Mag-log inDi dalam, seorang gadis cantik sedang mandi. Rambutnya yang panjang terurai basah, dan tubuhnya yang ramai terlihat samar-samar melalui tirai air. Thomas merasa tertarik, namun ia tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang dapat dia perbuat dengan tanpa izin. Namun, godaan melihat pemandangan itu sejenak menguasai dirinya sebelum akhirnya ia memutuskan untuk pergi. Ia tahu, kembali ke rumah sebelum gelap adalah prioritas utamanya.
Saat Thomas tiba di reruntuhan rumah, Jack dan Murphy sudah bangun. Mereka terlihat lapar dan lelah, mata mereka memandang adiknya dengan harapan. Thomas tersenyum dan mengeluarkan roti yang dia curi tadi pagi. “Ini untuk kalian,” katanya sambil membagi roti itu.
Jack dan Murphy langsung menyantap roti itu dengan lahap, suara kunyah mereka yang keras memenuhi keheningan malam. Thomas duduk di samping mereka, memandang langit yang mulai dipenuhi bintang. Dia tahu, hidup mereka keras, tapi dia juga tahu, dia punya kecerdasan dan kemampuan untuk mengubah segalanya. Mungkin, suatu hari nanti, dia bisa membawa mereka keluar dari kehidupan ini.
Namun untuk sekarang, Thomas hanya bisa berharap. Berharap bahwa besok akan lebih baik. Berharap bahwa suatu hari, dia bisa memberikan kehidupan yang layak untuk Jack dan Murphy. Dan sampai saat itu tiba, dia akan terus menggunakan kecerdikannya, kepandaiannya, dan sedikit kenakalannya untuk bertahan.
Hari demi hari berlalu, dan tekanan hidup semakin terasa. Thomas semakin sulit menemukan cukup uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Stok roti yang dia curi mulai menipis, dan peluang untuk mendapatkan uang mulai berkurang. Pelabuhan yang dulunya memberikan banyak kesempatan kini dipenuhi dengan pengawasan yang lebih ketat. Thomas tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu yang lebih drastis.
Pada suatu malam yang dingin, Thomas merasa putus asa. Adiknya, Jack dan Murphy, semakin lemah karena kelaparan dan kelelahan. Thomas melihat ke dalam mata mereka yang penuh harapan dan ketakutan. Tekanan untuk menjaga mereka membuatnya merasa terjebak dalam lingkaran tanpa akhir.
Dengan pikiran yang dipenuhi kekhawatiran, Thomas memutuskan untuk kembali ke pasar gelap mencari cara lain untuk mendapatkan uang. Dia telah mencoba berbagai cara sebelumnya, tetapi semuanya sepertinya tidak cukup. Malam itu, dia melihat sebuah peluang yang mungkin bisa dia manfaatkan. Di sudut pasar, ada seorang pedagang yang jarang dia perhatikan, menjual barang-barang - barang bekas dengan harga yang sangat murah.
Tanpa pikir panjang, Thomas mendekatinya dengan niat untuk mencuri. Dia tahu risikonya tinggi, tetapi kebutuhan untuk adiknya lebih besar daripada rasa takutnya. Dengan hati-hati, dia mulai menyelipkan beberapa barang bekas berharga ke dalam saku jaketnya, berharap bisa menjualnya dengan harga yang lebih tinggi.
Namun, keberuntungannya tidak berpihak. Pemilik kios, seorang pria berotot dengan tatapan tajam, tiba-tiba menyadari tindakannya. “Hei! Apa yang kau lakukan di sini?” teriak pria itu sambil mengejar Thomas yang mulai berlari dengan panik.
Thomas berlari secepat mungkin, melewati kerumunan yang mulai berdecak kagum. Namun, di tengah keputusasaannya, dia terpeleset di antara kerumunan, jatuh ke tanah dan terluka. Pedagang itu dengan kasar mengepalkan tangan dan mulai memukuli Thomas tanpa ampun. Tubuhnya terguncang oleh pukulan demi pukulan, darah mulai menetes dari hidungnya yang terkulai. Orang-orang di sekitar mulai berkerumun, tertawa dan mengejeknya tanpa belas kasihan.
Rasa sakit dan rasa malu menyelimuti Thomas. Dia mencoba untuk bangkit, namun tubuhnya yang lemah tidak menanggapi. Matanya mulai mengabur, dan dunia di sekitarnya menjadi kabur. Rasa sakit yang mendalam membuatnya merasa ingin menyendiri, melarikan diri dari pandangan semua orang yang menyaksikan penderitaannya.
Dengan napas yang tersengal-sengal, Thomas berusaha mencari jalan keluar dari kerumunan. Namun, sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, dia melihat sosok yang berbeda di tengah keramaian. Seorang pria paruh baya dengan perawakan gendut dan berjenggot putih, berpakaian rapi meski di lingkungan yang kumuh ini, memperhatikan Thomas dengan penuh perhatian. Pria itu tampak tidak tertarik dengan kerumunan yang berisik, namun matanya tertuju pada Thomas yang sedang berjuang di tengah kerumunan.
Thomas, yang biasanya enggan menunjukkan kelemahan, merasa ada sesuatu yang berbeda dari pria ini. Dengan sisa tenaga yang dia miliki, dia memberanikan diri untuk mendekati pria tersebut, meski tubuhnya terasa nyaris tak berdaya.
“Maafkan saya, Pak,” kata Thomas dengan suara serak, suaranya bergetar akibat rasa sakit. “Saya tidak bermaksud….”
Pria itu mengangguk tanpa kata, lalu dengan lembut mengulurkan tangan untuk membantu Thomas berdiri. “Aku melihat apa yang terjadi. Kau butuh bantuan.”
Thomas mengangguk, merasa bingung dan tidak percaya dengan kebaikan yang ditunjukkan oleh orang asing ini. “Aku hanya mencoba untuk mencari uang untuk keluarga. Tapi semuanya tidak pernah cukup.”
Pria itu tersenyum hangat, mata birunya memancarkan ketulusan. “Namaku Sam, Panggil Aku “Paman Sam” pemilik toko koran di seberang jalan. Aku sering melihat anak-anak sepertimu berjuang di pasar. Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?”
Thomas merasa ragu pada awalnya. Dia tidak terbiasa menerima kebaikan dari orang asing, apalagi di saat-saat seberat ini. Namun, melihat ketulusan di mata Sam, dia memutuskan untuk membuka diri. “Saya... saya tidak tahu harus berbuat apa lagi, Paman Sam. Kami benar-benar butuh bantuan.”
Sam mengangguk penuh pengertian. “Aku tahu betapa sulitnya hidup di sini. Aku pernah berada di posisi yang sama dulu. Mungkin aku bisa menawarkanmu sesuatu yang bisa membantumu.”
Dengan hati yang cemas dan penuh harapan, Thomas menerima tawaran itu. Sam kemudian mengajak Thomas berjalan ke tokonya yang kecil namun rapi, terletak di sudut jalan yang tidak terlalu ramai. Di dalam toko, aroma tinta dan kertas baru memenuhi udara, menciptakan suasana yang berbeda dari kerasnya pelabuhan.
Thomas merasa penasaran dan mulai mengintip ke rak-rak koran terbaru yang teratur tersusun. Dia melihat berbagai judul menarik dan informasi terkini yang diimpornya. Ketertarikannya terhadap informasi membuatnya semakin dekat dengan Sam, yang memperhatikan keinginannya untuk memahami lebih dalam tentang koran-koran tersebut.
------------> Bersambung
Seraphine menyerahkan sebuah alat pendeteksi sinyal. "Bisa jadi mereka planting bukti palsu. Berarti kita harus ekstra hati-hati. Dan jika tokoh penting Jepang terbunuh lalu sidik jari kita di TKP…."Naomi menyelesaikan kalimat, "…maka perang meletus, dan The Heptagon dianggap teroris internasional. Benar-benar setan rencana ini."Melissa membuang napas berat. "Ya Tuhan, ini sudah masuk level 'perang bayangan' global. Satu langkah salah, kita bakar dunia."Thomas menggenggam sandaran kursi speedboat kuat-kuat. Dalam benaknya, ia ingat kata-kata Murphy waktu perpisahan: "Kau jangan terluka," tapi ternyata taruhannya bukan cuma dirinya ada potensi malapetaka global.Mereka melirik ke depan speedboat memperlambat laju, cahaya lampu kota Tokyo mulai tampak di kejauhan, bagai gugusan permata di malam kelam. Mereka siap merapat.Thomas menatap wajah rekan-rekannya satu per satu. Sadar bahwa situasi jauh di atas dugaan semula. Bukan saja ada senjata biologis, tetapi juga fitnah internasional
Pesawat menembus batas malam, dan menurut pilot, dalam beberapa jam mereka akan mendarat di pangkalan rahasia dekat perairan Jepang. Dari sana, Tim Thomas bergeser dengan transportasi khusus menuju Tokyo. Suasana kabin masih senyap, sampai akhirnya Thomas mengumpulkan semua orang untuk penjelasan final."Kalian semua lihat pesan tak dikenal tadi. Ini menegaskan apa yang sudah disampaikan Chief Intel: ancaman kita lebih besar daripada sekadar senjata biologis di Tokyo. Tujuan musuh adalah memecah belah The Heptagon, memancing perang global. Apa pun maksudnya, kita harus membuat langkah awal menggagalkan mereka."Alex: "Ini tanggung jawab besar. Kita tim kecil, tapi di pundak kita nasib The Heptagon dan mungkin kestabilan dunia."Diego: "Heh, biasanya aku suka tantangan, tapi ini gila juga. Baiklah, kita lakukan yang terbaik."Flynn: "Kita harap Markas masih solid. Semoga The Line 51 dan Chief Intel bukan bagian dari faksi jahat. Kita benar-benar tak tahu siapa yang bisa dipercaya."Nao
Tim Thomas terbang menuju cakrawala malam, memikul beban besar. Jejak pengkhianat masih samar, siap menikam dari belakang kapan saja, sedangkan rencana operasi Tokyo yang berani kini menanti di depan mata."Jika kami berhasil, The Heptagon selamat dari kehancuran internal dan ancaman global. Jika gagal, segalanya mungkin runtuh," demikian Thomas membatin, menatap langit luas melalui jendela kabin.Pesawat pun melaju stabil, membawa harapan dan kecemasan menuju fase misi berikutnya.Pesawat The Heptagon yang membawa Thomas dan tim (Alex, Diego, Flynn, Melissa, Seraphine, Naomi) telah mengudara meninggalkan Pulau Buatan di Samudra Pasifik. Malam menebar keheningan, hanya deru mesin terdengar di kabin. Cahaya panel navigasi menerangi wajah-wajah tegang mereka.Thomas duduk dekat jendela, menatap gelapnya bentang laut di bawah sana. Pikirannya berkutat pada pengkhianat yang belum terungkap dan potensi bencana di Tokyo.Alex sibuk dengan tablet, mencoba menyusun kalimat-kalimat diplomasi d
Flynn menyalakan cahaya senter dari ponselnya. "Mustahil. Pulau ini punya generator cadangan. Ada yang tidak beres."Beberapa detik kemudian, lampu darurat berwarna merah menyala di atap, menerangi ruangan dengan cahaya suram. Terdengar suara peringatan lewat speaker:"Awas, gangguan sistem. Bukan latihan. Awas, gangguan sistem."Thomas langsung memerintahkan, "Alex, cek dengan Pusat Kontrol. Naomi, Melissa, cek koridor. Pastikan kita aman."Naomi & Melissa bergerak cepat ke pintu, sedangkan Seraphine menjaga laptop-laptop. "Flynn, coba cari tahu di jalur internal, apa yang terjadi?" perintah Thomas.Flynn duduk memantau tablet. "Aku melihat kesalahan jaringan. Seseorang memaksa down sistem kelistrikan dan menonaktifkan beberapa server. Bagian dari sabotase, mungkin?"Thomas memaki pelan. "Inilah si pengkhianat bergerak. Tujuan mereka mungkin memicu kekacauan sehingga kita tak bisa berangkat."Naomi kembali, napas terengah. "Lorong-lorong gelap. Baru saja kulihat dua agen keamanan ber
Kazuhito melanjutkan, "Kalian akan diantar dengan pesawat khusus Heptagon ke dekat perairan Jepang. Dari sana, mungkin beralih ke kapal selam mini atau perahu cepat untuk menyusup. Detailnya masih dirumuskan Chief Intel keamanan harus dijamin agar tak terendus. Apalagi kabarnya media Jepang cukup sensitif dengan kapal asing."Thomas memberanikan diri bertanya, "Apakah ada kabar lain soal kebocoran data atau pelaku di dalam, Pak?"Kazuhito menggeleng. "Belum ada perkembangan signifikan. Karena itulah, kupikir lebih baik kalian segera keluar dari markas ini. Semakin lama di sini, semakin besar peluang pengkhianat melakukan sabotase. Lebih baik kalian bergerak cepat sebelum musuh menyesuaikan rencana."Sebuah keputusan pahit tapi logis: berlari dari ancaman internal dengan menyelesaikan misi di luar. Thomas memahami maksudnya. "Dimengerti, Pak. Kami akan bersiap."Kazuhito menatap setiap anggota tim. "Ingat, jika kalian gagal, tak hanya karir yang tamat, nyawa kalian pun terancam. The He
Melissa, sang sniper yang selalu tampak berwibawa, menyilangkan lengan. "Setuju. Kita pun tak sempat menggelar investigasi total. Waktu kita untuk operasi Tokyo mepet. Barangkali kita harus berhati-hati di lapangan, siap kalau-kalau ada sabotaase."Thomas menyadari kebenaran itu. "Baik. Flynn, lanjutkan pencarian. Kita sisakan satu atau dua jam lagi untuk menggali data. Alex, tolong cek catatan agen-agen lelaki tinggi atau agen wanita tinggi? Kita tak mau mendiskriminasi. Bisa saja wanita, kan?"Alex mengetik di ponselnya. "Oke, kubuat listing. Tapi pasti panjang.""Tak apa. Minimal kita lakukan penyempitan," timpal Thomas. "Sekarang, mari kita bahas rencana operasi lapangan. Mungkin kita akan ubah detail, agar kalaupun data bocor, musuh tak menebak langkah kita."Semua orang menyiapkan catatan dan peta. Rapat ini berlanjut ke topik berikutnya poin 6: Rencana Operasi Lapangan dengan kesadaran bahwa seorang "musuh di dalam selimut" masih bersembunyi di antara mereka, siap menghancurkan







