Tidak ada seorangpun yang lebih terkejut dibanding He Xian sendiri. Tak disangkanya, ia begitu berani menjatuhkan gulungan berisikan titah kaisar itu. Dan ia tahu dengan jelas, nasib apa yang dinantinya setelahnya kini. Tapi, ia sudah bertekad. Ini keputusannya, ia tidak boleh ragu lagi.
Ia mengambil gulungan tersebut, menepuk-nepuknya. “Saya rasa ada yang salah dengan isi gulungan ini. Saya akan terlebih dahulu menanyakannya kepada Yang Mulia Kaisar mengenai hal ini. Baiklah sementara ini begitu saja keputusannya.”
Kembali tercipta kesunyian. Semua orang di halaman luas tersebut kontan terbelalak. Min-Hwa kini menatap He Xian lekat-lekat. Ada sebersit sinar kagum terpancar dari bola matanya. Bibirnya melengkung ke atas. Ia tersenyum.
Namun tak lama, terdengar suara yang sangat janggal memecah kesunyian. Suara derap kaki kuda yang begitu cepat. Seisi lapangan menoleh, dan mendapati kejanggalan yang lebih telah muncul di hadapan mereka; Sederetan besar Pasukan Khanate.
Salah seorang yang kelihatannya adalah panglima pasukan menderap maju. “Pasukan Han! Kalian telah terkepung! Pula kalian telah kalah! Kami membawa 200,000 pasukan yang jauh lebih banyak dibanding pasukan kalian!”
Pasukan Khanate! He Xian membatin panik. Bagaimana mungkin mereka bisa menyerang pula tepat di saat begini! Ia buru-buru memberi komando, “Kalianlah yang tidak tahu keadaan! Kalian yang akan kalah!”
Namun, memang benar apa yang Panglima Khanate katakan. Pasukan mereka berjumlah jauh lebih banyak dari Han. He Xian terang tidak punya kesempatan menang dari mereka. Secepat kilat, Khanate berhasil membebaskan Seo-Yu beserta segenap pembesar Yeong-Shan, dan kini berbalik menawan He Xian dan para komandan Han.
Beberapa menit kemudian, Khanate menarik paksa mereka semua ke negerinya.
***
“Tak kusangka akan jadi begini, Tuan Menteri. Sekarang kita harus bagaimana?” Sersan Zhen bertanya risau.
He Xian mengangkat bahu, kemudian kembali melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat terpotong sesaat; memandangi samudera luas. Saat itu siang hari, langit cerah dengan awan-awan tebal menghiasi sudut tenggara langit. Nyaris tak ada angin hari itu.
Rasanya ia ingin tertawa. Betapa cepat nasib berubah. Tadinya masih ia yang menentukan nasib orang lain, sekarang nasibnya lah yang ditentukan orang lain. He Xian bertopang dagu. Mau bagaimanapun juga, ia rasa nasibnya akan kurang lebih sama. Ia telah menjatuhkan gulungan kaisar, manalagi mengatakan ada yang salah dengan isinya dan berniat mempertanyakannya pada kaisar. Melihat karakter Ming Shi, ia tidak yakin pemuda tersebut mau mengampuni nyawanya. Sama saja dengan nasibnya di Khanate.
“Kemenangan Khanate ini hanya sementara. Bagaimanapun, kekuatan Han jauh lebih besar. Begitu kabar ini sampai ke pemerintah pusat, maka Khanate akan habis.” Kebetulan saat itu ia melihat Sasha. “Benar begitu kan, Baginda Sasha?”
Sasha yang kelihatannya tengah bengong sangat terkejut mendengar pertanyaan He Xian. “Ya memang benar. Tidak butuh waktu lama bagi kita untuk segera bebas. Hanya saja jangan sampai pasukan Han baru datang ketika leher kita sudah dipenggal.”
Perjalanan menuju Khanate memakan waktu selama tiga hari. Dan saat mereka telah sampai di Khanate, matahari baru menyembul muncul di ufuk timur. He Xian rasanya sangat mengantuk. Ia menjalani instruksi dari pasukan Khanate dengan gontai dan tidak bertenaga. Sampai-sampai seorang prajurit Khanate bertubuh raksasa dan berwajah beringas melayangkan pukulan saking kesalnya ia melihat betapa gontainya pemuda itu.
Tapi walaupun He Xian sangat mengantuk, ia masih punya cukup tenaga untuk menepis serangan si prajurit Khanate. “Jangan kurang ajar berani main pukul kalau kepadaku! Aku bukan budak murahan! Dan aku bisa masuk kereta sendiri!” Balasan pukulannya membuat si prajurit mengaduh kesakitan.
Kesadaran He Xian baru terbuka sepenuhnya saat ia menyaksikan keadaan negeri Khanate. Menurut yang didengarnya selama ini, Khanate adalah sebuah negara yang sangat semrawut, lingkungan tidak terurus, dan para warga yang berwajah serta bertingkah laku seperti preman. Tetapi apa yang dilihatnya sekarang terbalik 180 derajat dengan itu semua. Jalan-jalan rapi terurus, rumah-rumah berdiri dengan indah disertai pepohonan yang rimbun. Para penduduk berpakaian rapi dan santun, pula wajah mereka bersih dan santun, tampak sangat bersahabat. Yang lebih mencegangkan adalah istananya. Sangat besar, sangat megah dan menawan. Para pengawal berbaris rapi dan teratur ketika menyambut mereka. Pintu gerbang yang sangat besar terbuka, mengangakan jalan masuk menuju lapangan istana yang luas.
Mereka pun akhirnya sampai di Istana Uur-Tsagan.
Dan yang lebih mencegangkan He Xian, Khan pemimpin Khanate telah berdiri menanti di depan pintu Istana.
He Xian tak dapat menahan keingintahuannya. Diamatinya pemimpin negeri Khanate tersebut. Serta merta, ia merasakan suatu keanehan. Rupa sang Khan memiliki garis-garis wajah yang mirip dengan Ming Shi. Apakah ini hanya sebuah kebetulan? Atau...
“Mantan Putera Mahkota Han Hao Shi! Ternyata, dia berhasil menjadi pemimpin negeri Khanate…” Di belakangnya, Letnan Xiang menggumam.
“Mantan Putera Mahkota Han Hao Shi?” He Xian balas berbisik. “Bukankah katanya dia telah diasingkan ke Chong Zhou karena berani menyulut kemarahan ayahnya? Bagaimana dia bisa berada di sini, sebagai Khan pula? Kau tidak salah, kan?”
“Tidak mungkin saya salah. Walaupun dulu saya masih menjabat sebagai letnan muda, tapi saya cukup sering melihat mantan putera mahkota itu. Bagaimanapun juga saya tak mengerti tapi mudah-mudahan ini tidak membuat nasib kita tambah buruk…”
Sementara itu, Hao Shi kini sibuk menjabat tangan Seo-Yu beserta para pembesar Yeong-Shan lainnya. “Saya senang, Anda semua selamat.”
Seo-Yu tersenyum. “Saya menghaturkan banyak terima kasih kepada Baginda. Pasukan Anda tiba tepat pada waktunya, dan berhasil membebaskan kami dari Han.”
“Hm. Ngomong-ngomong Han...” Pandangan Hao Shi beralih ke arah para pejabat Han. Mendadak, sorot matanya dipenuhi kebencian yang amat sangat. Kebencian yang, tampak sangat jelas, jauh lebih mengerikan dari kebencian biasa. “Budak-budak Ming Shi... walaupun aku tak bisa menangkap jahanam itu dengan tanganku sendiri sekarang, tetapi tak apa. Kalian sudah cukup.”
Ia menghunus pedang kebesarannya, dan dengan sekuat tenaga menghunjamkannya hingga menancap tanah. “Hukum mati seluruh pasukan Han!!!”
“Hukum mati seluruh pasukan Han!!! “Tunggu sebentar, Yang Mulia!” Seisi lapangan segera mengalihkan pandangan melihat yang barusan berteriak tersebut. Jenderal Park Min-Hwa. “Harap Yang Mulia tidak secara membabi buta mencabut nyawa seseorang. Saya lancang meminta, Yang Mulia mempertimbangkan secara matang baru memutuskan, mana yang pantas dihukum mati, dan mana yang tidak.” Suara Hao Shi keras menggelegar. “Mengampuni mereka?! Tidak mungkin! Aku tak bisa mengampuni siapapun yang bersedia, dan dengan senang hati mengikuti keinginan setan Ming Shi! Apalagi ketika mereka telah melakukan sesuatu yang begitu kejam” “Namun Yang Mulia, perlu Anda ingat. Ada juga pejabat Han yang tidak sungguh-sungguh bersedia mengikuti kemauan kaisarnya, mereka berlaku demikian hanya untuk kelangsungan hidup mereka. Dan, banyak juga pejabat Han yan
He Xian terhenyak. Pertanyaan ini benar-benar di luar dugaannya. “Tetapi Yang Mulia, keluarga dan kerabat saya masih di Ming... maksud saya...” “Itu gampang diatur. Aku akan mengabarkan pada Ming Shi bahwa aku menyanderamu sebagai tawanan. Kuberitahukan padamu, dan pada seluruh orang di ruangan ini.” Ia mengedarkan pandangannya ke arah pejabat Han lainnya. “Tujuanku bukanlah untuk saling menyerang dan menaklukkan seperti yang adikku lakukan selama ini. Aku hanya ingin membantu kalian untuk melepaskan diri menjadi masing-masing negara merdeka. Hanya sesederhana itu. Karena aku yakin, kalian semua, terutama yang merupakan bangsa taklukkan Han, merasakan sakit hati yang amat sangat melihat kenyataan negeri kalian dijajah, dan di beberapa sikon, bahkan diperlakukan semena-mena. Begitu bukan? Ya, tentu saja, karena aku sendiri sangat mengerti akan hal itu. Aku sendiri pernah menjadi korban atas ketamakan adikku itu. &n
Sungguh suatu kesalahan besar bagi Yan Xu bila ia mengira akan bahagia setelah menikah dengan Ming Shi. Dan ia sangat menyesal karena ia baru mengetahui kenyataan itu setelah mereka menikah. Dulu sang puteri selalu berpikir, seorang suami pastilah akan sangat menyayangi dan memperhatikan isterinya. Walau sebanyak apapun gundik yang dimilikinya, tetap saja sang suami tetap akan mencurahkan perhatian terbanyaknya ke isteri sahnya. Apalagi bayangan Yan Xu tentang Ming Shi pada mulanya adalah, pria itu bersedia menyelamatkannya, rela menghukum mati perdana menteri setianya hanya demi seorang puteri negeri bagian yang tentunya kurang berarti. Pikirnya, pastilah sang kaisar muda yang tampan dan mempesona ini begitu peduli dan memperhatikan wanita. Namun kenyataan berkata sangat pahit. Ming Shi benar-benar tidak menghargai wanita. Karena ia tidak pernah menghargai pernikahan dengan permaisurinya itu.
Sangat terpukul atas perlakuan Ming Shi terhadapnya, Yan Xu jatuh sakit. Selama dua hari ia menolak makanan dan obat-obatan yang didatangkan kepadanya. Para dayang dan kasim yang merawatnya sangat cemas. “Kami akan memanggil Yang Mulia Kaisar,” ujar mereka panik. Yan Xu menjawab parau. “Aku tidak mau melihat dia lagi, selamanya...” “Tetapi beliau harus tahu keadaan Anda!” “Jangan-jangan dia malah mengharapku mati, biar bisa bersama perempuan itu.” “Yang Mulia, Anda jangan berkata begitu. Mungkin saat itu beliau sedang khilaf. Hamba dengar, beliau memang tengah menghadapi masalah dengan pemerintahan...” Yan Xu membalikkan tubuhnya, terisak. Para dayang tertunduk lesu. Segala bujuk rayu mereka sia-sia belaka. Tetapi pada malam hari, sebuah kejutan yang tidak ak
Yan Xu berangkat ke Khanate saat pagi buta, kira-kira pukul 3 pagi, dengan menaiki kuda putih miliknya, disertai Fu-ling. Ming Shi turut mengantarnya, tetapi tidak terjadi percakapan yang berarti di antara mereka berdua. Malah boleh dibilang, mereka tidak bertegur sapa barang sedikitpun. Suasana saat itu sangatlah sunyi, dingin, dan menusuk. Kedua wanita itu akan melewati padang datar yang amat gersang dan berangin kencang menempuh perjalanan menuju Sainsbataar, Ibukota Khanate. Pakaian yang mereka kenakan sangatlah tipis dan tidak membantu sama sekali. Ming Shi memang telah mengatur supaya Yan Xu tampak seolah benar melarikan diri, makapula mereka tidak berani mengantar dari Chong Zhou dan hanya berhenti sampai belakang istana saja. Sungguh strategi yang sempurna, betapapun ini hanya menambah kesan buruk Yan Xu terhadap suaminya itu. Karena perjalanan itu memang sangat melelahkan, apalagi bagi Yan Xu yang sud
Hao Shi tak kalah terkejut mendengar berita menghebohkan tersebut. Dan, tepat sesuai dugaan Ming Shi, sang Khan Khanate begitu antusias menerima Yan Xu dan menganggap ini sebagai hukum karma, balasan atas perbuatan adiknya yang telah memanfaatkan isterinya untuk bersama-sama menjebaknya. Pria itu juga memperlakukan Yan Xu dengan begitu baiknya, dan ini hanya membuat rasa bersalah Yan Xu semakin besar. “Jangan terlalu ketakutan begitu, Dik. Kau sudah aman sekarang. Mau seberapa hebat pasukan adikku, ia tidak akan bisa menyerbu ke sini,” kata Hao Shi menenangkan. Bukan begitu, Yang Mulia. Aku merasa sangat risau karena sebentar lagi aku akan melakukan sebuah dosa, yang sangat besar... “Saya mengkhawatirkan keluarga saya yang masih ada di Ming tidak seharusnya saya meninggalkan mereka...” “Oh, untuk soal itu, jangan khawatir! Menteri Sun pun tengah berupay
Hao Shi mendekatkan wajahnya ke wajah Yan Xu. “Karena nyawa Ming Yan Cheng, Ibu Suri Yin, beserta segenap keluarga dan kerabatmu ada di dalam tanganku.” Yan Xu merogoh saku gaunnya, meraih pisau kecil berlumur racun itu, dan secepat kilat menusukkannya tepat ke dada kiri Hao Shi. Aku tak akan pernah jatuh cinta lagi pada laki-laki. Tak akan pernah! “Yan Xu. Kau...” Hao Shi terbeliak. Ia ingin mengucapkan rentetan kata-kata, namun rasa sakit yang amat sangat mencegahnya untuk itu. “Kau ternyata...” Yan Xu memandangnya dengan sedih. “Maafkan saya, Yang Mulia. Namun saya harus melakukan ini, atau kalau tidak keluarga dan kerabat saya di Ming akan kehilangan nyawa mereka.” Setitik air mata jatuh membasahi pipinya. “Anda orang yang benar-benar sangat baik, selamanya saya tidak akan melupakan kebaikan Anda. Orang yang baik seperti
Seo-Yu memandangi ketiga anaknya. Mereka terhimpit ujung pedang putih tajam itu, mereka dihimpit oleh dewa kematian. Air matanya jatuh semakin deras. Ia tidak punya pilihan lain. Ia hanya bisa membiarkan kewanitaannya diinjak-injak di sini, sekarang. “Hentikan!!!” Semua menoleh ke asal seruan itu, termasuk pula Ming Shi. Yan Xu-lah yang berseru. Dengan marah, ia memelototi suaminya, yang sangat tidak menyangka ia akan berani berseru di saat seperti ini. Karena kaget, Ming Shi tanpa sadar melonggarkan pelukannya. Yan Xu segera mengambil kesempatan ini. Ia mendorong Ming Shi dengan kasar, dan selanjutnya berjalan menjauh, meninggalkan aula dalam diam. Ming Shi terpana cukup lama dengan perlakuan isterinya, sampai ketika akhirnya ia mampu bicara kembali. Ia menarik pedangnya dan memasukkannya lagi ke sarung di pinggangnya. “Pakai kembali baju kalian!