Bab 5.
“Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk melakukan tindakan pendukung melalui pesan singkat tadi. “Baiklah. Aku akan menyuruh Ben untuk menjemput obatnya,” putus Kalan, akhirnya. “Tapi tetap lakukan penanganan ringan seperti yang aku jelaskan tadi. Itu akan membantu mengurangi nyeri.” Tarikan napas Kalan terdengar jelas di telinga dokter Widya. “Jangan dibiarkan terlalu lama, Kal. Dia pasti merasa kesakitan sekarang. Apalagi saat memompa ASInya.” “Dan kalau kau mau mendengarkan saranku… biarkan Lowel menyusu dengan metode DBF. Itu juga bisa membantu.” Kalan mengerutkan keningnya. “DBF?” “Direct Breastfeeding atau menyusu langsung dari pabriknya!” Setelah sambungan telepon berakhir, dia menghubungi Ben untuk menjemput obat dan mengantarkan ke kediamannya. Secepatnya. Kalan tahu Vania sangat tidak nyaman dengan kondisinya saat ini. Tadi, setelah berjam-jam berusaha, akhirnya Kalan berhasil menenangkan Lowel. Namun, kemarahannya pada Vania masih belum juga reda. Wanita itu sudah lancang masuk ke kamarnya dan hendak mengaturnya. Dengan langkah panjang dan mantap, dia menuju kamar Vania. Bukan Sinta atau Ben, kali ini dia sendiri yang akan memecat pelayannya yang pembangkang itu! Begitu masuk ke kamar, keadaan seketika berubah. Api yang berkobar di hati Kalan perlahan padam saat melihat Vania menekuk tubuhnya yang gemetaran. Wajah cantik itu berubah pucat. Matanya sembab. Keringat membasahi tubuhnya. Sesekali dia merintih kesakitan sambil mengubah-ubah posisi tidurnya. Kalan sadar ketidaknyamanan Vania. Ia melangkah mendekati ranjang, dan kedua matanya tidak sengaja melihat ke arah dada yang membengkak dan menantang, yang berusaha Vania hindari agar tidak tersentuh. Kalan mengerutkan keningnya. Ada yang berbeda. Terlibat besar sebelah, membuat Kalan penasaran. Dia mengulurkan tangannya, hendak menyentuh tapi kembali ditarik. “Kau sudah menikahinya, Kalan. Tidak apa-apa kalau disentuh sedikit.” Begitu isi pikiran Kalan, tapi dia langsung menggelengkan kepala membuang jauh-jauh ide konyol itu. “Hanya untuk memastikan, bukan bermaksud apa-apa.” Pikiran Kalan kembali mempengaruhinya. Kalan mengepalkan tangannya kuat, seakan menolak dengan tegas. Tapi… “Akh!” Vania menjerit begitu ujung telunjuk Kalan mendarat. Hanya disentuh sedikit dan pelan, tapi reaksi Vania bisa sampai seperti itu. Kalan kembali ke kamarnya, bertepatan dengan Lowel menangis. Lalu, menghubungi dokter Widya. *** Meskipun belum tahu bagaimana nasibnya, setelah selesai membersihkan diri, Vania berencana akan menemui Sinta untuk menanyakan tentang perubahan pada dirinya. Wanita itu sudah pernah memiliki anak dan pasti sudah berpengalaman. Sekalian dia akan meminta obat demam kalau boleh. Tapi saat pintu kamar mandi dibuka, Vania dikejutkan oleh kehadiran Kalan yang secara tiba-tiba. Kalan pasti sangat marah, sampai-sampai dia lupa meletakkan Lowel di box-nya. Vania langsung ketakutan. Dia berpikir kedatangan Kalan ke kamar ini pasti ingin memecatnya. Apalagi? Vania berusaha menahan tubuhnya yang gemetaran, akibat demam bercampur takut, dan berjalan cepat mendekati Kalan. “Maafkan saya, Tuan!” Vania berlutut di hadapan Kalan, dia memegang kedua kaki pria itu dengan erat. “Ja-jangan pecat saya. Saya janji akan mentaati semua peraturan yang ada di rumah ini. Saya mohon Tuan!” “Saya nggak mau kembali… saya… takut mereka akan menangkapku lagi,” rintihnya. Dia begitu putus asa sampai tidak sadar bahwa wajahnya sudah bersandar di kaki pria itu. Selain karena uang 2 miliar untuk pak Rudi, ada alasan lain kenapa Vania setuju menikah dan menjadi ibu susu. Vania berencana akan mencari tahu tentang bayinya, secara diam-diam. Dia berpikir, seketat apa pun bekerja dengan Kalan, pasti akan ada sedikit celah. Vania mendongak, kedua tangannya tetap memegang erat kaki Kalan. Dengan mata basah dan isak tangisnya, Vania berusaha memohon belas kasih Kalan agar mau mengampuninya. Kali ini saja. Tiba-tiba pintu terbuka. Ben dan Sinta muncul dari balik pintu itu. Mereka mematung saking terkejutnya melihat posisi Vania dan Kalan yang… intim. Ya, terlihat seperti itu karena posisi Kalan yang membelakangi mereka dengan Vania yang berlutut dengan kedua tangan memegang lutut. “Ouh. Maaf!” Ben tersadar lebih dulu. Dia jalan perlahan dengan tatapan tidak bergeser sedikit pun, lalu meletakkan paper bag berisi obat dan alat kompres itu di sofa. Kemudian menarik Sinta keluar dari kamar. “Apa yang terjadi, Pak?” tanya Sinta, ragu-ragu. Ben hanya mengangkat bahunya sambil menarik Sinta menjauh. Vania merasa mereka telah salah paham. Dia pun berdiri dengan cepat, ingin menjelaskan yang sebenarnya terjadi. Namun, tangannya tidak sengaja menyenggol dadanya yang bengkak. Vania menjerit kesakitan sampai kehilangan keseimbangan tubuhnya. Sementara Kalan dengan refleks menangkap Vania dengan satu tangannya, sedangkan tangan satunya lagi tetap menggendong Lowel. Namun sayang… bukan tangan Vania yang ia tangkap, melainkan tali jubah mandi milik Vania. Jubah itu terbuka setengah sehingga menampakkan sebagian tubuh Vania. Sempat mematung beberapa detik, Vania akhirnya sadar dan langsung mendekap tubuhnya. Mulut Kalan tidak terbuka sedikitpun, tapi sorot mata tajamnya tetap tertuju pada Vania. Dia memperhatikan bagaimana wanita itu mengerang pelan sambil menggigit bibirnya. “Apa sesakit itu?” tanyanya dalam hati. Mungkin terlalu malu, Vania sampai tidak sadar telah mendekap erat bagian tubuhnya yang bengkak dan sakit itu. Beberapa detik suasana menjadi sangat canggung sebelum Kalan akhirnya memutuskan untuk keluar dari kamar. “Menyusu secara langsung?” Kalan menyeringai. “Bisa-bisa mulut calon pewaris keluarga Namora tertular panu!” Gumaman Kalan terdengar samar di telinga Vania. “Panu?” ucapnya. Ia berpikir sejenak kemudian melirik ke arah dadanya. “PANU?!”"Cari dia sampai dapat! Kalau tidak, kalian semua saya pecat!"Suara Kalan menggelegar sampai ke sudut ruangan, membuat semua orang mematung, ketakutan."Sekarang!" Kalan kembali berteriak. Dan dalam hitungan detik ruangan khusus yang ada di perusahaan keamanan swasta itu berubah menjadi pusat kepanikan.Telepon berdering, pesan dikirim dan kendaraan melaju ke segala arah. Mereka semua berpacu pada waktu. Bagaimana tidak? Di kota yang besar dan padat ini, hanya dalam satu jam, Vania harus sudah ditemukan.Sangat mustahil! Tapi tidak seorang pun yang berani gagal. Asap di dapur mereka sedang dipertaruhkan.Kalan sedang berdiri di depan layar yang sangat besar, yang merupakan pusat CCTV. Dia memantau setiap kamera yang menangkap pergerakan Vania."Sial!" Kalan mengumpat saat kamera terakhir, yang ada di sudut gerbang rumahnya, tidak berhasil menangkap ke arah mana Vania pergi."Sepertinya wanita itu sengaja menunggu mobil itu lewat untuk menghindari kamera," ujar pria yang merupakan Di
"Saya sudah mengirim informasi tentang wanita itu. Anda bisa memeriksanya, Tuan."Tanpa banyak bicara, Kalan membuka file yang baru saja masuk dari informannya. Jemarinya menyapu layar tablet, membuka satu per satu data yang terlampir.Biodata singkat, pekerjaan, riwayat pendidikan, hingga beberapa foto lama--yang terlihat seperti foto yang difoto ulang.Kalan menatap layar cukup lama sebelum akhirnya menarik napas dan mengembuskannya pelan.“Sama sekali tidak ada yang spesial dari wanita ini,” gumam Kalan sambil menutup file dalam satu ketukan. “Tapi kenapa rasanya aku pernah dekat dengannya?”Jujur saja, saat melihat Vania menerobos lampu merah Kalan langsung tersentak. Bukan karena khawatir wanita itu akan celaka, melainkan karena dia seperti melihat seseorang yang pernah ia temui jauh sebelumnya.Begitu Vania masuk dan duduk di pangkuannya, darahnya langsung berdesir. Benjolan halus dan bulu-bulu di tubuhnya berdiri. Bahkan detak jantung terasa berbeda dari biasanya.Tak mengejutk
"Dari awal aku nggak setuju kamu menikahi perempuan nggak jelas itu, Kalan. Lihat, pada akhirnya dia sama sekali nggak berguna!" Seorang wanita paruh baya tapi masih terlihat sangat cantik dan modis, tidak berhenti mengomel dan melayangkan tatapan tajam ke arah Kalan. Namun sayangnya, Kalan tidak menggubris sedikit pun. Sejak tadi pria itu fokus menenangkan bayi yang ada di gendongannya. Wanita itu mendengkus, kesal, karena merasa diabaikan. "Ceraikan dia secepatnya!" ucap wanita itu. Dia mengambil dokumen dari dalam tasnya lalu diletakkan atas meja. Kalan hanya melirik sekilas dan kembali mengabaikan wanita itu. Menenangkan Lowel sambil mengurus pekerjaan sudah cukup melelahkan baginya, dia tidak mau hal yang tidak penting ikut menguras pikiran dan energinya. "Kalan kamu--" Kata-kata wanita itu terhenti hanya karena mendengar helaan napas Kalan yang kasar. Dia mengepalkan tangan kuat-kuat sebagai pelampiasan kekesalannya, karena sedikit pun Kalan tidak mau mendengarkanny
Bab 5. “Mengompres dengan air hangat, melakukan pijatan lembut pada payuda– argh!” Kalan membalikkan ponselnya dengan sedikit membanting. Pesan dari dokter Widya itu seketika membuat kepalanya sakit. Sepersekian detik Kalan kembali mengambil ponselnya dan melakukan panggilan suara kepada dokter Widya. “Apa tidak ada cara lain, Dokter?” Suara Kalan langsung memblokir sahutan dari dokter Widya. “Apakah Anda menyuruh saya melakukannya?” jawab dokter itu. “Anda sebagai suaminya apa tidak keberatan–” “Saya sedang serius dokter Widyanto Santoso!” sela Kalan. Suaranya tegas tapi ada kekehan samar yang terselip. Di tempatnya, dokter Widya tertawa. “Tadi saya sudah meresepkan beberapa obat, tapi Anda menolak karena kekhawatiran yang tak beralasan itu.” Kalan menekan ujung keningnya. Tadi dia menolak saat dokter menawarkan obat karena takut obat-obatan itu akan merusak kualitas ASI. Walaupun sudah diberikan penjelasan, tapi dia tetap bersikeras, sehingga dokter Widya menyarankan untuk
Bab 4. Vania terlihat seperti tahanan saat ini, meringkuk di sudut dinding dengan perasaan was-was. Tadi, Kalan tidak mengatakan apa pun, hanya menyuruh Sinta membawanya keluar dari kamar itu. Tapi, mengingat bagaimana raut wajah Kalan, suara berat yang tertahan, Vania tidak yakin kalau pria itu akan memaafkannya. Vania semakin menenggelamkan wajahnya di lutut. Hatinya sungguh tidak tenang. Bagaimana kalau uang 2 miliar itu ditarik kembali? Vania menggelengkan kepalanya, masih membayangkan saja dia sudah takut. Dia tidak mau hal itu terjadi. Rumah ini sudah tempat yang paling tepat untuknya. Tidak ada pak Rudi yang selalu menginginkan tubuhnya, tidak ada nyonya-nyonya yang mengatainya pelakor, serta tidak ada adik dan kedua orang tuanya yang rela menjualnya demi kepentingan mereka sendiri. “Oeee!” Jeritan Lowel kembali terdengar. 10 menit menangis, lalu diam selama 5 menit dan kembali lagi menangis. Begitu seterusnya. Vania memejamkan mata sementara jari-jarinya meremas dada
Kalan buru-buru menggendong putranya. Wajahnya pucat dan napasnya memburu. Tangis bayi itu membuat hatinya pilu. “Ada apa, Lowel sayang? Papa sudah kembali!” ucapnya, menimang bayinya penuh kasih sayang. “Apa yang terjadi?” tanyanya pada Sinta-- wanita paruh baya yang ia percaya untuk menjaga putranya. “Maaf, Tuan, saya juga tidak tahu. Tadi, tuan muda sedang tidur, tapi tiba-tiba saja menangis,” jawab Sinta, suaranya gemetar dan terlihat sangat ketakutan. Tanpa berkata apa-apa Kalan membawa Lowel menuju kamarnya. Tiba-tiba Vania muncul. Tadi, ia langsung berlari setelah berganti pakaian. “Tuan muda pasti haus.” Seperti paham dengan ucapan Vania, tangis bayi itu langsung reda. Kalan dan Sinta saling beradu tatap. Setelah mengatur napas Vania mendekati Kalan. "Saya sudah siap, Tuan," ucapnya sambil mengulurkan tangan, bersiap untuk menerima bayi itu. Tapi, alih-alih menyerahkan putranya, Kalan malah mundur selangkah, membuat Vania tertegun. "A-ada apa?" Kalan tidak mengatakan