Seharusnya, begitu mobil melaju meninggalkan tempat itu, Vania bisa bernapas lega. Tapi yang datang justru rasa gelisah dan kekhawatiran yang dalam.
Baru sekarang ia benar-benar menyadari bahwa pria di sampingnya ini bukan orang sembarangan. Mobil mewah, setelan jas buatan desainer ternama, jam tangan limited edition, dan yang paling mencolok adalah sikap nyonya-nyonya konglomerat tadi. Mereka membungkuk, bukan hanya sekadar hormat, melainkan takut. Seolah-olah mereka telah melakukan kesalahan fatal di hadapan seseorang yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Sekarang, apakah dia baru saja lolos dari kejaran Kucing betina dan masuk ke kandang Singa jantan? Vania menelan ludah, jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. Tidak mungkin rasanya jika pria itu membantunya tanpa imbalan, bukan? Apalagi sebelumnya Kalan terlihat mencurigakan saat menghubungi seseorang. "Ehm!" Vania berdehem pelan, mencoba mencuri perhatian Kalan yang sejak tadi fokus menatap Tablet di tangannya. Pria itu tidak menjawab, hanya helaan napas yang terdengar. "Maaf, Tuan, kalau boleh tahu kita mau ke mana?" tanyanya hati-hati. Mobil mewah yang dinaikinya melaju cepat, seakan mereka tidak akan berhenti di jarak yang dekat. "Menikah.” “Apa?” Vania tersedak air liurnya sendiri. “Me-menikah?” Kalan menoleh sekilas, lalu kembali melanjutkan aktivitasnya. “Dan jadi ibu susu untuk putraku,” lanjutnya dengan raut datar. Ucapannya tadi seperti bukan hal yang besar. “APA?!” Sekali lagi, Vania tersentak. Kedua matanya membesar, dadanya naik turun. Mulutnya tiba-tiba terasa kaku, sulit untuk mengucapkan yang ada di pikirannya saat ini. Ini terlalu tiba-tiba, otaknya bahkan terkejut saat disuruh berpikir. Pria yang baru ditemuinya itu mengajaknya menikah, dan apa tadi? Menjadi ibu susu? Vania otomatis menyilangkan dadanya. "Tuan, Anda serius?" tanya Bimo, sopir pribadi Kalan. Dia juga sama terkejutnya dengan Vania. Biasanya, bosnya itu tidak secepat ini mengambil keputusan. Dalam beberapa hari ini, sudah banyak calon ibu susu yang mereka tolak karena tidak sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Ya, asal-usul calon ibu susu anaknya harus jelas. Tapi, saat melihat spion, Kalan menganggukkan kepalanya, dia pun langsung mengganti arah setir. "Kalau begitu saya akan menghubungi dokter agar bersiap-siap." "Tu-tunggu dulu!" seru Vania, panik. Dia belum mengatakan apa pun, bahkan belum sempat berpikir jauh, tapi mereka sudah membuat kesepakatan sendiri. "Aku belum bilang setuju atau tidak." Kalan menggeser sedikit tatapannya dari tablet ke arah Vania. "Kau tidak perlu setuju. Ini bukan pilihan." *** Kalan benar. Vania tidak punya pilihan selain mengikuti kemauannya--menikah kontrak untuk menjadi ibu susu anaknya. 2 miliar dalam sekejap, siapa yang sanggup memberikannya kalau bukan pria itu. "Hasil tesnya bagus, Nona Vania. Tuan Kalan pasti menerimamu. Selamat." Vania mengusap wajahnya, kali ini dia benar-benar masuk ke dalam kandang Singa jantan. "Terima kasih, Dokter." Setelah melakukan prosedur cek kesehatan di salah satu rumah sakit miliknya, Kalan membawa Vania ke suatu tempat untuk mendaftarkan pernikahan mereka. "Aku hanya membutuhkan isi dadamu, tidak lebih dari itu. Jadi, jangan berharap lebih!” kata Kalan sesaat setelah mereka selesai menandatangani surat nikah. "Kontrak akan berakhir jika istriku sudah pulih!" ucapnya lagi sambil meletakkan sebuah dokumen di meja. Suaranya berat, dingin. Tanpa menunggu reaksi dari Vania, ia berbalik dan melangkah pergi. Sementara Vania tidak bergerak dari posisinya, matanya terpaku pada dokumen kontrak itu. Ia meringis, menertawakan dirinya sendiri. Hidupnya memang tak pernah berjalan sesuai harapan. Pernikahannya dengan Marvin dulu bukan karena cinta, melainkan jebakan. Saat di acara perayaan ulang tahun putri konglomerat yang diadakan di tempatnya bekerja, dia dijebak seseorang dengan minuman sehingga berakhir di ranjang bersama pria asing. Dan ketika mengetahui bahwa dirinya hamil, Marvin muncul secara tiba-tiba mengklaim anak itu seolah-olah miliknya. Ia percaya, atau lebih tepatnya… terpaksa percaya. Dan sekarang, ia menikah kontrak dengan pria yang baru dia temui beberapa jam yang lalu. Saat Vania tenggelam dalam pikirannya, dari kejauhan, Kalan diam-diam memperhatikan Vania. Ada sesuatu pada wanita itu yang mengganggu pikirannya. Entah itu apa. Tapi setiap kali mata mereka bertemu, dia merasakan sesuatu di hatinya. Seperti debaran yang sudah terkubur lama dan muncul kembali. "Kau mengkhawatirkannya?" Seseorang tiba-tiba datang, menepuk pundak Kalan. Dia adalah Bendri Nugraha, teman baik sekaligus orang kepercayaan Kalan. Ben langsung terbang ketika Kalan mengatakan bahwa ia sudah mendapatkan calon ibu susu untuk putranya. "Diana pasti mengerti. Kau melakukan ini untuk kebaikan anak kalian." Putra sahabatnya itu tidak mau meminum susu formula. Jadi, sejak Kalan memutuskan mencari ibu susu untuk anaknya, Kalan menjadi sering mengkhawatirkan istrinya. Lebih tepatnya dia merasa bersalah karena harus menikah dengan wanita lain di saat istrinya sedang koma. "Kalau kau mau aku akan membantumu menjelaskan semuanya." Ben memperkuat rangkulannya. Kalan hanya tersenyum tipis, lalu masuk ke dalam mobil. Sementara Ben langsung menghampiri Vania. Ben menyipitkan matanya. Dia menatap Vania dari atas sampai bawah. Bibirnya meringis saat melihat penampilan wanita itu. Seksi dan acak-acakan. Ben bertanya-tanya, di mana Kalan menemukan Vania seperti Vania ini, dan apa yang wanita itu miliki sehingga membuat Kalan yang pemilih menjadi luluh. "Hanya menjadi ibu susu kenapa harus menikah?" ujar Ben, menebak isi pikiran Vania. Vania yang tidak menyadari kehadiran Ben pun terkejut, tapi dia segera mengangguk. Meskipun bukan itu yang membuatnya bengong, tapi dia juga penasaran tentang yang satu itu. "Kalan tidak mau anaknya terhubung dengan seseorang tanpa ikatan. Hanya itu saja." Vania mengangguk sambil mencerna. Dia memang bukan ibu kandung, tapi setidaknya dia istri papanya. Begitu, bukan? Vania mengerutkan alisnya, saat akan bertanya, Ben terlebih dahulu memperkenalkan diri. "Aku Benri. Panggil saja Ben. Aku teman sekaligus orang kepercayaan Kalan. Kedepannya kita akan lebih sering berurusan." "Iya, salam kenal Tuan Ben." Ben tertawa. "Hanya pria yang di dalam mobil itu yang pantas kamu panggil Tuan." Vania tidak mengatakan apa pun, hanya tersenyum lalu kembali menunduk. “Baca dan pahami seluruh poin-poin yang ada di dalam perjanjian itu." Ben menunjuk dokumen yang ada di tangan Vania. "Ingat, jangan pernah mengecewakan Kalan. Dia bukan tipe yang memberi kesempatan kedua,” sambung Ben, dan Vania mengangguk dengan cepat. Sesampainya di kediaman Kalan Namora. Vania menatap takjub ke arah bangunan megah di depannya, yang nyaris membuatnya lupa bernapas. Gerbang besi terbuka secara perlahan, memperlihatkan taman yang luas, sehingga mereka membutuhkan waktu lama untuk sampai ke pintu utama. “Jangan pernah berpikir kalau kau adalah nyonya di rumah ini.” Senyum yang sempat terukir di wajah Vania seketika memudar. Namun ia menatap pria itu dengan tenang. “Tenang saja, Tuan, saya cukup tahu diri. Bahkan lebih dari yang Anda pikirkan," jawabnya pelan tapi mantap. "Aku istrimu tapi bukan istrimu." Kalan tidak mengatakan apa pun, sementara Ben--yang berada di kursi depan--tersenyum tipis. “Aah!" Vania tiba-tiba menjerit, dia memegangi dadanya. Kalan dan Ben baru saja akan khawatir tapi wanita itu tiba-tiba terkekeh. "Aku baik-baik saja kok, Tuan. Hal seperti ini sudah biasa, dua atau tiga jam sekali." Vania langsung menjelaskan sebelum Kalan salah paham, mengiranya memiliki penyakit bawaan yang tidak terdeteksi oleh pihak medis. Tapi penjelasan itu saja tidak cukup. Melihat Vania terus memegangi dadanya, terutama ketika mobil sedikit berguncang, kekhawatiran Kalan semakin bertambah. “Buka bajumu!” perintah Kalan. Saat ini dia duduk saling berhadapan dengan Vania. Spontan Vania langsung membeku. “Bu,-buka baju? Untuk apa, Tuan?” “Dadamu sudah menjadi milikku, jadi aku perlu tahu apa yang terjadi. Aku tidak mau kau menularkan penyakit aneh pada putraku." Vania menaikkan alisnya, lalu tertawa kecil. “Sungguh, ini tidak ada kaitannya dengan penyakit. Kata orang-orang, jika dia bengkak dan perih itu tandanya bayinya sedang menangis kehausan.” Vania merasa lega karena berhasil membuat Kalan percaya, tapi hatinya mendadak berdenyut saat teringat akan bayinya. "Kamu di mana, Sayang," ucap Vania dalam hati, mata yang menatap kagum bangunan megah itu kini berubah sendu. Dia menundukkan kepalanya, menyembunyikan rasa sedih dari pria dingin di sampingnya. “Tuan!" Teriakan itu membuat kepala Vania langsung terangkat. Kalan yang sedang mengawasi Vania dengan tatapannya pun ikut tersentak."Saya sudah mengirim informasi tentang wanita itu. Anda bisa memeriksanya, Tuan."Tanpa banyak bicara, Kalan membuka file yang baru saja masuk dari informannya. Jemarinya menyapu layar tablet, membuka satu per satu data yang terlampir.Biodata singkat, pekerjaan, riwayat pendidikan, hingga beberapa foto lama--yang terlihat seperti foto yang difoto ulang.Kalan menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menarik napas dan mengembuskannya pelan.“Sama sekali tidak ada yang spesial dari wanita ini,” gumam Kalan sambil menutup file dalam satu ketukan. “Tapi kenapa rasanya aku pernah dekat dengannya?”Jujur saja, saat melihat Vania menerobos lampu merah Kalan langsung tersentak. Bukan karena khawatir wanita itu akan celaka, melainkan karena dia seperti melihat seseorang yang pernah ia temui jauh sebelumnya.Begitu Vania masuk dan duduk di pangkuannya, darahnya langsung berdesir. Benjolan halus dan bulu-bulu di tubuhnya berdiri. Bahkan detak jantung terasa berbeda dari biasanya.Tak mengejutk
"Dari awal aku nggak setuju kamu menikahi perempuan nggak jelas itu, Kalan. Lihat, pada akhirnya dia sama sekali nggak berguna!" Seorang wanita paruh baya tapi masih terlihat sangat cantik dan modis, tidak berhenti mengomel dan melayangkan tatapan tajam ke arah Kalan. Namun sayangnya, Kalan tidak menggubris sedikit pun. Sejak tadi pria itu fokus menenangkan bayi yang ada di gendongannya. Wanita itu mendengkus, kesal, karena merasa diabaikan. "Ceraikan dia secepatnya!" ucap wanita itu. Dia mengambil dokumen dari dalam tasnya lalu diletakkan atas meja. Kalan hanya melirik sekilas dan kembali mengabaikan wanita itu. Menenangkan Lowel sambil mengurus pekerjaan sudah cukup melelahkan baginya, dia tidak mau hal yang tidak penting ikut menguras pikiran dan energinya. "Kalan kamu--" Kata-kata wanita itu terhenti hanya karena mendengar helaan napas Kalan yang kasar. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat sebagai pelampiasan kekesalannya, karena sedikit pun Kalan tidak mau mendengarkanny
Bab 5. “Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk
Bab 4. Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada
Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan
Seharusnya, begitu mobil melaju meninggalkan tempat itu, Vania bisa bernapas lega. Tapi yang datang justru rasa gelisah dan kekhawatiran yang dalam. Baru sekarang ia benar-benar menyadari bahwa pria di sampingnya ini bukan orang sembarangan. Mobil mewah, setelan jas buatan desainer ternama, jam tangan limited edition, dan yang paling mencolok adalah sikap nyonya-nyonya konglomerat tadi. Mereka membungkuk, bukan hanya sekadar hormat, melainkan takut. Seolah-olah mereka telah melakukan kesalahan fatal di hadapan seseorang yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Sekarang, apakah dia baru saja lolos dari kejaran Kucing betina dan masuk ke kandang Singa jantan? Vania menelan ludah, jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. Tidak mungkin rasanya jika pria itu membantunya tanpa imbalan, bukan? Apalagi sebelumnya Kalan terlihat mencurigakan saat menghubungi seseorang. "Ehm!" Vania berdehem pelan, mencoba mencuri perhatian Kalan yang sejak tadi fokus menatap Tablet di tangannya. Pr