Share

Chapter 16

     Pagi-pagi sekali, peperangan telah dimulai. Matahari masih belum sepenuhnya bangkit di ufuk timur. Namun kedua pihak, Han dan Yeong-Shan, telah menyiapkan angkatan militer yang serba canggih dan kini siap berhadapan satu sama lain. Ratusan ribu prajurit berjejer menunggu aba-aba, dan begitu tambur dibunyikan, mereka pun segera berlari menyerang.

     Pertempuran terjadi begitu dashyatnya selama seminggu lamanya. Karena bagaimanapun Yeong-Shan telah kalah, baik secara jumlah, maupun kualitas prajurit serta teknologi senjata. Han menggilas mereka semua dan menekannya sampai ke ibukota Jeong-Neon.

     Pasukan Han segera berhasil memasuki ibukota Jeong-Neon. Mereka berlari dengan sangat cepat, dan tepat ke arah Istana Hwa-Soon. Hanya dalam waktu kurang lebih lima belas menit, Istana Hwa-Soon telah berada dalam kepungan erat Pasukan Han.

***

     Seo-Yu memandang Ryu-Na. “Masih belum ada kabar dari Khanate?”

     “Belum Kakak,” Ryu-Na menggeleng.

     Pada saat itulah, Min-Hwa dalam keadaan kotor, berantakan serta berbercak darah, menderu memauki ruangan. “Yang Mulia! Han berhasil menguasai istana!”

     Rasanya Seo-Yu nyaris pingsan mendengar kabar buruk tersebut. Ia harus berpegangan pada salah satu sisi meja agar tidak terjatuh. “Ini lebih cepat dari dugaan kita...”

     Seorang prajurit Han  bangsa Tukhestan - menerobos masuk. “Panglima memerintahkan Ratu Seo-Yu, Perdana Menteri Ryu-Na, para puteri dan pangeran beserta pejabat-pejabat penting yang ada di istana ini segera keluar ke aula.”

     Tidak punya pilihan lain, mereka semua  Ryu-Na harus memapah kakaknya yang terpukul  keluar menuju halaman utama istana. Di sana pasukan Han telah mendatangkan para pejabat Yeong-Shan lain yang tadinya tidak berada di istana. Dan setelah semua pembesar Yeong-Shan lengkap berkumpul, He Xian selaku panglima tertinggi Han akan membacakan titah Kaisar yang selanjutnya menentukan nasib mereka. Pemuda itu memandang Ratu Seo-Yu diiringi para bangsawan Yeong-Shan lain digiring ke arahnya. Sang ratu yang semestinya tampak cantik kini begitu kuyu, terpukul, dan menderita. Putera-puterinya berada di sampingnya. Mereka semua masih sangat kecil, yang paling besar saja berusia tidak lebih dari empat tahun. Wajah kanak-kanak mereka dipenuhi mimik takut dan ngeri. Menopang mereka semua, Perdana Menteri Ryu-Na mencoba bersikap tegar. Namun He Xian tahu gadis itu sebetulnya tengah menyembunyikan kecemasan yang tak kalah besar dengan tawanan lainnya. 

     Memandang mereka semua, He Xian merasakan gelombang deja-vu yang tiba-tiba saja menariknya menembus masa silam. Saat posisinya masih sama dengan mereka, sebagai tawanan dari negeri kalah perang. Saat ia begitu galau akan nasibnya dan masa depannya. Saat ia begitu membenci orang-orang yang telah menghancurkan negerinya, dan segala impiannya. Dan saat itu, ia tak bisa berbuat apa-apa, kecuali mengobarkan perlawanan kecil dengan hasil akhir yang begitu mematikan. Ia bahkan tidak bisa mencegah dewa kematian merenggut sang guru, Perdana Menteri Zhan.

     Dan sekarang, nasibnya berbalik, menjadi algojo atas nyawa orang-orang malang itu.

     He Xian membuka gulungan lembaran keemasan itu, “Saya akan membacakan titah Kaisar Han Wen Xing.”

     “Semua diam! Jangan ada yang bicara lagi! Kami akan membacakan titah Kaisar Han Wen Xing!”

     Bentakan Jenderal Wei saat menaklukkan negeri Ming secara mendadak bergaung di telinganya. Berusaha menepis kenangan buruk itu, He Xian memandang Seo-Yu dan keluarganya. Sosok mereka yang menyedihkan tidak membantu sama sekali, jadi ia memutuskan untuk memusatkan perhatian pada apa yang akan ia bacakan. 

     Tapi sedetik kemudian, ia merasakan tenggorokan tercekat. Perintah-perintah Ming Shi begitu... Ia tidak yakin ia akan sanggup membacanya.

     “Ratu Seo-Yu akan diangkat menjadi selir Penasihat Wang”

     “Puteri Ming Yan Xu, akan diangkat menjadi selir Perdana Menteri Kang.”

     Terdengar jerit histeris. Seo-Yu dan Ryu-Na saling berpelukan, keduanya menangis. Mati-matian, He Xian berusaha melanjutkan, “Perdana Menteri Ryu-Na diangkat menjadi selir Sekretaris Li.”

     Isak tangis terdengar semakin menjadi-jadi. He Xian menggigit bibirnya, bagaimanapun ia harus membacakan dekrit yang ketiga. Matanya terbelalak lebar seakan nyaris tidak mempercayai isinya. Bibirnya gemetar. Bagaimanapun, ia tidak bisa membacakan dekrit tersebut.

     Karena isinya adalah; Jenderal Min-Hwa diangkat menjadi selir Menteri Sun He Xian.

     “Ini gila!” Bangkit berdiri, Min-Hwa berseru frustrasi. “Kau kan lihat sendiri, Yang Mulia Ratu sudah menikah, bahkan sudah memiliki tiga orang anak! Bagaimana mungkin beliau menjadi gundik orang lain! Bagaimana dengan putera-puterinya?!?”

     “Mengenai itu... mereka terpaksa harus menjalani hukuman mati”

     “TIDAK!!!” Tiba-tiba Seo-Yu jatuh bersimpuh. Ia merangkul ketiga anaknya, pun menatap He Xian dengan amat memelas. Air mata bercucuran membasahi wajahnya. “Kumohon ampunilah anak-anakku! Kalian boleh menjadikanku selir, dayang, pelayan bahkan budak sekalipun atau menghukum mati aku! Tapi kumohon. Ampunilah mereka!”

      “TIDAK!!! Ampunilah Puteriku, dia baru lima belas tahun! Kalian boleh membunuhku, tapi jangan ambil puteriku!...”

     Ryu-Na ikut berseru. “Tuan Menteri, tidakkah Anda melihat mereka masih begitu kecil?!? Puteri mahkota yang paling besar saja hanya berusia empat tahun!” Ia ikut menjatuhkan diri, dan kini merangkak ke hadapan He Xian, “Nyawaku pun turut kuberikan padamu! Tapi aku mohon, bebaskanlah keponakanku!”

     Seo-Yu histeris. “Ryu-Na bodoh! Jangan membuang nyawamu sia-sia! Kau masih belum menikah!”

     “Tidak apa, Kak! Aku rela mati! Aku rela mati demi kalian!”

      “Kalian manusia keparat! Baik tuan dan anjingnya semua sama saja, tidak berperikemanusiaan! Hari ini, aku Sun He Xian, bersumpah akan membuat perhitungan dengan kalian!”

     “Tuan Sun,” Min-Hwa menjatuhkan dirinya. “Aku juga ikut memohon padamu.”

     Sementara itu, melihat orang-orang dewasa di dekatnya menangis tiada henti, anak-anak kecil tersebut juga mulai menangis. Bahkan Puteri Mahkota mengucapkan sesuatu yang sungguh membuat hati terenyuh, “Ibunda, jangan menangis! Seo-Nal tahu salah, Seo-Nal tidak akan berbuat salah lagi! Ibunda jangan menangis gara-gara Seo-Nal!”

     “Berjanjilah bahwa, di manapun kau berada nantinya, kau akan selalu mendedikasikan dirimu untuk kebenaran dan kebaikan, dan bukan untuk egomu sendiri.”

     He Xian merasakan genggaman tangannya melonggar. Seketika lembaran titah Kaisar terjatuh ke lantai. Semua orang lantas memandangnya, terpana. Kesunyian itu berlangsung cukup lama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status