Mas Rafiq sangat terkejut mendapat perlakuan yang tidak terduga dariku, begitupun aku yang sangat murka dengan tingkah lakunya yang kekanak-kanakan.
"Aku tidak sengaja melakukan itu Jannah?" "Kau harus menemukan cincinku, kau tidak berhak melepasnya dariku!" jeritku marah. "Aku sangat minta maaf, aku tidak bermaksud membuangnya." "Meski kau tidak bermaksud membuangnya, bahkan menyentuhku pun kau tidak berhak Rafiq!kau tahu sendiri bahwa saat ini aku akan menjadi istri orang lain kenapa kamu masih nekat untuk memaksa aku!" "Kemarin-kemarin kamu masih baik padaku, ada apa denganmu sekarang Jannah?" Ucapnya sambil menelan ludah dengan wajah yang sedih sementara rintik hujan mulai berjatuhan dan membasahi rambutnya. "Aku tidak suka caramu yang memaksaku? Aku benci cara jahat ini." "Aku akan mengganti cincinmu," ujarnya sambil berusaha menghampiri dan memegang tanganku. "Singkirkan tanganmu dariku, Aku muak, meski kau mencarinya mustahil menemukan cincin itu dalam selokan drainase," timpalku marah. "Aku akan mencarinya untukmu, tapi maafkanlah aku," pintanya. "Aku tidak mau tahu, kau harus mendapatkannya." "Aku akan memanggil petugas kebersihan sekarang juga dan memindai di mana cincinmu berada, tapi mohon berikan aku kesempatan untuk bisa berbaikan." "Jangan harap aku akan kembali dalam pelukanmu Rafiq," desisku mendelik sementara air mataku mengalir begitu saja kecewa dan kesal karena cincin itu adalah pemberian Wira dan mungkin dia akan kecewa jika mengetahui bahwa benda itu hilang. "Jannah, ada apa kamu Nduk?" Tiba tiba ibu datang dan mendapati kami yang sedang bertengkar. "Mas Rafiq sedang membicarakan sesuatu denganku, Bu." "Tapi tadi ibu dengar suara teriakan," ujar Ibu sambil memperhatikan kami berdua. "Tidak juga Bu, ayo kita masuk," ajakku sambil merangkul Ibu. "Nak Rafiq gak diajak Masuk?" "Gak usah, dia mau pulang." Aku mengajak ibu masuk lalu menutup gerbang besi tua yang sudah berdiri sejak aku kecil. Pria itu menatapku dengan tatapan sendu, aku tahu dia merasa bersalah karena telah menghilangkan cincin yang jadi pengikat antara aku dan Wira yang tentu saja harganya sangat mahal. Bukan tentang mahal yang dia khawatirkan, tapi tentang kemurkaaanku yang akan sulit dia redakan. Mungkin akhirnya dia akan menyadari bahwa kami memang susah tidak bersama. Aku tak mampu membuka hati untuknya lagi. "Bunda ... Aku dengar Bunda akan menikah dengan Om Wira?" "Iya, tapi itupun kalo kamu boleh Bunda nikah dengan Om Wira." "Kenapa dengan Om Rafiq?" Oh, tentu saja aku tahu dia akan menanyakan hal ini. Baginya Mas Rafiq adalah pengganti Mas Ikbal yang ideal, juga dia adalah ayah kandung Rayan, dia ingin adiknya berbahagia bersama kedua orang tua kandungnya yaitu Mas Rafiq dan aku. "Dengar Sayang," bisikku sambil meraih jemarinya, " ada hal yang sulit dijelaskan, aku dan Om Rafi sulit untuk bersatu dalam pernikahan lagi, Bunda tidak lagi mencintainya, dan sulit bagi bunda untuk bisa mempercayainya." "Kenapa Bunda tidak memberi kesempatan?" "Karena Bunda takut semua kejadian itu akan terulang." Gadis cantikku yang sedang berada di kelas 4 SD nampak menghela nafas lalu melepaskan pegangan tanganku. "Kenapa Nak, apakah kamu keberatan?" "Aku juga takut kalau Om Wira bukan ayah yang baik untuk aku dan adikku?" "Kenapa bisa takut?" "Orang yang kita kenal dalam waktu lama saja bisa membuat kita sedih apalagi orang yang baru Bunda," ujarnya lirih. Aku tak percaya bahwa Raisa Putri kecilku sudah tumbuh dan dia menjadi sedewasa ini pikirannya. Kalimatnya membuatku terkesiap. "Jadi ... Gimana, Nak?" "Bunda nikah aja sama orang yang Bunda suka, aku tidak melarang," ujarnya sambil membalikkan badan dan merebahkan diri di pembaringannya. "Tapi bunda menangkap kalo kamu ragu, Bunda tidak akan melakukan apa yang membuatmu tidak suka." "Kalau Bunda sulit percaya kepada Om Rafiq, maka aku pun sulit ke percaya kepada Om Wira." "Dia pria yang baik kok," sanggahku. "Dia baik bagi Bunda, tapi belum tentu bagi kami berdua. Jika Bunda tetap ingin menikah, ya menikahlah, tapi aku dan adik akan tetap tinggal dengan nenek." Dari nada bicaranya aku tahu jika Raisa tidak setuju dengan pernikahan ini. Dia bahkan menolak untuk tinggal bersamaku, dan itu akan membuat hatiku sedih dan teriris-iris. Tujuanku membangun rumah tangga untuk membahagiakan keluarga kecilku, namun jika kedua anakku tidak bahagia, untuk apa aku melakukan semua ini. Mengesampingkan kebahagiaan sendiri mungkin adalah hal yang masuk akal saat ini, jika ada hal yang membuat Rayan dan Raisa tidak bahagia, maka aku harus menghindarinya. "Kalau begitu, Bunda tidak akan menikah dengan siapa pun kalau Raisa Tidak setuju," bisikku sambil membelai kepalanya. "Kenapa?" Putriku membalikkan badannya. "Bunda hanya ingin kalian bahagia." "Tapi Bunda yang jadi sedih," balasnya ragu. "Tidak. Bunda tidak sedih kok." Aku menyanggah dugaannya. "Tadi ketika Om Wira datang dan bicara dengan kakek, Bunda sangat bahagia dan terus tersenyum, sekarang setelah Bunda terkena hujan dan mengganti pakaian kenapa Bunda berubah pikiran?" Rupanya ia menyimak semua gerak-gerikku. "Bunda hanya meminta pendapatmu,dan apa yang menurutmu tidak boleh maka tidak akan Bunda lakukan. "Bunda boleh kok menikah,tapi untuk sementara aku tidak ingin serumah dulu dengan suami baru Bunda." "Tapi nenek akan kesulitan mengurus kamu, dia sudah tua dan mulai mengeluh sakit sakit," balasku. "Aku Janji tidak akan merepotkan nenek." "Entahlah, Nak, Bunda jadi bimbang. Tapi kamu istirahat aja ya, tidur, karena besok harus ke sekolah lagi," ujarku sambil mengecup pipinya. ** Kicau burung di pagi ini terasa berbeda dari sebelumnya, atau sinar mentari yang lebih hangat dan memicu semangat, sebuah gairah baru untuk bangkit dan membenahi diri. "Sebaiknya kamu tetap di sini Nduk, jangan pulang dulu ke rumah kamu, sampai keadaan tenang dan hari pernikahan kalian dekat." "Mungkin masih lama Bu, Wira juga harus meyakinkan kedua orang tuanya." Balasku sambil menuangkan susu hangat untuk Raisa sarapan. Tak lama kemudian Bapak dan kedua anakku bergabung dan kami menikmati sarapan dengan ceria. "Kalau tidak salah semalam Bapak melihat sebuah cincin biru di jarimu," uja r bapak sambil mengernyit dan melihat tanganku. "Oh, itu, anu ... Aku menyimpannya Pak karena itu adalah cincin mahal." "Tapi cincin itu adalah pengikat dan simbol bahwa orang lain tidak boleh mendekatimu lagi." "Ah, tidak apa, Pak." Aku tertawa getir, " aku akan membenahi kedua anakku dan mengemasi barang, karena aku berencana untuk kembali ke rumah." "Meski rumah kalian tidak terlalu jauh dan ada di perbatasan kota ini, tetap saja Bapak khawatir dengan keamanan kalian." "Aku juga punya pembantu dan sopir yang akan menjaga rumah, Pak," jawabku sambil menyentuh ujung tangannya. "Kamu yakin mau pulang?" "Iya." "Apa karena kau ingin leluasa bertemu dengan calon suamimu?" "Ti-tidak, Pak." Aku melirik orang tuaku dan kedua anakku bergantian dengan salah tingkah.Aku hanya malu kepada Raisa dan mencoba untuk mengalihkan pikiran anakku bahwa aku tidak mungkin melakukan hal demikian. "Lalu?" "Hanya mau lebih dekat dengan toko aja Pak, lagipula minggu-minggu ini pesanan pelanggan semakin melonjak," balasku. "Baiklah, tak apa jika itu yang kamu mau, tapi tetap telepon Bapak," ujarnya sambil mengesap kopi. Setelah mengemasi barang dan memakaikan Raisa seragam karena aku akan langsung mengantarkannya ke sekolah, sekaligus kembali ke rumah, akhirnya aku berpamitan Pada Bapak dan Ibu kemudian langsung meluncur pulang. Rupanya di jalan aku berpapasan dengan mobil Wira dan tentu saja mobil itu memutar arah dan mengikutiku dari belakang. Kuhentikan mobil di depan gerbang sekolah Raisa lalu menurunkan putriku, ternyata Wira pun ikut turun lalu menyapa kami. "Hai Raisa, hai Rayan," sapanya pada balitaku yang sedang duduk di jok depan. "Hai, Om," balas Raisa tanpa ekspresi. " Tadinya Om Wira ingin menjemputmu ke tempat kakek dan mengantarmu ke toko buku terbaru dan membeli sebuah note yang sampulnya bisa menyala." Wira terihat antusias. "Gak usah Om, aku udah punya," balas Raisa tanpa mau menatap wajah Wira. Aku yang merasa tidak enak langsung tersenyum dan meminta Raisa untuk bersikap ramah kepada Wira. "Disalamin dong, Omnya, Kak," pintaku sementara anakku terlihat ragu tak bergeming di tempatnya. "Oh, gak apa, mungkin Raisa belum begitu kenal, gimana kalo kita makan dimsum siang nanti Raisa?" "Gak usah Om, aku ada les ekstra." "Oh, kalo malam?" "Aku belajar." "Baik, deh, kalo gitu om tunggu Raisa senggang aja," balasnya sambil berlutut di depan Raisa. "Aku masuk ya, Bunda," ujarnya sambil melambai kecil dan segera berlari masuk ke halaman sekolahnya. "Pelan-pelan, Nak," ujarku. "Jannah ... Raisa, aku tahu hatinya masih ragu dengan kehadiranku," ujarnya dengan tatapan menerawang. "Perlahan saja." Aku menyentuh bahunya sambil tersenyum dan dia juga membalasnya. "Oh ya, cincinmu mana?" Oh ... Astaga, apa yang harus aku katakan.Empat Minggu kemudian.Iring iringan pengantin terdengar penuh kesemarakan. Dari jarak seratus meter aku bisa menangkap suara tetabuhan rebana yang mengantar Mas Haris sekeluarga untuk meminang diriku, membawaku ke meja akad untuk disahkan sebagai istri, untuk diikat ke tali pernikahan yang akan kami jaga selamanya. Aku didudukkan di meja akad sambil membawa serta bayiku karena aku ingin semua orang tahu bahwa diri ini bukanlah seorang gadis, melainkan janda dengan satu anak di mana semua orang harus tahu dan menerima diri ini beserta dengan putraku. Sudah ku tanyakan pada mereka sebelumnya Kalau ada yang keberatan maka pernikahan ini tidak akan terjadi tapi alhamdulillah mereka semua merestui sehingga terjadilah akad yang detik ini sedang berlangsung."Bismillah, Haris Aditya Saya nikahkan kamu dengan Raisa Almira binti Muhammad Ikbal almarhum yang diwakilkan kepada saya sebagai wali dengan Mas kawin seperangkat alat salat, uang tunai sepuluh juta dibayar tunai.""Saya terima nik
Suatu pagi Bunda menemuiku di balkon, aku yang baru saja selesai memandikan Nayla lalu menggendongnya dan membiarkan bayiku sedikit terkena matahari agar tubuhnya tidak menguning. Lagi pula sinar matahari hangat dan mengandung vitamin D jadi itu akan baik untuk perkembangan dan pertumbuhannya."Apa kabar sayang?" bunda datang dan mencium bayiku."Baik Bunda," jawabku."Aku senang kalian terlihat sehat dan ceria. Oh ya, belakangan pipimu jadi lebih tirus ya ....""Mungkin karena rutinitas baru menjaga bayi yang membuat berat badan saya menurun," balasku tergelak."Tapi meski sedikit kurus kau tetap cantik. Btw, bagaimana kabar Haris, sudah tiga hari dia tidak datang.""Ada acara Bund, semacam pelatihan dan pertemuan.""Tapi dia baik baik aja kan?""Tentu, Alhamdulillah."Bunda menggumam dan tersenyum penuh arti, dia menatapku dan bayiku bergantian lalu berkata,"Mungkin ini sudah saatnya untuk berbahagia dan lepas dari semua masa lalu yang telah menyakiti dirimu anakku."“Iya, semoga
"Saya dengar begitu sedih perasaan Raisa memikirkan nasibnya, hati saya terenyuh dan pedih sekali membayangkan semua itu. Karenanya saya semakin yakin untuk menjadikan dia istri karena saya tahu dia adalah wanita yang baik dan penuh dengan kesabaran.""Bagaimana kalau aku menolakmu, panjang sekali kau ingin menjadi ayah anakku!" "Aku tahu kau marah kamu maafkan Aku tapi aku tidak bisa membendung perasaanku, aku prihatin dan ingin....""Cukup! jangan campur adukkan perasaan kasihanmu itu dengan empati, lalu kau berusaha untuk menikahiku. itu sama sekali bukanlah cinta dan kau tidak akan berhasil menjalani rumah tangga tanpa cinta.""Aku belajar darimu tentang kenaifan karena begitu tulusnya mencintai seseorang, aku lebih memilih untuk bersamamu karena sudah tahu latar belakang dan bagaimana perjalanan hidupmu, tolong bantu aku mendapatkan keyakinanmu, Raisa.""Nak ...." Bunda seakan memberi isyarat agar aku memberi kesempatan kepada haris untuk menunjukkan perasaan dia yang sebenarnya
"Cantik sekali putrimu, Raisa," ujar Mbak Aira."Terima kasih Mbak, Alhamdulillah.""Apakah kau mengalami kesulitan selama hamil?" tanyanya."Kalau masalah yang lain tidak satu-satunya kesulitan yang saya hadapi hanya berasal dari kalian berdua," balasku.Mendengar aku menjawab seperti itu mas Tama segera mahalan nafas dan memberi isyarat agar aku tidak terus mencari gara-gara tapi karena kepanasan sudah benci dan sakit hati aku tidak mampu membendung sikap sinis dan kekecewaanku. Mestinya aku bersikap dewasa dalam situasi seperti ini, terlebih mereka datang dengan niat baik, tapi diri ini seakan tidak mampu menyembunyikan gejolak sakit hati yang tiba-tiba meronta.Tadinya aku ingin terus bersikap tenang dan sabar tapi lama-kelamaan sepertinya aku tidak akan punya kesempatan untuk membalas perbuatan mereka kalau tidak hari ini."Ini kan mau main yang baik ya sebaiknya kita tidak usah berdebat dalam keadaan seperti ini, Aku ingin kita fokus untuk menyambut kedatangan bayi dengan rasa s
Sampainya di rumah sakit aku segera mendaftar dan diantar langsung ke ruang bersalin oleh beberapa perawat. Aku diminta untuk berganti pakaian dan langsung memeriksa bukaan di meja pemeriksaan."Bukaan tiga Buk, bisa jalan-jalan dulu, kan waktu sambil menunggu bukaan kami akan memeriksa kelanjutannya nanti.""Terima kasih," jawabku pada Bidan pemeriksa."Eh tapi rencananya lahiran normal kan?""Insya Allah," jawabku."Bagus, karena posisi anaknya juga baik jadi melahirkan secara normal saja.""Terima kasih ibu bidan," jawabku sambil tersenyum ramah, wanita itu mengangguk dan tersenyum lebar lalu meninggalkanku yang masih terguling di ranjang rumah sakit.*"Bagaimana Nak?""Masih bukaan tiga.""Oh masih tujuh jam lagi," balas Bunda."Semoga lancar," desahku."Semoga dengan kelahiran bayi ini membawa berkah dan kebahagiaan dalam hidupmu, tuntas sudah masalah perceraian dan kau bisa melanjutkan segalanya dengan lega.""Alhamdulillah."*"Surprise!"Aku aku terkejut saat beberapa sahaba
Mendengar pengusiran dari ayah tiriku tentu saja Mas Tama langsung diam saja. Dia berdiri membeku tapi tidak melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari rumah ini. Mas Tama menatapku dan orang tuaku secara bergantian.Aku sendiri entah apa reaksiku, meski sudah dibohongi dan diceraikan dengan cara demikian aku sama sekali tidak merasa sedih atau terluka. Mungkin karena perasaan di dalam hatiku sudah mati, jadi apapun yang akan Mas tamalakukan tidak ada bedanya di mataku. Dia mau mempertahankanku atau meninggalkanku semuanya tidak ada bedanya karena tetap saja aku akan merasa kesepian dan sendiri. Dia akan tetap sibuk dengan mbak Aira dan anak-anaknya sementara aku tetap akan jatuh dalam kesendirian."Terima kasih atas kebijaksanaan dan keputusanmu Mas aku sangat terharu sekali dan bahagia karena akhirnya hubungan kita akan selesai dan prahara di antara kita selesai juga.""Aku mengambil keputusan ini dengan perasaan yang amat sedih dan sesungguhnya aku sangat berat melepaskanmu Rais