"Berhenti kau, pelakor!" Teriakan itu mengguncang segalanya—dan dalam sekejap, Vania jatuh ke dalam pelukan dingin Kalan Namora, CEO yang kejam namun memesona. Dikhianati oleh keluarga. Ditinggalkan suami. Kehilangan bayi yang baru dilahirkannya. Hidup memaksanya menjadi ibu susu bagi Lowel, putra Kalan. “Aku hanya butuh susumu. Tidak lebih. Kontrak ini berakhir saat istriku sembuh.” Surat kontrak itu jatuh di kakinya seperti tamparan dingin. “Tenang, Tuan. Saya tahu tempat saya.” Tapi tak ada yang menyangka: Lowel si bayi jenius justru menjadi jembatan antara dua hati yang terluka. Kalan mulai terguncang. Vania mulai berharap. Lalu… bagaimana dengan Diana—ibu kandung Lowel yang perlahan sadar dari tidurnya?
View More“Tunjukkan wajahmu! Cepat! Biar semua orang tahu wajah pelakor macam kamu!”
Suara cempreng wanita itu menggema di tengah kelab malam yang riuh. Beberapa wanita lain– yang menamai diri mereka sebagai tim istri sah–menarik rambut dan baju Vania dengan kasar. Kilatan yang berasal dari kamera mahal nyonya-nyonya konglomerat itu, mencoba menangkap wajah Vania yang tersembunyi di balik lengan. “Ampun, nyonya... Aku bukan Pelakor. Aku—” Vania berusaha menjelaskan apa maksud dan tujuannya bertemu dengan suami wanita itu, namun secara tiba-tiba tubuhnya terhempas ke lantai. "Akh!" erang Vania sambil memegangi perutnya. “Tutup mulutmu!” teriak wanita itu. “Orang rendahan seperti kamu ini tidak pantas bicara!” Rasa sakit dan perih terasa di sekujur tubuh. Semakin Vania menyembunyikan wajahnya, amarah mereka pun semakin meledak. Satu tangannya berusaha melindungi perut dan satu lagi menutupi wajahnya. "Kami viralkan kamu, ya! Semua orang harus tahu kalau kamu itu pelakor!" Para nyonya dengan gaya menter itu begitu menggebu-gebu ingin menyorot wajah Vania. Tidak bisa seperti ini. Begitu ada celah, Vania langsung bangkit dan berlari keluar dari kelab malam itu. Satu minggu yang lalu dia baru saja melahirkan. Luka di tubuhnya bahkan belum kering, tapi kini dia harus berlari kencang demi menyelamatkan dirinya. "Mereka nggak boleh menangkapku," bisik Vania. Tidak hanya takut diviralkan, tapi dia juga takut pada kemungkinan yang lebih buruk lagi. Napasnya mulai tak beraturan dan langkahnya semakin mengecil. Kepalanya tiba-tiba pusing dan perih di perutnya semakin bertambah. Sementara itu, nyonya-nyonya konglomerat itu masih mengejarnya sambil terus berteriak. “Berhenti kau Pelakor!” Vania tidak menghiraukan tatapan sinis dan ejekan orang-orang yang ada di sekitar. Dia berbelok ke gang kecil dan meringkuk di balik tumpukan sampah, mencoba menenangkan tubuhnya yang bergetar hebat. “Aku… bukan Pelakor,” bisiknya pada dirinya sendiri. Vania mengepalkan tangannya, kukunya hampir menembus kulit. Napasnya memburu akibat amarah yang tertahan. Tiga jam yang lalu, Brinith mendatanginya. Dia berjanji akan membebaskan Vania dari ruangan pengap itu, asalkan dia mau bertemu dengan pak Rudi—salah satu konglomerat di negara itu. “Tolong aku, kak Vania. Hanya dia yang bisa menyelamatkan karierku.” “Kakak nggak perlu melakukan apa-apa, dia cuma ingin ngobrol sama kakak.” Tapi, kenyataannya, mereka malah menjual Vania kepada pria hidung belang itu. Untung saja, Vania bisa kabur sebelum pria itu memangsanya. Tapi sialnya, dia malah bertemu dengan istri pak Rudi. “Ssst!” Vania meringis, ia merasa dadanya semakin membengkak, berdenyut dan terasa perih. Lagi, ASI-nya merembes, membasahi bajunya yang sudah kusut. Ia mencoba mencari sesuatu yang bisa menutupi bagian dadanya, tapi tiba-tiba ponselnya berbunyi. Di layar ada nama Brinith. Vania buru-buru menggeser ikon hijau di layar, ia berniat memarahi Brinith atas apa yang dilakukannya. Akan tetapi, suara Brinith langsung memenuhi telinganya. “Memangnya se-susah itu kamu memberikan tubuhmu untuk dia nikmati, hanya satu malam saja?!” "Nggak usah sok suci! Sebelumnya kamu juga udah pernah membiarkan tubuhmu dinikmati secara gratis!" Vania tercengang, dia terdiam untuk beberapa detik, lalu, “nggak… Aku nggak mau, Nith! Kamu jangan gila!” Vania menggeleng keras, membayangkannya saja sudah membuat perutnya berguncang. "Hallaaah... mau apalagi yang kamu jaga, Vania? Kak Marvin udah menceraikanmu! Anakmu… juga udah meninggal. ASI-mu sama sekali nggak berguna! Dari pada terbuang apa nggak sebaiknya kamu kasih ke pak Rudi?! Kamu bisa dapat uang!” Vania sangat syok. Ia merasa napasnya berhenti di tenggorokan. Kata-kata itu terasa sangat menyakitkan. Apalagi berasal dari mulut adik kandungnya sendiri. “Ingat, ya, Vania, kau bisa hidup sampai saat ini karena aku!" teriak Brinith. "Balas budi sekarang! Temui pak Rudi di Panama Hotel” Vania tertunduk lemas. Sama sekali tidak bisa berkata-kata. Brinith memang benar. Dulu, kalau bukan karena Brinith, hidupnya di dunia ini hanya sampai di usianya yang ke delapan. Tapi, bukankah dia sudah sering balas budi? Bahkan jika dipikir-pikir, dia tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri. Selama ini dia seperti tangga yang diinjak adiknya untuk mencapai apa yang diinginkan. Vania terkekeh di tengah tangisnya, kemudian mengusap wajahnya kasar. Satu keputusan sudah ia bulatkan. Dia tidak akan kembali! Baik ke rumah orang tuanya maupun menemui pak Rudi. Di balik keputusan itu ada hal yang harus dia pikirkan, secara matang dan keras; bagaimana caranya mendapatkan uang sebanyak 2 miliar dalam waktu dekat. “Itu dia Pelakornya!” Vania tersentak. Bagaimana pun dia tidak boleh tertangkap. Dalam keadaan panik dia berlari ke seberang jalan, menerobos lampu lalu lintas. Bunyi klakson yang keras menjadi musik pengiring setiap langkah kakinya. Sebuah mobil hitam baru saja berhenti di bahu jalan, pintu sedikit terbuka seolah-olah seseorang akan keluar dari sana. Tanpa pikir panjang Vania langsung masuk ke dalam mobil tersebut. “Aakh!” Vania terkejut, ternyata dia berada di pangkuan seorang pria. Tampan, tapi tatapannya sangat tajam dan dingin. “Nona, apa yang sedang Anda lakukan?” Suara sopir itu menyadarkan Vania. Dia buru-buru turun dari pangkuan pria itu dan duduk di sebelahnya. “Maaf, Tuan Kalan, biar aku yang mengusirnya," kata sopir itu kepada pria yang ada di samping Vania, lalu bergegas turun. “Tidak!" Vania langsung panik. "Jangan usir aku. Aku mohon izinkan aku untuk di sini sampai–” “Jangan kabur kau Pelakor!” “Dasar janda gatal! Aku viralkan kamu!” Teriakan itu semakin dekat, membuat Vania semakin panik. Dia memberanikan diri menggenggam tangan pria itu dan kembali memohon. “Tolong selamatkan aku, Tuan… Kalan.” Suaranya lirih, tatapannya memohon belas kasih. “Hei! Apa yang kau lakukan?! Jauhkan tangan kotormu itu dari–”” Pria yang dipanggil Tuan Kalan itu mengangkat jarinya, menyuruh sopirnya untuk diam tanpa mengalihkan pandangannya dari Vania. Dengan tatapan dingin itu dia menelusuri tubuh Vania dari atas sampai ke bawah, lalu berhenti tepat di bagian dada—sesuatu yang ia perhatikan sejak awal. Vania tersadar dan buru-buru menutup dadanya dengan tangan gemetar. “A-aku bukan seperti yang mereka katakan. Ma-maksudku, aku memang janda, tapi bukan Pelakor!” Kalan menaikkan alisnya dan tersenyum sinis. Dia mendekatkan wajahnya, lalu menunjuk bagian dada Vania yang terlibat basah. Spontan Vania langsung menjauhkan tubuhnya. “Aku baru melahirkan, tapi aku kehilangan bayiku. ASI-ku terlalu banyak, jadi... seperti ini.” Vania menjelaskan begitu saja, dengan perasaan canggung. Wajah Kalan tiba-tiba berubah. Bukannya merasa iba, dia justru tersenyum. Tipis, tapi cukup membuat jantung Vania berdebar. Kalan mengambil ponselnya dan menekan tombol panggilan cepat. “Batalkan saja. Aku sudah mendapatkannya.” Vania masih diam, dia terlihat sangat kebingungan. "Mendapatkan apa?" tanyanya dalam hati. Sementara itu, Kalan tidak berhenti menatap Vania dan berbicara di dalam hati. "Wanita ini… di mana aku pernah bertemu dengannya?”Bab 5. “Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk
Bab 4. Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada
Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan
Seharusnya, begitu mobil melaju meninggalkan tempat itu, Vania bisa bernapas lega. Tapi yang datang justru rasa gelisah dan kekhawatiran yang dalam. Baru sekarang ia benar-benar menyadari bahwa pria di sampingnya ini bukan orang sembarangan. Mobil mewah, setelan jas buatan desainer ternama, jam tangan limited edition, dan yang paling mencolok adalah sikap nyonya-nyonya konglomerat tadi. Mereka membungkuk, bukan hanya sekadar hormat, melainkan takut. Seolah-olah mereka telah melakukan kesalahan fatal di hadapan seseorang yang tidak boleh disentuh sedikit pun. Sekarang, apakah dia baru saja lolos dari kejaran Kucing betina dan masuk ke kandang Singa jantan? Vania menelan ludah, jantungnya tidak berhenti berdegup kencang. Tidak mungkin rasanya jika pria itu membantunya tanpa imbalan, bukan? Apalagi sebelumnya Kalan terlihat mencurigakan saat menghubungi seseorang. "Ehm!" Vania berdehem pelan, mencoba mencuri perhatian Kalan yang sejak tadi fokus menatap Tablet di tangannya. Pr
“Tunjukkan wajahmu! Cepat! Biar semua orang tahu wajah pelakor macam kamu!” Suara cempreng wanita itu menggema di tengah kelab malam yang riuh. Beberapa wanita lain– yang menamai diri mereka sebagai tim istri sah–menarik rambut dan baju Vania dengan kasar. Kilatan yang berasal dari kamera mahal nyonya-nyonya konglomerat itu, mencoba menangkap wajah Vania yang tersembunyi di balik lengan. “Ampun, nyonya... Aku bukan Pelakor. Aku—” Vania berusaha menjelaskan apa maksud dan tujuannya bertemu dengan suami wanita itu, namun secara tiba-tiba tubuhnya terhempas ke lantai. "Akh!" erang Vania sambil memegangi perutnya. “Tutup mulutmu!” teriak wanita itu. “Orang rendahan seperti kamu ini tidak pantas bicara!” Rasa sakit dan perih terasa di sekujur tubuh. Semakin Vania menyembunyikan wajahnya, amarah mereka pun semakin meledak. Satu tangannya berusaha melindungi perut dan satu lagi menutupi wajahnya. "Kami viralkan kamu, ya! Semua orang harus tahu kalau kamu itu pelakor!" Para
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments