Dahlia Adams grew up in an orphanage where no one wanted to be her friend. She was sent out as soon as she clocked eighteen to go fend for herself. While working in a high-end cafe, she met Andrew Caine who offered her a contract to marry his son for a year and get a huge amount of money which she needed. The contract ended with Dahlia in love with the husband that hated her. She fell pregnant for him but he had no idea when the night happened so she kept it a secret. Now five years later she’s become a ruthless CEO of her own company and topping to rival Caines Multinationals. Things escalated as secrets upon secrets began to emerge from underground. Dahlia wasn’t a little girl anymore though. She knows what she wants and that is not Ethan Caines affection. “Let me love you. Please give me another chance to make us work.” Ethan beseeched, his eyes so soft she’s never seen them like that. “I don’t need your love, Mr. Caine. Thanks for the offer though. Have a nice day.”
Lihat lebih banyakAKU DI ANTARA KALIAN
- Aku Tidak Pulang Author's POV "Aku nggak pulang malam ini?" ucap Manggala tanpa menoleh pada perempuan yang sedang sibuk mencuci botol susu di kitchen sink. "Kiara ...." "Iya. Aku sudah dengar," jawab Kiara seraya meniriskan botol di wadah dekat rak piring. Ia pun tanpa menoleh pada sang suami. "Nanti kalau ibu datang bertanya, bilang aku ke Surabaya." Kiara mengangguk. Kemudian sibuk mengambil piring di rak lantas menatanya di atas meja makan. Sedangkan Manggala yang baru saja duduk, merogoh ponselnya di saku celana. Pria itu lantas bangkit menerima telepon di teras samping. Setiap menerima telepon dari wanita itu, Manggala selalu menjauh darinya. Entah demi menjaga perasaannya atau memang tidak ingin perbincangan dengan istrinya di sana, didengar Kiara. Istrinya? Ya. Manggala menikahi kekasih hatinya tiga bulan yang lalu. Kiara ini Perempuan yang ditinggalkan sang kakak dalam keadaan hamil dua bulan. Dan kedua orang tua Manggala memaksa sang putra untuk menikahi gadis malang yang telah ternoda. Kiara menarik napas dalam-dalam. Menghalau sesak yang meremas dada. Kemudian tergesa masuk kamar saat bayi lelakinya terbangun dan menangis. Digendongnya bocah umur enam belas bulan itu, lalu kembali ke belakang membuat susu. "Aku pergi kali ini agak lama." Manggala masuk dan kembali bicara. Kiara hanya menjawab dengan anggukan kepala. "Kalau ayah atau ibu datang bertanya, bilang aku sedang ngurusi pekerjaan di Surabaya." Kembali Kiara hanya mengangguk. Ingin rasanya dia bilang, cerai saja. Pernikahan ini menyakiti Manggala. Dia harus bertanggungjawab terhadap perbuatan kakaknya yang sekarang menghilang tanpa kabar berita. Tidak hanya Manggala, dirinya juga sakit. Berharap mendapatkan obat setelah ditinggal, nyatanya dia harus merasakan luka yang berbeda. Manggala sudah rela menutupi aibnya, sampai siapapun tidak ada yang tahu kalau anak yang dilahirkan Kiara sebenarnya anak Narendra. Sebagai balasan, Kiara menutupi pernikahan kedua Manggala dari keluarga mereka. Tiga bulan, ia selalu berbohong pada sang mertua yang menanyakan Manggala pergi ke mana. Kenapa sampai berhari-hari. Padahal pekerjaan pria itu ada di kota kecil mereka. Setelah kakaknya minggat, Manggala yang mengambil alih usaha keluarganya. Padahal sebenarnya dia mendapatkan tawaran pekerjaan yang menjanjikan dan beasiswa untuk melanjutkan S3 di luar negeri. Mimpi pria itu pupus. Manggala makan dengan cepat. Sedangkan Kiara masih sibuk memberikan susu pada Arsha sambil melayani perasaan yang amat menyesakkan. "Aku pergi dulu." Manggala berdiri sambil meraih ponselnya di atas meja. Mendengar suara ayahnya, Arsha langsung menoleh dan minta duduk. Bayi itu memandang Manggala. Kemudian merengek minta gendong sambil mengulurkan tangan. "Ayah buru-buru. Arsha, sama ibu saja." Kiara langsung menggendong anaknya ke belakang. Menghentikan langkah Manggala yang hendak mendekat. "Pergilah, Mas. Kalau ibu tanya, aku tahu harus menjawab apa," teriak Kiara dari belakang, disela tangisan Arsha yang merengek ingin ikut ayahnya. Yang Arsha tahu, Manggala adalah ayahnya. Tak terasa air mata merambat di pipi Kiara. Ia menyeka air mata anaknya, juga menyeka air matanya sendiri. Setelah mobil Manggala terdengar meninggalkan rumah, Kiara kembali ke dalam. Melepaskan gendongan, menaruh Arsha si lantai dan memberinya mainan. "Arsha nggak usah cengeng ya. Nggak boleh nakal juga. Nggak usah rewel. Ingat, Arsha hanya punya ibu. Dan ibu hanya punya Arsha." Kiara bicara seraya mengambil nasi untuk menyuapi anaknya. Mata wanita itu masih memerah. Sedangkan Arsha terus bermain, karena tidak mengerti dengan apa yang dikatakan ibunya. "Kapan ya kita punya uang yang banyak, Ar? Kita bisa pergi jauh." Sambil menyuapi anaknya, Kiara kembali bicara. Tangis yang terhenti tadi, kini tumpah kembali. Isaknya membuat Arsha kebingungan dan ikut menangis lagi. Bocah itu berdiri dan memeluk ibunya. Dia tidak paham ibunya bicara apa, tapi dia takut melihat Kiara yang terisak. Buru-buru Kiara mengusap air mata dan menenangkan sang anak. "Jangan nangis. Bukankah kita harus kuat. Kamu yang membuat ibu kuat, Arsha. Yuk, sarapan lagi. Setelah itu mandi dan kita jalan-jalan." Disela sesaknya dada, Kiara tersenyum memandang sang anak yang sudah terdiam. Namun pikirannya berlari pada kenangan tiga bulan yang lalu, ketika Manggala mengajaknya bicara serius tentang rencananya menikahi Nada. "Kita bisa bercerai secara baik-baik. Ayah dan ibu pasti mengerti." Kiara memberikan pilihan meski sebenarnya sangat berat. Bercerai sungguh tak mudah baginya. "Kalau cerai, siapa yang akan nanggung hidup kamu dan Arsha? Kamu akan pulang ke mana?" Hening. Ya, dia akan pulang ke mana. Kedua orang tuanya meninggal ketika pandemi melanda. Kakak perempuannya juga. Yang selamat hanya dirinya dan kakak ipar yang kini entah tinggal di mana. Mungkin sudah menikah lagi. Ayah Kiara seorang pegawai puskesmas, ibunya bidan, sang kakak juga perawat. Mereka sebenarnya keluarga yang cukup mampu. Namun setelah ketiga keluarganya tiada, Kiara bukan siapa-siapa. Dia melanjutkan kuliah dengan perjuangan sendiri. Lulus dengan pencapaian terbaik. Tapi sepintar dan secerdas apapun, kalau tidak bisa menjaga diri, hancurlah semuanya. Ijazah sudah tak bermakna. Tidak punya pilihan terpaksa ia menerima hidup dimadu. Namun belum pernah sekali saja Kiara bertemu wanita bernama Nada itu. Wajahnya seperti apa, ia pun belum pernah melihat fotonya. Ah, pasti cantik. Dia gadis kota. Kiara bangkit dari duduknya ketika mendengar suara deru mobil berhenti di depan. Digendongnya sang anak untuk melihat siapa yang datang. Ternyata Ibu mertuanya yang di antar sopir. Dibukanya pintu dan mencium tangan wanita itu. "Gala mana? Kenapa di telepon nggak bisa?" "Barusan keluar, Bu. Ke Surabaya untuk beberapa hari." "Kenapa nggak pamit ke rumah. Padahal besok Pak Syarifuddin mau datang untuk membicarakan kontrak kerjasama. Kamu telepon dia, Ki. Kasih tahu suruh pulang dulu." Kiara mengangguk. "Untuk apa sih dia ke Surabaya?" "Urusan pekerjaan, Bu." Kiara menjawab tanpa berani memandang sang mertua. Dahi wanita itu mengernyit tajam. Pekerjaan apa? Apa Manggala ada bisnis baru. Tapi kenapa tidak memberitahu. Bu Puri meraih Arsha dan menggendongnya. Bercanda sebentar dengan sang cucu, lalu pamit. "Ibu mau belanja. Nanti jangan lupa telepon Gala." "Iya, Bu." Setelah ibu mertuanya pergi, Kiara mengunci pintu. Apa dia harus menyampaikan amanah mertuanya? Sedangkan Manggala sudah mewanti-wanti, agar tidak menghubunginya selagi sang suami pergi ke tempat Nada. Padahal dirinya bisa saja memberitahu lewat media sosialnya sang suami. Ia tahu sepenting apa kerjasama ini. Kiara diam dalam dilema. Manggala sudah berjasa, sudah menutupi aib, dan memberikan kehidupan untuk dirinya dan Arsha. Apa dia tega kalau sampai kerjasama ini gagal? Tapi .... Next .... Selamat membaca 🫶🏻As I stepped out of the small cottage I had been sharing with Aiden for the past three days, I made sure to check the clearing ahead of me. I couldn't risk another run-in with Ethan, not after what had happened the first night here. He had insisted on leaving the cottage with me a few times since then, suggesting we could "have some fun" together. But I knew better. I needed to keep things simple for Aiden's sake. I scanned the area once more, ensuring the beach was deserted. I kept Aiden close as we snuck out and made our way to the rented car. The whole time, he was smiling, his little face glowing with excitement, and my heart swelled with affection. He was the exact image of his father, down to the mischievous gleam in his blue eyes. We drove to a park not far from the cottage, where I had planned a picnic just for us. I wanted Aiden to enjoy every moment of this vacation, like I promised him. I had prepared a feast: sandwiches, apple slices, grapes, watermelon, baby carrot
Ethan’s POV I found myself lying in bed, caught in a relentless cycle of tossing and turning. Sleep had eluded me for several nights, my body unable to relax, my mind too full of thoughts that I stubbornly refused to confront. For days, I hadn't managed more than two hours of rest in a full twenty-four hours, and frustration gnawed at my nerves like a dull ache that wouldn't quit. I knew exactly why sleep was so hard to come by, but admitting it felt like surrender. After what felt like hours of staring at the ceiling, I finally gave up. I pushed myself out of bed, threw on some clothes, and headed out to the private beach that had drawn me to this secluded cottage in the first place. Earlier today, I had signed a business deal worth millions, the kind of deal that should’ve made me feel like I was on top of the world. But instead, I felt… nothing. Just empty. The ocean stretched out before me, endless and vast, but tonight, even its beauty couldn’t stir the excitement or peac
Dahlia’s POV As I settled everything into place, I extended my arms wide, letting myself be wrapped up in the sun's warmth. I hadn’t taken a vacation since I began my business journey all those years ago, but here I was, finally giving in to Aiden's relentless begging for a trip to Bali. I reclined on the secluded shore of the cottage I’d booked for the week, wearing a tasteful two-piece bikini. I’d made a firm decision: no phones, no work, nothing but time for Aiden. This week was just for us, a chance to be fully present, something I’d denied myself for far too long. Aiden maneuvered his way over to me, his head coming to rest gently against my chest. A soft smile tugged at my lips. I stroked my fingers through his dark brow hair—he had inherited that from his father—then kissed his forehead. Ethan had burned away any chance of romantic notions in me, leaving my heart scarred. My capacity for affection was nearly extinguished for everyone but my son. With Aiden, it was eff
Ethan’s POV I rake a hand through my hair, pacing the length of my office with an intensity that sends my employees scattering. They know better than to cross my path when I'm like this, when I'm barely keeping the fury in check. My nostrils flare as I wrestle with the questions spinning in my mind. Finally, I drop into my chair, the leather creaking under my weight as I replay the events of the morning. I can still see her, the woman from the elevator, the one who walked into that boardroom and fought for that contract until she won. That sickly sweet smile, those bland eyes, the negotiation skills that had me rooted in place. Dahlia. She would’ve been easy to defeat if I hadn’t wanted to watch her in action, if I hadn’t been so damn curious about how far she’s come, how she operates. I was turned on, completely fucking captivated. But that wasn’t the worst part. No, the worst part was realizing that the woman I’d been watching was my ex-wife. The woman who vanished five years
Dahlia’s POV Mr. Crowe looks completely bewildered, clearly unsure how to handle the situation unfolding before him. What does one say when two powerful forces collide over the future of your company? He takes a moment to regain his composure, then stands up and adjusts his suit with a nervous smile, clearly aware of the tension filling the room. I watch him closely, noting the slight quiver in his hand as he licks his lips. He's just realized he's holding a golden opportunity. I see it in his eyes: the gleam of a man who smells money and senses a rivalry he can exploit. Ethan and I have a history, and Crowe is clever enough to see it. He’s going to use it against us. Classic businessman… seize the advantage. “I’ve heard all your proposals,” Crowe begins, his voice settling into a more confident tone, “and they’re both compelling. I wouldn’t mind selling to either of you—your strategies are impressive.” He pauses, his eyes darting between us as the board members nod in agreeme
Dahlia’s POV "Yeah, make sure things are done properly. I’ve got the jewelry's backup on my other Mac," I say into the phone, my voice cool and commanding, cutting through any room for error. My assistant, who I've left back at the office, listens attentively as I lay out instructions, every word crisp and decisive. I'm aware of my chauffeur standing by the open door, waiting for me to step out, but I take my time. Two cars are stalled behind us, their drivers likely impatient, but I don't care. I won't be rushed by anyone, not even by the ticking clock of this meeting. I finish my call, my tone sharp, not even waiting for a reply before hanging up. A quick glance in the mirror, and I swipe on a fresh coat of red lipstick. It's time to get this over with. Today, I’m finally going to meet Ethan Caine after years of deliberately keeping my distance. I don’t know what to feel about it—anger, indifference, or maybe a hint of satisfaction. Whatever it is, I'll bury it deep. Nothin
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Komen