Bab 4.
Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada. Entah mengapa setiap kali Lowel menangis hatinya terasa perih, dadanya sesak. “Apa karena aku rindu banget sama kamu, Sayang,” bisik Vania. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan, menenangkan rasa sesak di dadanya. “Ssst….” Dada Vania kembali bengkak dan perih. Tidak seperti biasanya, saat ini dia merasa ada yang berbeda. Tubuhnya seperti menggigil seiring dadanya yang semakin membesar dan memadat. “Ouhh….” Vania melihat bajunya kembali basah karena ASI yang terus-menerus menetes. Setelah membersihkan tubuh dan berganti pakaian, Vania mengambil alat pompa dan duduk di sofa yang sudah disediakan di kamarnya. Vania meringis, wajahnya mengerut, menahan sakit saat alat pompa itu menyedot ASInya. “Sakit banget. Nggak kayak biasanya,” gumam Vania. Setelah selesai memompa ASI dan menaruhnya di lemari pendingin, Vania berbaring di ranjang. Biasanya dia akan merasa lega setelah mengeluarkan ASInya, tapi kali ini sungguh berbeda. Dadanya masih saja kencang dan terasa sangat sakit. Suhu tubuhnya pun semakin naik. Vania merasa tubuhnya semakin lemah dan dia memilih untuk tidur. Selama beberapa hari, lebih tepatnya sejak kehilangan bayinya, Vania tidak pernah bisa tidur nyenyak. Dia selalu bermimpi bayinya menangis dan minta gendong. “Kamu di mana, Nak.” Vania terisak dalam tidurnya. Air mata yang bercampur keringat itu berjatuhan sangat deras, sampai membasahi bantal yang dia kenakan. “Mama sangat rindu….” Tragedi pahit satu minggu yang lalu tidak pernah pergi dari ingatannya. Saat itu, saat dia masih di meja operasi, bayinya dinyatakan meninggal karena penyakit langka dan harus dikebumikan saat itu juga. Sampai kapan pun Vania tidak bisa percaya itu. Meskipun belum melihat wajah bayinya, tapi dari tangisan yang didengar saat baru keluar dari dalam perut, dia yakin bahwa bayinya baik-baik saja. Waktu itu Vania meminta suaminya, Marvin, menemaninya untuk menemui dokter dan perawat yang bertugas hari itu. Akan tetapi, Marvin malah menceraikannya saat itu juga. Semua kesalahan dilimpahkan kepada Vania. Dia dianggap tidak becus menjaga bayinya ketika masih di dalam kandungan, sehingga membuat bayinya itu memiliki penyakit langka. Penyakit langka? Penyakit berbahaya seperti apa yang diderita bayinya, sampai-sampai tidak bisa menunggu perutnya selesai dijahit agar dia bisa melihat barang sekejap. Perceraian yang tiba-tiba itu tidak membuat Vania putus asa. Dalam kondisi tubuh yang masih rapuh, jahitan di perutnya yang masih basah, Vania berusaha mencari tahu tentang bayinya. Namun, dokter dan perawat yang dia cari tidak ada di rumah sakit itu. Dokter yang mengoperasinya dan perawat yang menggenggam lembut tangannya, mereka semua resign tanpa alasan. Vania merasa ada yang aneh. Apa yang terjadi padanya seperti sudah direncanakan. Tapi, dia tidak bisa berbuat lebih dari sekadar mencari di rumah sakit. Dia tidak memiliki uang sendiri dan kondisinya pun tidak layak. Koneksi? Jangan ditanya, di dunia yang penuh ini dia merasa sendiri. Beberapa hari berkeliaran, pihak rumah sakit melaporkannya. Dia dianggap mengganggu kenyamanan rumah sakit. Brinith adalah aktris terkenal. Papa dan mamanya merupakan pejabat penting di negara itu, yang sedang dalam masa kampanye untuk periode ke-2. “Punya anak lahir di luar nikah yang hamil di luar nikah, sangat memalukan!” Begitu kalimat yang dilontarkan oleh ibunya. Mereka pun membawa paksa Vania lalu mengurungnya di ruang bawah tanah, karena tidak mau nama baik mereka tercoreng akibat ulah Vania. Apalagi selama ini keberadaan Vania disembunyikan. Yang semua orang tahu hanya Brinith putri satu-satunya dari keluarga pejabat kelas atas itu. Jadi, mana mereka mau kalau seluruh orang di negara itu tahu siapa Vania sebenarnya. “Demam yang dialaminya disebabkan oleh mastitis, yang kemungkinan timbul akibat teknik menyusui yang kurang tepat atau produksi ASI yang berlebihan.” “Kelelahan dan stres juga bisa menjadi salah satu penyebabnya.” “Apa ASI yang dihasilkannya masih bagus?” Melalui sambungan telepon, Kalan sedang berbicara dengan dokter Widya dari rumah sakit miliknya. “Baiklah. Terima kasih banyak, Dokter,” ujar Kalan sebelum mematikan sambungan telepon. Ia mengetuk-ngetuk ujung jarinya di meja sambil menatap Vania yang terbaring lemah, melalui layar komputer. Ponselnya berbunyi. Pesan dari dokter Widya baru saja masuk. Kalan tampak memijat keningnya saat membaca pesan dari dokter itu. *** Vania tersentak karena jeritan seorang bayi yang begitu pas di telinganya. Dia bangkit dari tempat tidurnya, tapi tidak menemukan siapa pun di sana. “Aku bermimpi seperti itu lagi.” Vania mengusap wajahnya yang basah. Tubuh lemasnya dia sandarkan di tempat tidur. Jam menunjukkan pukul 4 subuh. Untuk pertama kalinya dia tidur sampai beberapa jam. Suhu di tubuhnya memang sedikit berkurang, tapi dia masih merasakan seperti gigitan semut di seluruh tubuhnya. “Auhh!” Vania merasa dadanya sangat sakit meski terkena sentuhan ringan. “Kenapa bisa begini” Vania terus meringis. Ia merasa ada tonjolan di bagian dadanya dan itu sangat sakit. Perlahan dia berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Saat dalam perjalanan menuju ke kediaman Kalan, Ben sempat mengingatkan bahwa Vania harus selalu bersih. Terutama ketika akan memberikan ASI. Mungkin saat itu maksud Ben adalah memompa ASInya. Vania memilih air hangat untuk membersihkan diri. Dia merasakan ketidaknyamanan pada dadanya. Sesekali ia terdengar menjerit saat tidak sengaja tersenggol. Vania tentu saja panik atas perubahan yang terjadi padanya. Sebelumnya tidak pernah seperti ini. Tuduhan-tuduhan aneh tentang dirinya pun mulai bermunculan. “Apa aku–”"Saya sudah mengirim informasi tentang wanita itu. Anda bisa memeriksanya, Tuan."Tanpa banyak bicara, Kalan membuka file yang baru saja masuk dari informannya. Jemarinya menyapu layar tablet, membuka satu per satu data yang terlampir.Biodata singkat, pekerjaan, riwayat pendidikan, hingga beberapa foto lama--yang terlihat seperti foto yang difoto ulang.Kalan menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menarik napas dan mengembuskannya pelan.“Sama sekali tidak ada yang spesial dari wanita ini,” gumam Kalan sambil menutup file dalam satu ketukan. “Tapi kenapa rasanya aku pernah dekat dengannya?”Jujur saja, saat melihat Vania menerobos lampu merah Kalan langsung tersentak. Bukan karena khawatir wanita itu akan celaka, melainkan karena dia seperti melihat seseorang yang pernah ia temui jauh sebelumnya.Begitu Vania masuk dan duduk di pangkuannya, darahnya langsung berdesir. Benjolan halus dan bulu-bulu di tubuhnya berdiri. Bahkan detak jantung terasa berbeda dari biasanya.Tak mengejutk
"Dari awal aku nggak setuju kamu menikahi perempuan nggak jelas itu, Kalan. Lihat, pada akhirnya dia sama sekali nggak berguna!" Seorang wanita paruh baya tapi masih terlihat sangat cantik dan modis, tidak berhenti mengomel dan melayangkan tatapan tajam ke arah Kalan. Namun sayangnya, Kalan tidak menggubris sedikit pun. Sejak tadi pria itu fokus menenangkan bayi yang ada di gendongannya. Wanita itu mendengkus, kesal, karena merasa diabaikan. "Ceraikan dia secepatnya!" ucap wanita itu. Dia mengambil dokumen dari dalam tasnya lalu diletakkan atas meja. Kalan hanya melirik sekilas dan kembali mengabaikan wanita itu. Menenangkan Lowel sambil mengurus pekerjaan sudah cukup melelahkan baginya, dia tidak mau hal yang tidak penting ikut menguras pikiran dan energinya. "Kalan kamu--" Kata-kata wanita itu terhenti hanya karena mendengar helaan napas Kalan yang kasar. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat sebagai pelampiasan kekesalannya, karena sedikit pun Kalan tidak mau mendengarkanny
Bab 5. “Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk
Bab 4. Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada
Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan
Seharusnya, begitu mobil melaju meninggalkan tempat itu, Vania bisa bernapas lega. Tapi yang datang justru rasa gelisah dan kekhawatiran yang dalam. Baru sekarang ia benar-benar menyadari bahwa pria di sampingnya ini bukan orang sembarangan. Mobil mewah, setelan jas buatan desainer ternama, jam tangan limited edition, dan yang paling mencolok adalah sikap nyonya-nyonya konglomerat tadi. Mereka membungkuk, bukan hanya sekadar hormat, melainkan takut. Seolah-olah mereka telah melakukan kesalahan fatal di hadapan seseorang yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Sekarang, apakah dia baru saja lolos dari kejaran Kucing betina dan masuk ke kandang Singa jantan? Vania menelan ludah, jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. Tidak mungkin rasanya jika pria itu membantunya tanpa imbalan, bukan? Apalagi sebelumnya Kalan terlihat mencurigakan saat menghubungi seseorang. "Ehm!" Vania berdehem pelan, mencoba mencuri perhatian Kalan yang sejak tadi fokus menatap Tablet di tangannya. Pr