Share

Bab 2

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Meletakkan tas di bangku bambu yang sudah usang. Duduk memangku Zizah sembari mengusap rambutnya.

Sebenarnya uang yang selama ini aku titipkan sama Mbak Narti di kemanain? Kenapa bisa tidak dibayarkan. Bahkan dia tidak mengaku kalau aku menitipkan uang RT-nan padanya.

Apa dia pakai uang tersebut? Tapi kenapa tidak bilang.

Mbak Narti bukanlah orang lain, dia masih memiliki hubungan keluarga denganku. Rumah kami pun bersebelahan. Makanya aku percaya menitipkan uang RT-nan yang dibayar setiap bulannya.

Terdengar getaran dari dalam tas yang mengalihkan pikiran. Aku segera mengambil ponsel berwarna hitam dengan karet gelang yang melingkar karena casing belakang memang sudah rusak. Dulu aku membelinya seharga tiga ratus ribu rupiah.

Panggilan masuk dari Mbak Tiwi–kakak iparku yang tinggal di desa sebelah.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Ad …."

"Jemput Simbok! Disuruh bantuin jaga cucunya malah sakit. Bikin repot," terang Mbak Tiwi memotong ucapanku.

Simbok–adalah ibu kandungku yang hampir satu bulan ini tinggal bersama Mas Antok–kakak kandungku dan juga istrinya.

"Si-Simbok sakit, Mbak? Bagaimana keadaannya?"

"Makanya kamu ke sini kalau mau tahu keadaan Simbok. Sekalian diajak pulang."

Tanpa membuang waktu, aku segera menuju rumah Mbak Tiwi yang jaraknya kurang lebih 8 km dengan naik ojek yang biasa mangkal di perempatan desa.

-

Baru ingin mengucap salam ketika sudah sampai. Terdengar suara Mbak Tiwi sedang marah-marah yang membuatku memilih untuk tetap berada di luar menunggu sampai situasi agak tenang.

Perkataan demi perkataan sangat terdengar jelas di telinga. Rasanya sakit, ketika orang tuaku tidak dihormati di rumah ini. Padahal Mas Antok dan Mbak Tiwi sendiri yang meminta simbok tinggal di rumah mereka.

"Ternyata kamu sudah sampai, Sit," tegur Mbak Tiwi yang akhirnya keluar.

"Simbok, mana, Mbak?" tanyaku langsung.

"Tuh, di sana," jawabnya dengan dagu yang diangkat.

Aku pun segera masuk.

Di kamar berukuran kecil, aku melihat simbok sedang rebahan di atas kasur lantai tipis yang pinggirnya ada beberapa tumpuk pakaian milik beliau. Sebuah pemandangan yang membuat hati ini pilu.

"Assalamu'alaikum, Mbok."

"Wa'alaikumsalam," jawab simbok lirih.

Aku mendekati beliau dan duduk di sampingnya. Simbok terlihat sangat pucat. Aku mencoba memegang keningnya.

"Simbok panas sekali, sudah minum obat, Mbok? Apa yang Simbok rasain?" tanyaku.

"Pusing, Sit. Kepala Simbok muter-muter. Tadi sudah dibelikan obat warung sama Antok."

"Padahal Simbok itu ngga ngapa-ngapain di sini, paling habis momong Nizam cuma aku suruh bantuin cuci baju, cuci piring sama bersih-bersih rumah saja. Pekerjaan yang biasa dilakukan simbok selama ini."

"Namanya juga sudah sepuh, Mbak. Wajar kalau kesehatan Simbok naik turun. Apalagi harus mengerjakan tugas seperti yang dikatakan Mbak Tiwi tadi. Selama ini Siti tidak pernah mengizinkan Simbok melakukan pekerjaan itu semua. Sampai Zizah saja Siti ajak kerja. Karena kasihan sama Simbok."

Tangan Simbok memegang tanganku. Beliau sedikit menggelengkan kepala. Aku tahu maksudnya. Simbok pasti menyuruhku untuk diam.

"Maksud kamu, Simbok sakit karena melakukan pekerjaan yang aku suruh? Enak saja kalau nuduh."

Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan Mbak Tiwi. Dari awal menikah dengan Mas Antok, sikapnya memang tidak bersahabat pada kami. Sedangkan Mas Antok sendiri tidak pernah berani ataupun membantah meski apa yang dilakukan istrinya hal salah sekalipun. Itu semua karena Mas Antok merasa numpang di rumah Mbak Tiwi dan juga bekerja di tempat orang tuanya yang memiliki kios beras cukup terkenal di daerah kami.

Mbak Tiwi memang anak orang cukup berada. Dia juga anak perempuan satu-satunya. Setelah menikah, dia tidak mau tinggal di rumah kami dan langsung mengajak Mas Antok pulang ke rumah yang memang sudah disediakan oleh orang tuanya lengkap dengan semua perabotan.

Padahal, meski kami orang tidak punya. Bapak dan simbok sudah memberikan bagian rumah untuk Mas Antok. Rumah tersebut dibagi dari rumah yang aku tinggali saat ini. Mas Antok mendapatkan bagian depan.

"Mbak, boleh minta tolong agar Mas Antok mengantar simbok sampai rumah. Karena tidak mungkin kalau naik ojek dengan keadaan seperti ini.";

"Mas Antok sibuk. Dia mesti kerja untuk mencukupi kebutuhan anak istri. Untung saja orang tuaku punya usaha, semua yang dibutuhkan Mas Antok juga disediakan. Motor, mobil. Makanya aku tidak berani nyuruh dia ninggalin pekerjaannya untuk hal tidak penting."

Keterlaluan sekali Mbak Tiwi. Mengantar simbok yang sedang sakit dia anggap hal tidak penting. Apa dia lupa, siapa yang sudah melahirkan pria yang saat ini menjadi pendampingnya.

"Sit, simbok bisa kok naik ojek."

"Tapi, Mbok. Siti takut kalau tiba-tiba simbok ngga kuat. Kalau Siti jagain di belakang, Zizah bagaimana?"

"Lagian, anakmu itu ngapain ke mana-mana buntut emaknya. Orang susah itu perlu diajari mandiri sejak kecil. Tadi suruh jaga rumah 'kan ngga apa-apa."

Semakin lama berada di rumah Mbak Tiwi, hati ini semakin sakit dibuatnya.

"Sebentar, ya, Mbok. Siti nunggu ojek lewat." Aku segera ke depan untuk menunggu ojek yang biasa lewat.

Hampir lima belas menit menunggu, akhirnya ada tukang ojek lewat.

"Pak," panggilku.

Ojek tersebut langsung berhenti. "Ngojek, Mbak?"

"Iya, Pak. Ada satu ojek lagi tidak?"

"Ada, tapi nunggu sebentar. Dia baru nganter penumpang, tadi papasan di pertigaan."

"Baiklah."

Aku masuk kembali untuk membantu simbok siap-siap. Menata baju dan memasukkan ke dalam tas yang dibawa simbok waktu datang ke sini.

Tin tin

Terdengar suara klakson. Pasti tukang ojeknya sudah menunggu semua. Perlahan aku membantu simbok jalan. Pun dengan Zizah. Tangan kecilnya ikut memegang tangan neneknya sebelah kiri.

"Wi, bilangin sama Antok. Simbok pamit," ucap simbok.

"Ya," jawab Mbak Tiwi singkat.

"Pak, tolong bantu simbok saya naik ke atas, ya."

"Pelan-pelan saja jalannya, Pak," ucapku ketika simbok sudah berada di atas motor dengan tangan yang melingkar pada tukang ojek.

Aku mengawasi simbok dengan naik ojek di belakangnya.

Ternyata ada hikmah dibalik tidak bisa ikut piknik RT. Karena ada sesuatu yang lebih penting. Seandainya tadi aku dan Zizah piknik, bagaimana dengan simbok?

Semua memang tidak ada yang kebetulan.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status