Share

Bab 2

last update Last Updated: 2023-08-25 20:45:48

TIDAK ADA NAMAKU

(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)

Meletakkan tas di bangku bambu yang sudah usang. Duduk memangku Zizah sembari mengusap rambutnya.

Sebenarnya uang yang selama ini aku titipkan sama Mbak Narti di kemanain? Kenapa bisa tidak dibayarkan. Bahkan dia tidak mengaku kalau aku menitipkan uang RT-nan padanya.

Apa dia pakai uang tersebut? Tapi kenapa tidak bilang.

Mbak Narti bukanlah orang lain, dia masih memiliki hubungan keluarga denganku. Rumah kami pun bersebelahan. Makanya aku percaya menitipkan uang RT-nan yang dibayar setiap bulannya.

Terdengar getaran dari dalam tas yang mengalihkan pikiran. Aku segera mengambil ponsel berwarna hitam dengan karet gelang yang melingkar karena casing belakang memang sudah rusak. Dulu aku membelinya seharga tiga ratus ribu rupiah.

Panggilan masuk dari Mbak Tiwi–kakak iparku yang tinggal di desa sebelah.

"Assalamu'alaikum, Mbak. Ad …."

"Jemput Simbok! Disuruh bantuin jaga cucunya malah sakit. Bikin repot," terang Mbak Tiwi memotong ucapanku.

Simbok–adalah ibu kandungku yang hampir satu bulan ini tinggal bersama Mas Antok–kakak kandungku dan juga istrinya.

"Si-Simbok sakit, Mbak? Bagaimana keadaannya?"

"Makanya kamu ke sini kalau mau tahu keadaan Simbok. Sekalian diajak pulang."

Tanpa membuang waktu, aku segera menuju rumah Mbak Tiwi yang jaraknya kurang lebih 8 km dengan naik ojek yang biasa mangkal di perempatan desa.

-

Baru ingin mengucap salam ketika sudah sampai. Terdengar suara Mbak Tiwi sedang marah-marah yang membuatku memilih untuk tetap berada di luar menunggu sampai situasi agak tenang.

Perkataan demi perkataan sangat terdengar jelas di telinga. Rasanya sakit, ketika orang tuaku tidak dihormati di rumah ini. Padahal Mas Antok dan Mbak Tiwi sendiri yang meminta simbok tinggal di rumah mereka.

"Ternyata kamu sudah sampai, Sit," tegur Mbak Tiwi yang akhirnya keluar.

"Simbok, mana, Mbak?" tanyaku langsung.

"Tuh, di sana," jawabnya dengan dagu yang diangkat.

Aku pun segera masuk.

Di kamar berukuran kecil, aku melihat simbok sedang rebahan di atas kasur lantai tipis yang pinggirnya ada beberapa tumpuk pakaian milik beliau. Sebuah pemandangan yang membuat hati ini pilu.

"Assalamu'alaikum, Mbok."

"Wa'alaikumsalam," jawab simbok lirih.

Aku mendekati beliau dan duduk di sampingnya. Simbok terlihat sangat pucat. Aku mencoba memegang keningnya.

"Simbok panas sekali, sudah minum obat, Mbok? Apa yang Simbok rasain?" tanyaku.

"Pusing, Sit. Kepala Simbok muter-muter. Tadi sudah dibelikan obat warung sama Antok."

"Padahal Simbok itu ngga ngapa-ngapain di sini, paling habis momong Nizam cuma aku suruh bantuin cuci baju, cuci piring sama bersih-bersih rumah saja. Pekerjaan yang biasa dilakukan simbok selama ini."

"Namanya juga sudah sepuh, Mbak. Wajar kalau kesehatan Simbok naik turun. Apalagi harus mengerjakan tugas seperti yang dikatakan Mbak Tiwi tadi. Selama ini Siti tidak pernah mengizinkan Simbok melakukan pekerjaan itu semua. Sampai Zizah saja Siti ajak kerja. Karena kasihan sama Simbok."

Tangan Simbok memegang tanganku. Beliau sedikit menggelengkan kepala. Aku tahu maksudnya. Simbok pasti menyuruhku untuk diam.

"Maksud kamu, Simbok sakit karena melakukan pekerjaan yang aku suruh? Enak saja kalau nuduh."

Aku hanya bisa menghela napas panjang mendengar ucapan Mbak Tiwi. Dari awal menikah dengan Mas Antok, sikapnya memang tidak bersahabat pada kami. Sedangkan Mas Antok sendiri tidak pernah berani ataupun membantah meski apa yang dilakukan istrinya hal salah sekalipun. Itu semua karena Mas Antok merasa numpang di rumah Mbak Tiwi dan juga bekerja di tempat orang tuanya yang memiliki kios beras cukup terkenal di daerah kami.

Mbak Tiwi memang anak orang cukup berada. Dia juga anak perempuan satu-satunya. Setelah menikah, dia tidak mau tinggal di rumah kami dan langsung mengajak Mas Antok pulang ke rumah yang memang sudah disediakan oleh orang tuanya lengkap dengan semua perabotan.

Padahal, meski kami orang tidak punya. Bapak dan simbok sudah memberikan bagian rumah untuk Mas Antok. Rumah tersebut dibagi dari rumah yang aku tinggali saat ini. Mas Antok mendapatkan bagian depan.

"Mbak, boleh minta tolong agar Mas Antok mengantar simbok sampai rumah. Karena tidak mungkin kalau naik ojek dengan keadaan seperti ini.";

"Mas Antok sibuk. Dia mesti kerja untuk mencukupi kebutuhan anak istri. Untung saja orang tuaku punya usaha, semua yang dibutuhkan Mas Antok juga disediakan. Motor, mobil. Makanya aku tidak berani nyuruh dia ninggalin pekerjaannya untuk hal tidak penting."

Keterlaluan sekali Mbak Tiwi. Mengantar simbok yang sedang sakit dia anggap hal tidak penting. Apa dia lupa, siapa yang sudah melahirkan pria yang saat ini menjadi pendampingnya.

"Sit, simbok bisa kok naik ojek."

"Tapi, Mbok. Siti takut kalau tiba-tiba simbok ngga kuat. Kalau Siti jagain di belakang, Zizah bagaimana?"

"Lagian, anakmu itu ngapain ke mana-mana buntut emaknya. Orang susah itu perlu diajari mandiri sejak kecil. Tadi suruh jaga rumah 'kan ngga apa-apa."

Semakin lama berada di rumah Mbak Tiwi, hati ini semakin sakit dibuatnya.

"Sebentar, ya, Mbok. Siti nunggu ojek lewat." Aku segera ke depan untuk menunggu ojek yang biasa lewat.

Hampir lima belas menit menunggu, akhirnya ada tukang ojek lewat.

"Pak," panggilku.

Ojek tersebut langsung berhenti. "Ngojek, Mbak?"

"Iya, Pak. Ada satu ojek lagi tidak?"

"Ada, tapi nunggu sebentar. Dia baru nganter penumpang, tadi papasan di pertigaan."

"Baiklah."

Aku masuk kembali untuk membantu simbok siap-siap. Menata baju dan memasukkan ke dalam tas yang dibawa simbok waktu datang ke sini.

Tin tin

Terdengar suara klakson. Pasti tukang ojeknya sudah menunggu semua. Perlahan aku membantu simbok jalan. Pun dengan Zizah. Tangan kecilnya ikut memegang tangan neneknya sebelah kiri.

"Wi, bilangin sama Antok. Simbok pamit," ucap simbok.

"Ya," jawab Mbak Tiwi singkat.

"Pak, tolong bantu simbok saya naik ke atas, ya."

"Pelan-pelan saja jalannya, Pak," ucapku ketika simbok sudah berada di atas motor dengan tangan yang melingkar pada tukang ojek.

Aku mengawasi simbok dengan naik ojek di belakangnya.

Ternyata ada hikmah dibalik tidak bisa ikut piknik RT. Karena ada sesuatu yang lebih penting. Seandainya tadi aku dan Zizah piknik, bagaimana dengan simbok?

Semua memang tidak ada yang kebetulan.

Bersambung

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 25 TAMAT

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Kurang lebih tiga puluh menit perjalanan, kami pun sampai di sebuah masjid yang tak jauh dari tempat resepsi akan digelar. Kami disambut hangat oleh keluarga Pak Baskoro yang ada di luar masjid. Memang aku belum mengenal semua keluarga beliau. Hanya beberapa saja yang aku tahu. Karena Aarav pernah mengajakku. Pak Baskoro dan Aarav sendiri sudah menunggu di dalam beserta penghulu dan beberapa saksi. Pak RT, Bu RT, serta rombongan yang datang tidak lama setelah kami langsung menghampiri. Pun dengan Mbak Dira. Sedangkan perias langsung menuju tempat resepsi. Kami semua sama-sama masuk ke dalam masjid karena ijab qobul sebentar lagi dimulai. Doa serta salam tidak lupa kami ucapkan. Serentak semua orang yang ada di dalam masjid pun menjawab salam dari kami. Aku merasa semua tatapan mengarah padaku yang membuat jantung ini berdegup semakin cepat.Kini aku telah duduk di samping Aarav. Sedikitpun tidak berani menatapnya. Pandangan

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 24

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Kok bisa, ya. Pria seperti Aarav suka sama kamu, Sit. Mana janda pula. Memangnya dia tidak bisa cari perempuan yang sepadan apa." Sepanjang perjalanan pulang dari butik, Mbak Tiwi bicara tanpa henti. Aku sampai merasa tidak enak hati dengan sopir keluarga Pak Baskoro yang mengantar kami. "Jodoh tidak ada yang tahu. Semua rahasia Allah. Harusnya kamu ikut bahagia karena adik iparmu mendapat calon suami yang baik seperti Nak Aarav," jawab simbok."Tapi Tiwi masih tidak habis pikir. Sampai sekarang rasanya tidak percaya kalau Siti mau menikah sama anak orang kaya.""Memangnya kenapa, Mbak? Ada yang salah?" sahutku yang dari tadi sudah berusaha diam. "Aku yang anak juragan beras malah cuma dapet suami ngga punya apa-apa," celetuk Mbak Tiwi membuat Mas Agus yang duduk di depan langsung menoleh ke arah belakang. "Maksud kamu apa bicara seperti itu, Dek?"Mbak Tiwi melengos memalingkan wajah ke arah jalan. Dia tidak menggubris uc

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 23

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)Berusaha memupus rasa takut, bimbang dan kekhawatiran yang selama ini kurasakan. Dengan mengucap Basmallah, aku pun memberi sebuah jawaban.Setelah memohon petunjuk pada Allah. Akhirnya aku memantapkan hati untuk melanjutkan hubungan bersama Aarav ke jenjang yang serius yaitu pernikahan. "Alhamdulillah." terucap rasa syukur dari simbok, Pak Baskoro dan Aarav. Senyum mengembang membingkai bibir mereka."Soal pernikahan ini, Ibu dan kamu tidak perlu khawatir. Saya akan mengurus semuanya," terang Pak Baskoro pada kami.—------------Aku dan simbok datang ke rumah Mas Antok dan Mbak Tiwi untuk memberi kabar. Karena nantinya Mas Antok juga akan menjadi wali'ku–pengganti bapak."Apa, Mbok. Siti mau menikah?""Sudah kuduga, pasti mau menikah siri dengan Agus 'kan," sahut Mbak Tiwi sebelum simbok menjawab."Astaghfirullah, Wi. Jaga ucapan kamu. Adikmu mau menikah dengan anaknya Pak Baskoro–Aarav.""Pak Baskoro? Baskoro … Aarav …," Mas

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 22

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Cuiihh …." Rini mencibirkan bibir ketika bertemu denganku saat berangkat kerja. Hari ini hari pertama aku kembali kerja di tempat Bu Anggit setelah tiga bulan digantikan Rini. Tadi malam beliau menelepon. "Nyosor terus sama suami orang," ucapnya sambil berjalan"Biarin saja, Sit, penyakit hatinya ngga sembuh-sembuh tuh orang."Alhamdulillah, sekarang warga RT 01 beserta Bu RT bersikap sangat baik padaku. Hanya Rini saja yang tidak berubah. Entah apa maunya.Baru juga menarik napas panjang atas sikap Rini. Mas Agus tiba-tiba nongol dan mengikuti langkahku. "Mana mungkin seorang pengusaha kaya membiarkan calon mantunya jalan kaki dan kerja keras menjadi buruh cuci serta jualan cilok. Ini sudah menunjukkan kalau dia hanya omong kosong. Sudahlah, Sit. Mendingan kita memperbaiki hubungan yang pernah hancur. Kita mulai dari awal, membuka lembaran baru dan hidup bahagia bersama Zizah," ucapnya panjang lebar. Sekalipun aku tidak m

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 21

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Tambah apa lagi, Mas? Biar ngga bolak-balik belinya," tanyaku pada Mas Agus yang sehari ini sudah tiga kali datang membeli pecel. Sebenarnya aku merasa kurang nyaman, tapi namanya pembeli harus dilayani sebaik mungkin."Cantik," celetuknya."Apa, Mas?""Kamu sekarang kok semakin cantik, Sit. Berubah drastis. Penampilan kamu juga.""Maaf, ya, Mas. Kalau sudah tidak ada yang dipesan, mending Mas Agus segera pulang.""Kenapa? Sekarang kita 'kan sama-sama single.""Maksud Mas Agus bicara seperti itu apa?""Aku tahu, kamu khawatir 'kan kalau sampai Rini tahu aku di sini.""Bukan khawatir, lebih tepatnya aku malas terseret dalam masalah kalian. Lagipula kamu belum resmi bercerai secara hukum, Mas.""Kalau sudah resmi bercerai secara hukum, apa boleh mendekati kamu lagi?"Semakin ditanggapi, Mas Agus semakin ngelantur bicaranya. "Siti sudah punya calon suami. Jadi jangan ganggu anak Simbok." Lagi-lagi simbok memberitahu hal tersebu

  • TIDAK ADA NAMAKU   Bab 20

    TIDAK ADA NAMAKU(Aku Tidak Terdaftar di Acara Piknik RT)"Apa benar, Sit, kamu penyebab perceraian Rini dengan Agus?" ucap Mbak Tiwi yang datang dan langsung menuduhku."Maksud kamu apa, Wi? Kenapa bilang begitu.""Rini sudah cerita semua sama Tiwi, Mbok. Katanya dia diceraikan Agus gara-gara Siti.""Gara-gara aku kenapa, Mbak? Mereka cerai tidak ada sangkut pautnya dengan Siti, Mbak.""Halah, Rini itu sampai nangis-nangis lho cerita sama aku.""Wi … Wi. Dari dulu sampai sekarang, selalu saja berpikiran tidak baik sama keluarga sendiri." Simbok mengusap dada. "Bilang sama Rini, jangan pernah menuduh Siti seperti itu. Karena Siti sudah memiliki calon suami," terang simbok.Mbak Tiwi tertawa. Entah perkataan simbok mana yang menurutnya lucu. "Mbok, Mbok. Sudah tua jangan suka bohong. Calon suami dari mana."Aku memang belum cerita pada Mas Antok dan Mbak Tiwi soal Pak Baskoro yang melamarku. Menggelengkan kepala ke arah simbok agar tidak meneruskan pembicaraan tersebut. "Biar, Sit.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status