Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang.
“Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan apa pun, tapi tatapannya sangat tajam dan menyala, menunjukkan bahwa dia benar-benar marah. Menyadari apa yang salah, Sinta langsung membawa Vania ke sebuah kamar yang letaknya tidak jauh dari kamar utama. “Begini, Vania....” Sinta berbicara hati-hati ketika mereka sudah memasuki kamar. “Lowel masih sangat kecil, baru tujuh hari. Tuan Kalan itu sangat posesif. Selain aku, tak ada yang boleh menyentuh bayinya. Bahkan neneknya saja tidak boleh!" Vania mengerutkan dahinya, tidak setuju dengan peraturan itu. “Lalu bagaimana aku bisa menyusuinya, Bu? Dipompa? Tapi tuan muda sudah menangis sekencang itu. Kasihan, Bu.” Suaranya menunjukkan kepedulian dan kekesalan secara bersamaan. “Vania....” Sinta menghela napas berat. “Ikuti saja aturan yang ada di rumah ini. Tuan Kalan itu tidak suka dibantah.” Kemudian dia menyerahkan tas yang di dalamnya berisi alat pompa dan beberapa botol susu. "Lakukan apa yang menjadi tugasmu. Selain yang itu jangan pedulikan." Vania menerimanya dengan lesu. Ia duduk, membuka perlengkapan dan sempat melirik ke arah pintu yang dibiarkan sedikit terbuka sebelum mulai memompa ASI-nya. Perasaannya campur aduk saat ini. Tangis Lowel masih terdengar. Tak butuh waktu lama. Empat botol susu telah terisi penuh. Setelah di rasa cukup, cepat-cepat dia menghampiri Sinta dan menyerahkan botol dengan hati-hati. Sinta menerimanya dengan perasaan takjub. “Wah, ASI-mu bagus sekali, Vania. Kental. Aku yakin tuan muda pasti akan menyukainya.” Ia segera melangkah cepat menuju kamar utama—kamar Kalan dan Lowel. “Tuan, ini susunya,” katanya sambil menyerahkan botol susu. “Semoga saja cocok dengan tuan muda.” Lowel berada di gendongan Kalan, tapi dia masih terus saja menangis. Sinta sangat khawatir tapi dia terpaksa keluar dari kamar. Vania berada tidak jauh dari kamar utama jadi dia mendengar suara Lowel dengan jelas. Dadanya terasa sesak saking tidak tahan mendengar tangisan bayi itu. "Kenapa tuan muda masih menangis, Bu? Apa dia tidak suka?” Vania mondar-mandir dengan perasaan gelisah. Wanita paruh baya itu menunduk, lesu. “Sejak lahir, tuan muda memang seperti itu. Tidak mudah tenang. Bisa dibilang dia tidur karena kelelahan menangis. Kasihan sekali. Tuan Kalan juga belum tidur sejak Lowel lahir. Dia bolak-balik mengurus Lowel dan pekerjaannya.” "Seandainya saja--" Kini tangisan Lowel terdengar seperti jeritan. Vania terlihat semakin khawatir. Begitu juga dengan Sinta. "Sudah, biarkan saja. Sebaiknya kamu ikut ibu." Vania mengambil langkah cepat, tapi bukan mengikuti langkah Sinta. “Hei! Mau ke mana kamu?” Sinta berusaha menahan Vania. Tapi sudah terlambat—pintu telah terbuka. Vania berdiri di ambang pintu, matanya menatap sendu ke arah Lowel. "Maaf, Tuan...” Sinta merasa panik, buru-buru menarik Vania dan menutup pintu itu kembali. Tangis Lowel sempat berhenti, tapi hanya beberapa detik saja. Kalan memperhatikan seperti ada yang berbeda, namun ia tidak terlalu memedulikannya. Dia menggendong dan menenangkan bayinya dengan sabar. "Kal, apa tidak sebaiknya kau biarkan wanita itu masuk,” kata Ben. Selain Sinta, Ben juga termasuk salah satu yang boleh masuk ke kamar itu. "Katamu dia kehilangan bayinya, kan? Mungkin saja naluri keibuannya bisa menenangkan Lowel." Kalan tak menjawab. Tapi pikirannya gaduh. Di satu sisi, hatinya setuju. Tapi egonya terlalu keras untuk mengikuti isi hatinya. “Jangan pikirkan yang bukan urusanmu. Sebaiknya kau pulang saja. Besok aku belum bisa masuk kantor. Kirim saja berkas yang perlu kutandatangani.” Ben menghela napasnya, ia bangkit dari kursinya sambil berkata, "jangan terlalu keras, Kal. Kasihan bayimu. Kau juga perlu beristirahat dan menenangkan pikiranmu." Saat di ambang pintu Ben berbalik. Tatapannya tertuju pada Lowel. Diam-diam dia merasakan ada kejanggalan, tapi dia segera menghapus pikiran itu dari kepalanya dan kemudian melanjutkan langkahnya. Kalan tidak memedulikan tingkah aneh temannya itu. Dia sibuk menggendong putranya sambil memberikannya susu. Brak! Pintu tiba-tiba terbuka sangat keras. “Tuan muda bisa saja kehilangan kesadaran karena terlalu lama menangis!” seru Vania. Dia berdiri kokoh di depan pintu. Wajahnya memerah menahan emosi. Sedangkan Sinta tampak membeku, ketakutan. Dia mencoba menarik Vania keluar dari kamar sebelum Kalan marah besar, tapi Vania tetap mengeraskan tubuhnya. Kalan berdiri, menatap Vania tajam. Ia sangat marah dengan kelancangan wanita itu. Tapi, di balik tatapan itu ada rasa penasaran. Ada sesuatu dari Vania yang membuat Lowel diam hanya karena kehadirannya. "Meskipun belum sempat menggendong bayiku, tapi aku tahu bagaimana cara menenangkan bayi,” ujar Vania, kini dia sudah berdiri di hadapan Kalan. Ia menatap Lowel dengan penuh cinta. Dia... seperti sedang melihat bayinya sendiri. “Tuan muda seumuran dengan bayiku,” ucapnya pelan. Tangannya bergerak refleks ingin menyentuh, tapi ditahan lagi oleh Sinta. “Vania, apa-apaan kamu! Jangan membuat masalah. Kamu tidak mau kan dipecat di hari pertamamu?” bisik Sinta. Vania terkesiap. Kata-kata itu seperti tamparan yang sangat keras, yang membuatnya langsung sadar atas apa yang dilakukannya. Dia sudah terlalu larut dalam kerinduan terhadap bayinya, sehingga melupakan semuanya. Peraturan dalam perjanjian.Bab 5. “Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk
Bab 4. Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada
Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan
Seharusnya, begitu mobil melaju meninggalkan tempat itu, Vania bisa bernapas lega. Tapi yang datang justru rasa gelisah dan kekhawatiran yang dalam. Baru sekarang ia benar-benar menyadari bahwa pria di sampingnya ini bukan orang sembarangan. Mobil mewah, setelan jas buatan desainer ternama, jam tangan limited edition, dan yang paling mencolok adalah sikap nyonya-nyonya konglomerat tadi. Mereka membungkuk, bukan hanya sekadar hormat, melainkan takut. Seolah-olah mereka telah melakukan kesalahan fatal di hadapan seseorang yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Sekarang, apakah dia baru saja lolos dari kejaran Kucing betina dan masuk ke kandang Singa jantan? Vania menelan ludah, jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. Tidak mungkin rasanya jika pria itu membantunya tanpa imbalan, bukan? Apalagi sebelumnya Kalan terlihat mencurigakan saat menghubungi seseorang. "Ehm!" Vania berdehem pelan, mencoba mencuri perhatian Kalan yang sejak tadi fokus menatap Tablet di tangannya. Pr
“Tunjukkan wajahmu! Cepat! Biar semua orang tahu wajah pelakor macam kamu!” Suara cempreng wanita itu menggema di tengah kelab malam yang riuh. Beberapa wanita lain– yang menamai diri mereka sebagai tim istri sah–menarik rambut dan baju Vania dengan kasar. Kilatan yang berasal dari kamera mahal nyonya-nyonya konglomerat itu, mencoba menangkap wajah Vania yang tersembunyi di balik lengan. “Ampun, nyonya... Aku bukan Pelakor. Aku—” Vania berusaha menjelaskan apa maksud dan tujuannya bertemu dengan suami wanita itu, namun secara tiba-tiba tubuhnya terhempas ke lantai. "Akh!" erang Vania sambil memegangi perutnya. “Tutup mulutmu!” teriak wanita itu. “Orang rendahan seperti kamu ini tidak pantas bicara!” Rasa sakit dan perih terasa di sekujur tubuh. Semakin Vania menyembunyikan wajahnya, amarah mereka pun semakin meledak. Satu tangannya berusaha melindungi perut dan satu lagi menutupi wajahnya. "Kami viralkan kamu, ya! Semua orang harus tahu kalau kamu itu pelakor!" Para