"Tapi..."
"Maaf Lauren, aku terlambat.."
Clara mengangkat kepalanya saat mendengar suara seseorang. Suara bass sedikit serak yang menghantam gendang telinganya, membuat gadis itu seketika penasaran.
Ia tertegun saat melihat seorang pria berdiri dihadapannya dengan balutan casual santai namun terllihat sangat cocok.
Clara! Tahan hati lo!
"Hai sayang. Kok lama?"
Clara menatap maminya yang merajuk pada pria tersebut.
Fiks, pria ini adalah calon ayah tirinya.
"Maaf sayang. Di jalan macet.." jawab pria itu tampak menyesal.
Lauren menggelenh, "Tak apa. Karena aku tahu itu. Tapi tidak dengan putriku,Clara."
Pria itu menatap Clara yang sedang menatapnya. Ia lalu tersenyum membuat Clara sekali lagi kesulitan menahan kecepatan jantungnya.
"Hai, aku Mark.." pria yang bernama Mark itu menjulurkan tangannya pada Clara.
"Aku Clara. Anaknya mami Lauren.." Clara yang terpesona, tanpa sadar menggenggam jemari Mark erat, bahkan nyaris membuat Mark tertegun.
Deheman dari Lauren ,mengejutkan Clara. Dengan cepat Clara melepaskan genggamannya dari Mark.
"Oh! Maaf aku tak sengaja.." ucap Clara."It's okay.." jawab Mark.
Mark kembali fokus pada Lauren. Wanita itu mempersilahkan Mark duduk. Mereka saling berbincang bahkan Lauren tak sadar jika calon suaminya di lirik dalam oleh Clara.
Sungguh Clara seketika terpesona dengan kegagahan calon ayah tirinya.
*****
Makan malam berlangsung baik. Mark dan Clara bahkan sudah saling bicara. Kedekatan mereka disambut baik oleh Lauren. Bahkan Lauren sudah bersyukur anaknya bisa dekat dengan Mark. Ia pikir Clara dan Mark akan sulit berbaur, tapi ternyata ia salah. Mark justru mudah memasuki dunia Clara.
Mark adalah bule asal Amerika. Tak ada darah indonesia di tubuh Mark namun ia bisa bicara bahasa Indonesia. Semua itu ia pelajari lantaran terdesak pekerjaannya.
Mark merupakan seorang CEO yang bekerja dibidang perhotelan dan pariwisata di Amerika. Banyak hotel miliknya yang disukai masyarakat di sana.
Dan pertemuannya dengan Lauren pun karena hal itu. Lauren menjadi tamu dihotelnya dan ia terpesona dengan kecantikan Lauren.
Kedekatan Lauren dan Mark berlanjut sampai ke jenjang pernikahan dan Mark perpikir ini sedikit sulit karena Lauren memiliki anak perempuan yang harus ia taklukan.
Pertemuan pertama Mark dengan Clara membuat Mark takjun, ternyata Clara tak kalah cantik dari Lauren. Mereka memang ibu dan anak yang rupawan.
Mark menatap kaca spion yang ada di atas kepalanya. Ia melirik Clara dari sana. Clara tak fokus pada Mark, gadis itu memilih melirik jalan raya.
Hari ini Mark akan menginap di kediaman Lauren. Kebetulan esok pagi mereka harus mengunjungi sebuah butik tempat penyediaan gaun pernikahan.
Sebenarnya Mark meminta untuk membeli saja, jadi akan ada yang spesial dari desainnya, namun Lauren menolak dan lebih memilih menyewa saja. Karena baju pernikahan tak akan bisa dipakai kemanapun, jadi akan sangat rugi apabila dibeli.
Karena jarak dari hotel tempat Mark menginap ke tempar butik itu sangatlah jauh, jadilah Lauren menyarankan Mark menginap di rumahnya saja. Sekalian mereka bisa 'bersenang-senang'.
Tak lama setelah itu, mobil yang Mark kendarai memasuki sebuah rumah mewah. Tentu saja itu rumah Lauren.
Setelah menyimpan mobil di dalam garasi, Mark, Clara dan Lauren segera turun dan masuk ke dalam rumah.
"Clara, kamu tidur dulu ya. Mami masih ada yang mau mami bicarain sama Mark..." ucap Lauren yang diangguki oleh Clara.
Gadis itu langsung masuk ke kamarnya yang ada di lantai satu.
Sebenarnya kamar utama Clara ada di lantai dua, namun ia malas menempati kamar itu, jadilah kamar Di lantai dua lebih banyak diprioritaskan untuk tamu.
Beruntung rumah tersebut memiliki empat kamar. Dua kamar utama dan dua kamar tamu.
Setelah masuk ke dalam, Clara melempar tas yang ia bawa ke atas ranjang king size yang ada di kamsr tersebut. Ia melepaskan blazzernya dan juga tengtop tipis yang membalut tubuh atas Clara, menyisakan bra berwarna merah tanpa tali.
Clara menarik pakaian tidur tipis di dalam lemari pakaiannya. Ia juga melepaskan celananya dan menggantinya dengan baju tidur tersebut.
Sebenarnya untuk ukuran baju tidur, ini bisa dibilang sangat seksi, tapi ia nyaman dan itu tak masalah.
Bahkan baju tersebut sangat menerawang. Memiliki tali yang sangat halus untuk menahan agar tak jatuh, dengan panjang baju yang hanya sampai dibawah bokong sedikit.
Jika tak mengenakan bra, ia bisa dengan jelas melihat puncak dadanya yang siap untuk menyapa.
Setelah selesai, Clara berjalan menuju ranjangnya lalu tidur di sana. Otaknya seketika memikirkan tentang calon ayah tirinya yang bernama Mark.
Mark sangat tampan. Tubuhnya kekar membuat milik Clara berdenyut ngilu. Ia tak bisa membayangkan bagaimana bentukan 'perkakas' Mark dengan tubuh sebagus itu. Apa benar sama persis seperti film film yang selalu ia lihat.
Kekar dan berurat.
Uuuuu, Clara meringis saat membayangkan benda itu singgah di lobangnya, pasti akan sangat membuatnya merintih nikmat.
Membayangkannya saja sudah berhasil membuat Clara basah, apalagi sampai merasakannya.
Ia juga sempat memperhatikan jemari Mark yang juga besar dan panjang. Apa jadinya jika jemari itu masuk dan mengorek 'Cinta' nya sampai berlendir basah.
Pasti akan sangat nikmat.
Clara tak tahan. Ia meraih miliknya dengan jemarinya. Mengusapnya lembut seperti memberikan semangat untuk bersabar.
Sementara itu, di luar sana, Lauren dan Mark tengah berciuman panas. Mereka saling memagut satu sama lain, saling menekan ciuman tersebut.
Lauren tersenyum menang karena dari ciuman panas yang ia berikan pada Mark, membuat perkakas calon suaminya itu langsung bangun.
Ini yang ia suka dari Mark, milik Mark yang selalu membuatnya ketagihan. Bagaimana tidak, benda itu sangat berurat dan panjang.
Ia yakin Mark merawatnya dengan baik. Karena bentukannya begitu sempurna dan menjadi impian para wanita.
Clara menggoda Mark dengan menurunkan jemarinya lalu memijit milik Mark yang sudah mengeras membuat Mark mendesah nikmat.
"Kau menggodaku sayang.." ucap Mark saat ciuman mereka terlepas.
"Tapi kau suka.."
"Tentu.. Apalagi 'Cinta' mu. Sungguh sempit dan nikmat.."bisik Mark tepat di telinga Lauren.
Lauren hendak turun berjongkok, namun ditahan oleh Mark, "jangan di sini.." ucap Mark sambil melihat pintu kamar yang tadi dimasuki Clara.
Seolah paham, Lauren langsung menarik tangan Mark dan membawa pria itu menuju kamarnya yang ada di lantai atas.
Ia sangat merindukan perkakas Mark memporak porandakan lendirnya. Terakhir mereka melakukannya itu sekitar satu bulan yang lalu saat Lauren berkunjung ke Amerika.
Dan sekarang ia menginginkannya lagi.
Sesampainya di dalam, Lauren menutup pintu dan langsung jongkok membuat Mark tersenyum. Ia bangga dengan miliknya. Karena calon istrinya ini sangat menyukainya.
Bersyukur ia merawatnya sejak dulu.
Mark mendesah saat tangan Lauren menggenggamnya. Saking perkasanya, Bahkan jemari Lauren tak cukup untuk melingkari diameter milik Mark.
"Uuuuu,, besar banget sayang..."
"Itu milikmu Lauren. Kau bisa lakukan apa yang ingin kau lakukan dengannya.." ucap Mark dengan wajah menggoda.
Lauren senang bukan main.
Tanpa pikir panjang, ia langsung memasukkan milik Mark ke dalam mulutnya. Dan sungguh mulut Lauren terasa penuh.
Ia memaju mundurkan kepalanya membuat Mark medesah gila. Bahkan tangan Mark ikut membantu kepala Lauren untuk maju mundur dengan teratur.
Sesekali Mark menekan kepala itu agar miliknya menyentuh dinding kerongkongan Lauren.
Sungguh, hal itu sangatlah nikmat.
Mark yang tak tahan, memutuskan untuk menggendong Lauren menuju ranjang dan menidurkan Lauren di sana.
Mark melepaskan pakaiannya dengan cepat membuat Lauren langsung menggigit bibir bawahnya seketika saat ia melihat pusat tubuh Mark yang menjulang kekar.
Tanpa pemanasan, Mark langsung memasukkan miliknya ke dalam lubang cinta milik Lauren yang membuat wanita itu sedikit menjerit karena kaget.
"Maaf sayang, aku sudah tak sabar.." sesal Mark.
"Tak apa sayang. Aku juga sudah tak sabar.." goda Lauren.
Mark tersenyum lalu ia mulai menggerakkan pinggulnya, awalnya gerakan itu sangat pelan, namun semakin lama gerakan itu menjadi sangay cepat membuat Lauren mengerang tak tahan.
Erangan Lauren sungguh membuat nafsu semakin meningkat. Lubang cintanya terisi penuh, bahkan sangat sesak. Namun itulah yang membuat kenikmatan itu semakin bertambah.
"Aaaghhh....aaghhh..ssshhh..aaagghh... Sayang.. Sesak banget Mark... Benar-benar penuh dan nikmat.." ucap Lauren sambil terus mendesah.
Erangan Lauren terdengar sangat erotis.
Lauren meremas dadanya untuk melampiaskan rasa nikmat pada lubang cintanya yang kini 'digempur' habis - habisan oleh Mark.
Dan ini yang paling Lauren suka dari milik Mark, urat urat kekar yang menonjol membuat milik Mark seperti bergerigi. Miliknya terasa semakin nikmsat.
"Sssshh...sialan! Kau sungguh nikmat Lauren.."
"Miliki aku sayang. Tubuhku untukmu.."
Mark mempercepat hentakannya. Ia merasakan ada yang memijit miliknya. Ia tersenyum menang saat ia melihat Lauren yang sedang menunggu detik-detik pelepasan nikmat.
Mark mempercepat hentakannya, membuat Lauren merasakan kenikmatan yang begitu hebat.
Ia bahkan sampai menggenggam rambutnya, "Aaaaaaggggg... Nikmat banget... Terus sayang..terus...aagghhh..don't stop don't stop...please...don' stop...aaggghh.. don't stop.... Im Coming Honeeeeeyyy...aaaghhhh..."
Lauren bergetar hebat. Tubuhnya menerima datangnya kenikmatan itu dengan getaran hebat.
Bahkan mata hitam Lauren tak terlihat karena ia menengadah ke atas menikmati pelepasannya.
Tubuhnya mengejan ngejan. Bahkan Lauren memukul daging kenyal miliknya itu pelan berulang kali untuk menghilangkan getaran geli penuh kenikmatannya, namun tak berhasil.
Mark merasa puas sudah membuat Lauren seperti ini. Dan ia semakin bangga dengan miliknya.
"Apa senikmat itu sayang?" goda Mark yang membuat Lauren seketika merona malu.
Lauren mengangguk,"Sangat nikmat sayang.." jawabnya.
Kenikmatan itu masih berlanjut, tanpa mereka berdua sadari ada sepasang mata yang sedari tadi mengintip.
Mengintip dari celah pintu kamar yang tak tertutup sempurna..
******
“You think you can protect her from me?” Daphne hissed, too close, her perfume choking me more than the air itself.Something inside me snapped. My hand shot to her throat, pressing her against the wall. Her pulse hammered beneath my fingers as I squeezed, and still—still—she laughed. A low, wicked sound that scraped against my bones.“Always a step ahead of you, Isaac,” she whispered, lips curling despite the pressure. “You’ll never win.”I squeezed harder, fury tunnelling my vision red. And then—The door creaked.A maid froze in the threshold, her eyes wide, a tray clattering in her hands, shocked and confused.The reality of what I was doing hit me like ice water. I released Daphne with a shove, stepping back. She smoothed her throat, straightening as if she hadn’t nearly been crushed. Then she smiled. That awful, triumphant smile.“I’ll destroy you myself,” she said, voice smooth as glass, “before I ever let someone else have you.”I stormed out before I did something I couldn’t
The kiss still burned on my lips as I slid behind the wheel. My hands gripped the steering tighter than they should have, knuckles whitening, jaw clenched.I hadn’t planned for it to happen like that. Hell, I hadn’t planned for it to happen at all. Gabriella was supposed to hate me—or at least keep her distance. It was safer that way. Cleaner. But the way she looked at me… the way she felt against me… There was no denying it anymore. I was in deeper than I’d ever meant to go.In loveThe second woman I had ever opened my heart to, I didn’t even believe it was possible after Sarah. For years, I’d convinced myself I was carved hollow, that love wasn’t meant for me anymore. Sarah had proved it—how fragile it all was. The pressure, the chaos, my failure to shield her… it had been too much. And when she broke, she broke completely. Her death carved me open in ways no scar ever could.I carried that blame like a brand. Every deal I made, every face I smiled at in public, every lie I told my
The moment his voice slid into the air, my body reacted before my mind could. I shot to my feet, heart hammering, and bolted down the path away from him. Gravel crunched under my shoes, lungs burning as if I could somehow outrun his shadow. “Gabriella, wait!” Isaac’s voice chased me, sharp and commanding. “Stay away from me!” I didn’t stop. Couldn’t. My throat tore as I shouted, “How did you find me?” I didn’t wait for his answer. Instead, I screamed the only name that made sense— “Leah!” I burst back inside, the air colder, heavier. Leah was there, standing in the center of the room. And then I saw it—her eyes locked with Isaac’s. A silent recognition. My stomach dropped. “No,” I whispered, shaking my head. “No. No, no…” Leah was standing in the living room, a glass in her hand. Her eyes flicked toward Isaac as he stepped through the doorway. The silence between them told me everything before her mouth ever moved. They knew each other. “No,” I whispered, shaking my h
The apartment smelled too clean. Not like bleach, not like dust, but like… erasure. Every trace of life scrubbed away, leaving only the faint tang of lemon polish and something sharper, metallic, that clung to the back of my tongue.Leah’s heels clicked against the hardwood as she moved ahead, flicking on lights. The place was gorgeous—glass walls opening to the lake, soft grey furniture, paintings that looked like they belonged in a gallery. Too gorgeous. Like it had been waiting for someone to admire it, not live in it.“Make yourself comfortable,” Leah said, slipping off her jacket. She moved with ease, like she belonged here. “No one will find you here. Not unless I want them to.”I didn’t sit. My eyes darted instead—to the windows, the doors, the locks. I’d been dragged through too many lies to believe in miracles. And Leah—calm, beautiful, composed—didn’t feel like a saviour. She felt like another trap with better lighting.“Why are you doing this?” I asked. My voice was rough,
The call cut off, but Daphne’s voice clung to me like smoke, thick and suffocating, refusing to leave my lungs. I stared at the phone in my hand, her words replaying on loop—addict, job, life—until they weren’t just threats, they were truths already unfolding. Somewhere outside my window, I thought I heard footsteps pause, then laughter, too sharp to be a coincidence. My chest tightened. Was it paranoia, or had they already seen?Another vibration shook through my palm. A text from an unknown number: Slut nurse. Can’t wait for your patients to see this.My stomach flipped, bile burning the back of my throat. The walls of my apartment felt like they were shrinking; I couldn’t breathe, sit still, or watch my life collapse through a glass screen.My chest ached with the weight of her words, but a sharper panic cut through—my car was still back at the station. If she was right, if people were already watching, then it was a beacon with my name on it.I snatched my hoodie off the chair, s
I ducked into an alleyway behind a row of shops, bracing myself against the cool wall as I tried to catch my breath. My heart was still racing, but it had nothing to do with the run. I’d kissed him. I had kissed Isaac back like I needed it to breathe, like nothing else in the world mattered. And for a terrifying, intoxicating moment… nothing else had.But then everything came crashing down. James. The crowd. Daphne’s name is banging like a drum at the back of my skull. Isaac’s marriage. The fact that I had just made a spectacle of myself—of us—like some careless girl who didn’t know how the world worked.I shut my eyes and tilted my head back against the wall, willing the sting to leave my throat, the heat to fade from my cheeks. But the memory wouldn’t let go. His hands on my face, the way his lips had trembled against mine, the way he had looked at me like he was choosing me, finally, fully—even if only for that moment.It didn’t feel like a mistake.That’s what scared me most.I di
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen