Mag-log in
Ditahun 2000, Langit London pagi itu kelabu, seperti biasa. Kabut tipis menyelimuti pelabuhan, menciptakan suasana suram yang seolah-olah mencuri harapan dari setiap sudut kota. Bagi Thomas, kabut itu justru menjadi teman setia. Ia tahu, di balik kabut, ada peluang peluang untuk bertahan hidup dan menghidupi kedua adiknya, Jack dan Murphy.
Thomas, si sulung berusia 18 tahun, sudah bangun sebelum matahari terbit. Suara debur ombak dan riuh rendah aktivitas pelabuhan menjadi alarm alami yang membangunkannya setiap pagi. Ia duduk di atas lantai kayu yang reyot di dalam reruntuhan rumah tua yang mereka tinggali. Rumah itu jika bisa disebut rumah hanyalah tumpukan kayu lapuk dan batu bata yang hampir roboh. Tapi, inilah satu-satunya tempat yang bisa mereka sebut “rumah”.
Di sudut ruangan, Jack dan Murphy masih tertidur pulas. Jack, yang berusia 10 tahun, memiliki tubuh kurus dan wajah pucat akibat kurang gizi. Sedangkan Murphy, adik kecilnya yang baru berusia 7 tahun, terbungkus selimut usang yang sudah penuh tambalan, menunjukkan betapa mereka hidup dalam keterbatasan. Thomas memandang mereka dengan perasaan campur aduk. Tanggung jawab besar terletak di pundaknya, namun kasih sayang untuk adik-adiknya memberikan kekuatan untuk terus berjuang.
Thomas tahu, untuk bertahan hidup di kota yang keras ini, ia harus cerdik dan pintar. Dia meraih jaketnya yang sudah compang-camping, memeriksa saku untuk memastikan pisau kecilnya tetap aman di dalamnya. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, ia harus mencari uang. Tapi Thomas bukan anak biasa. Di balik usianya yang masih remaja, tersembunyi jiwa pengusaha cerdas yang selalu mencari peluang di tengah kesulitan.
Setelah memastikan adiknya masih tidur nyenyak, Thomas menyelinap keluar dari reruntuhan rumah. Kabut pagi belum menghilang, memberikan perlindungan dari pandangan mata yang tidak diinginkan. Ia melangkah cepat menuju pasar gelap dekat pelabuhan, tempat di mana kebutuhan sehari-hari bisa dipenuhi dengan harga yang layak atau setidaknya cukup untuk membeli sesuatu yang bisa dijual kembali.
Pasar gelap itu ramai dengan pedagang yang menjual berbagai barang, mulai dari makanan kadaluarsa hingga barang-barang curian. Thomas tahu, di sini, uang bukanlah satu-satunya alat tukar. Kecerdikan dan kemampuan bernegosiasi adalah kunci untuk mendapatkan apa yang ia butuhkan. Ia melangkah di antara kerumunan, memperhatikan setiap gerak-gerik orang di sekitarnya.
Mata Thomas tertuju pada seorang pedagang roti yang sedang sibuk melayani pelanggan. Bau roti yang terbakar dan aroma busuk dari sampah terdekat menciptakan kontras yang aneh namun khas dari pasar gelap ini. Dengan cepat, Thomas memperhatikan saat pedagang tersebut sibuk menghitung uangnya. Ini adalah momen yang tepat. Dengan kecepatan tangan yang hampir tidak terlihat, ia mengambil dua potong roti dari tumpukan dan menyembunyikannya di balik jaketnya. Roti itu bukan hanya makanan; itu adalah harapan untuk keluarga kecilnya.
Namun, Thomas tidak berhenti di situ. Ia tahu, roti saja tidak cukup. Ia membutuhkan uang tunai untuk membeli barang-barang yang lebih berharga atau bahkan menyimpan uang untuk masa depan. Mata Thomas kemudian tertuju pada seorang gadis muda yang berdiri di dekat kios ikan. Gadis itu tampak bingung, mungkin baru pertama kali ke pasar. Thomas melihat ini sebagai peluang.
Dengan senyum manis di wajahnya, Thomas mendekati gadis itu. “Permisi, nona”, katanya dengan suara lembut namun penuh percaya diri. “Kamu terlihat butuh bantuan. Apa kamu mencari sesuatu?”
Gadis itu menoleh, matanya yang besar dan polos menatap Thomas dengan rasa penasaran. “Aku... aku mencari ikan segar untuk ibuku,” jawabnya dengan ragu-ragu.
Thomas tersenyum lagi, menunjukkan sisi lain dari dirinya yang bisa memikat orang. “Ah, kamu datang ke tempat yang tepat. Tapi hati-hati, banyak pedagang nakal di sini. Aku bisa membantumu memilih yang terbaik.”
Gadis itu mengangguk, merasa lega dengan tawaran bantuan Thomas. Dengan cepat, Thomas membimbingnya menuju kios ikan yang dia kenal. Ia tahu, si pedagang akan memberinya sedikit uang jika dia berhasil membawa pelanggan. Setelah gadis itu membeli ikan, Thomas mendapat beberapa koin dari si pedagang. Tidak hanya itu, rasa terima kasih dari gadis itu memberikan kepuasan tersendiri bagi Thomas. Hari ini, dia sudah mendapatkan roti dan uang tunai dua hal yang sangat berharga.
Saat matahari mulai tenggelam, Thomas memutuskan untuk pulang. Namun, perjalanan pulang tidak selalu aman. Kota ini penuh dengan bahaya, mulai dari pencuri hingga pihak berwenang yang sering melakukan razia. Thomas harus selalu waspada dan siap menghadapi segala kemungkinan. Namun, kelelahan mulai menggerogoti tubuhnya. Ia melewati area pelabuhan yang lebih sepi, tempat di mana kapal-kapal besar sedang bongkar muat barang. Di sinilah, menurut Thomas, peluang emas menantinya.
Dengan mata tajam, ia memperhatikan gerak-gerik para pekerja. Mereka sibuk mengangkat karung berisi kopi, tanpa menyadari kehadiran Thomas. Dengan gerakan cepat dan hati-hati, Thomas menyelinap ke belakang tumpukan karung dan mengambil sekantong kecil kopi. Kopi ini bisa dijual dengan harga mahal di pasar gelap, memberikan keuntungan yang signifikan bagi Thomas dan adiknya.
Namun, Thomas tidak berhenti di situ. Di dekat kapal, ia melihat sekotak kecil yang tergeletak di tanah. Kotak itu terlihat mewah, mungkin berisi perhiasan atau barang berharga lainnya. Dengan kecerdikan yang luar biasa, Thomas mengambil kotak itu dan menyembunyikannya di balik jaketnya. Ia tahu, mengambil barang dari kapal yang sedang bongkar muat adalah risiko besar, tapi kesempatan seperti ini tidak datang setiap hari.
Dengan napas yang terkendali, Thomas melangkah pergi dari pelabuhan, seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Namun, hatinya berdetak kencang, menyadari bahwa setiap tindakan membawa konsekuensi. Kecerdasannya membuatnya bisa menghindari deteksi, tetapi di dunia ini, tidak ada yang benar-benar aman.
Saat matahari mulai tenggelam, langit London berubah menjadi lebih gelap. Thomas memutuskan untuk melewati sebuah rumah kecil di dekat pelabuhan. Dari jendela yang terbuka, ia mendengar suara air dan nyanyian lembut yang berasal dari dalam. Rasa penasaran menguasai dirinya. Dengan hati-hati, ia mendekati jendela itu dan mengintip ke dalam.
------------> Bersambung
Seraphine menyerahkan sebuah alat pendeteksi sinyal. "Bisa jadi mereka planting bukti palsu. Berarti kita harus ekstra hati-hati. Dan jika tokoh penting Jepang terbunuh lalu sidik jari kita di TKP…."Naomi menyelesaikan kalimat, "…maka perang meletus, dan The Heptagon dianggap teroris internasional. Benar-benar setan rencana ini."Melissa membuang napas berat. "Ya Tuhan, ini sudah masuk level 'perang bayangan' global. Satu langkah salah, kita bakar dunia."Thomas menggenggam sandaran kursi speedboat kuat-kuat. Dalam benaknya, ia ingat kata-kata Murphy waktu perpisahan: "Kau jangan terluka," tapi ternyata taruhannya bukan cuma dirinya ada potensi malapetaka global.Mereka melirik ke depan speedboat memperlambat laju, cahaya lampu kota Tokyo mulai tampak di kejauhan, bagai gugusan permata di malam kelam. Mereka siap merapat.Thomas menatap wajah rekan-rekannya satu per satu. Sadar bahwa situasi jauh di atas dugaan semula. Bukan saja ada senjata biologis, tetapi juga fitnah internasional
Pesawat menembus batas malam, dan menurut pilot, dalam beberapa jam mereka akan mendarat di pangkalan rahasia dekat perairan Jepang. Dari sana, Tim Thomas bergeser dengan transportasi khusus menuju Tokyo. Suasana kabin masih senyap, sampai akhirnya Thomas mengumpulkan semua orang untuk penjelasan final."Kalian semua lihat pesan tak dikenal tadi. Ini menegaskan apa yang sudah disampaikan Chief Intel: ancaman kita lebih besar daripada sekadar senjata biologis di Tokyo. Tujuan musuh adalah memecah belah The Heptagon, memancing perang global. Apa pun maksudnya, kita harus membuat langkah awal menggagalkan mereka."Alex: "Ini tanggung jawab besar. Kita tim kecil, tapi di pundak kita nasib The Heptagon dan mungkin kestabilan dunia."Diego: "Heh, biasanya aku suka tantangan, tapi ini gila juga. Baiklah, kita lakukan yang terbaik."Flynn: "Kita harap Markas masih solid. Semoga The Line 51 dan Chief Intel bukan bagian dari faksi jahat. Kita benar-benar tak tahu siapa yang bisa dipercaya."Nao
Tim Thomas terbang menuju cakrawala malam, memikul beban besar. Jejak pengkhianat masih samar, siap menikam dari belakang kapan saja, sedangkan rencana operasi Tokyo yang berani kini menanti di depan mata."Jika kami berhasil, The Heptagon selamat dari kehancuran internal dan ancaman global. Jika gagal, segalanya mungkin runtuh," demikian Thomas membatin, menatap langit luas melalui jendela kabin.Pesawat pun melaju stabil, membawa harapan dan kecemasan menuju fase misi berikutnya.Pesawat The Heptagon yang membawa Thomas dan tim (Alex, Diego, Flynn, Melissa, Seraphine, Naomi) telah mengudara meninggalkan Pulau Buatan di Samudra Pasifik. Malam menebar keheningan, hanya deru mesin terdengar di kabin. Cahaya panel navigasi menerangi wajah-wajah tegang mereka.Thomas duduk dekat jendela, menatap gelapnya bentang laut di bawah sana. Pikirannya berkutat pada pengkhianat yang belum terungkap dan potensi bencana di Tokyo.Alex sibuk dengan tablet, mencoba menyusun kalimat-kalimat diplomasi d
Flynn menyalakan cahaya senter dari ponselnya. "Mustahil. Pulau ini punya generator cadangan. Ada yang tidak beres."Beberapa detik kemudian, lampu darurat berwarna merah menyala di atap, menerangi ruangan dengan cahaya suram. Terdengar suara peringatan lewat speaker:"Awas, gangguan sistem. Bukan latihan. Awas, gangguan sistem."Thomas langsung memerintahkan, "Alex, cek dengan Pusat Kontrol. Naomi, Melissa, cek koridor. Pastikan kita aman."Naomi & Melissa bergerak cepat ke pintu, sedangkan Seraphine menjaga laptop-laptop. "Flynn, coba cari tahu di jalur internal, apa yang terjadi?" perintah Thomas.Flynn duduk memantau tablet. "Aku melihat kesalahan jaringan. Seseorang memaksa down sistem kelistrikan dan menonaktifkan beberapa server. Bagian dari sabotase, mungkin?"Thomas memaki pelan. "Inilah si pengkhianat bergerak. Tujuan mereka mungkin memicu kekacauan sehingga kita tak bisa berangkat."Naomi kembali, napas terengah. "Lorong-lorong gelap. Baru saja kulihat dua agen keamanan ber
Kazuhito melanjutkan, "Kalian akan diantar dengan pesawat khusus Heptagon ke dekat perairan Jepang. Dari sana, mungkin beralih ke kapal selam mini atau perahu cepat untuk menyusup. Detailnya masih dirumuskan Chief Intel keamanan harus dijamin agar tak terendus. Apalagi kabarnya media Jepang cukup sensitif dengan kapal asing."Thomas memberanikan diri bertanya, "Apakah ada kabar lain soal kebocoran data atau pelaku di dalam, Pak?"Kazuhito menggeleng. "Belum ada perkembangan signifikan. Karena itulah, kupikir lebih baik kalian segera keluar dari markas ini. Semakin lama di sini, semakin besar peluang pengkhianat melakukan sabotase. Lebih baik kalian bergerak cepat sebelum musuh menyesuaikan rencana."Sebuah keputusan pahit tapi logis: berlari dari ancaman internal dengan menyelesaikan misi di luar. Thomas memahami maksudnya. "Dimengerti, Pak. Kami akan bersiap."Kazuhito menatap setiap anggota tim. "Ingat, jika kalian gagal, tak hanya karir yang tamat, nyawa kalian pun terancam. The He
Melissa, sang sniper yang selalu tampak berwibawa, menyilangkan lengan. "Setuju. Kita pun tak sempat menggelar investigasi total. Waktu kita untuk operasi Tokyo mepet. Barangkali kita harus berhati-hati di lapangan, siap kalau-kalau ada sabotaase."Thomas menyadari kebenaran itu. "Baik. Flynn, lanjutkan pencarian. Kita sisakan satu atau dua jam lagi untuk menggali data. Alex, tolong cek catatan agen-agen lelaki tinggi atau agen wanita tinggi? Kita tak mau mendiskriminasi. Bisa saja wanita, kan?"Alex mengetik di ponselnya. "Oke, kubuat listing. Tapi pasti panjang.""Tak apa. Minimal kita lakukan penyempitan," timpal Thomas. "Sekarang, mari kita bahas rencana operasi lapangan. Mungkin kita akan ubah detail, agar kalaupun data bocor, musuh tak menebak langkah kita."Semua orang menyiapkan catatan dan peta. Rapat ini berlanjut ke topik berikutnya poin 6: Rencana Operasi Lapangan dengan kesadaran bahwa seorang "musuh di dalam selimut" masih bersembunyi di antara mereka, siap menghancurkan







