Share

TITISAN
TITISAN
Penulis: Hadijah Izz

Kesurupan

Seperti biasa setiap senja menjelang, keluarga kecil Abdul Hamid selalu menyempatkan waktu untuk bercengkerama. 

Hamid yang merupakan seorang guru PNS di sekolah dasar, sangat menjunjung tinggi kerukunan dalam kehidupan rumah tangganya. Pria berusia tiga puluh tujuh tahun itu memiliki karakter yang tegas tetapi humoris.

“Gimana sekolahmu, Sal? Enak, jadi siswa SMP?” tanya Hamid pada Faisal, anak tunggalnya.

“Lumayan, Yah,” jawab anak lelaki yang baru duduk di kelas tujuh itu. Ia berperawakan kurus, kulitnya putih seperti sang ibu. Sedangkan hidung mancung ia dapat dari ayahnya.

“Gak terasa, ya, anak ibu sekarang udah bujang,” ujar Jamilah yang tak lain adalah istri Hamid dan Ibu dari Faisal. Perempuan cantik dengan postur tubuh semampai yang dulunya seorang kembang desa.

Dengan lincah jemari lentik Jamilah menata tiga cangkir teh manis hangat dan sepiring pisang goreng di atas meja. 

“Betul, Bu. Ah ... Ayah jadi ingat betapa serunya masa-masa remaja dulu,” sahut Hamid sambil tersenyum. Matanya menerawang ke langit-langit ruang tamu.

“Maksud Ayah, ingat mantan-mantan pacar waktu di SMP? iya?” seru Jamilah dengan tatapan tajam.

“Eh, si Ibu. Itu kan dulu, Bu. Kalau sekarang, cuma Neng Milah yang bertahta di hati Ayah.” Hamid mengedipkan mata genit dan mencolek dagu sang istri. 

Jamilah yang mendapat gombalan pun tersipu, seketika hatinya meleleh bagai cokelat yang dipanaskan.

Faisal hanya memutar kedua bola mata, malas menyaksikan ke-alay-an kedua orang tuanya. 

Ia pun melahap pisang goreng lantas menyalakan televisi. “Dasar, tua-tua puber!”

Sebenarnya Faisal senang melihat keharmonisan keluarganya. Hanya saja, terkadang  ia merasa risih dengan kelakuan orang tuanya yang berlebihan seperti saat ini. Saling menggombal bagai dua sejoli yang tengah dilanda kasmaran. 

“Faisal ...!” teriak seseorang dari halaman.

“Sepertinya itu suara Asep, Sal, coba kamu lihat.” Mendengar titah sang ibu, Faisal pun bangkit dan bergegas keluar rumah.

“Lho, Sep, kamu mau ke mana pakai baju Koko?”

“Ngaji, Sal, ayo!”

“Bukannya hari ini libur, ya?”

“Tadi pagi aku ketemu Abah Salim, katanya tidak jadi libur karena acara beliau dibatalkan.”

“Oh, begitu. Ya udah, tunggu sebentar aku ganti baju dulu.”

“Woke.”

Faisal dan Asep bersahabat sejak kecil. Bahkan mereka sudah dekat sejak di taman kanak-kanak, hingga kini duduk di bangku sekolah menengah pertama. 

Asep adalah teman yang setia dan dapat diandalkan, ia selalu ada saat dibutuhkan. Termasuk ketika Faisal pernah hilang pada usia lima tahun, Asep lah yang berhasil menemukannya, tengah berjongkok sambil menangis di antara rumpun bambu, sesaat sebelum matahari terbenam.

Setelah berganti pakaian, Faisal dan Asep menapaki jalanan kampung yang masih sangat asri. Jarak rumah warga antara satu dan lainnya cukup berjauhan. Kebanyakan halamannya masih tanah yang ditanami pohon buah atau bunga beraneka warna, membuat segar mata memandang. 

“Assalamualaikum,” ucap kedua bocah lelaki yang warna kulitnya sangat kontras itu, saat masuk ke sebuah surau sederhana. Penduduk setempat menyebutnya langgar.

“Waalaikumussalam,” jawab seorang pria sepuh yang tengah duduk bersila di dalam langgar.

Faisal dan Asep gegas menghampiri sang guru mengaji, lalu mencium punggung tangannya dengan takzim. Kemudian mereka ikut duduk bersila di samping orang yang umurnya lebih dari setengah abad itu. 

Meski tak lagi muda, guru mengaji yang bernama Abah Salim itu masih sangat bugar. Tubuh kekar khas petani desa, dengan wajah berahang tegas dan sorot mata tajam, membuat sesiapa merasa segan. 

Namun, ia tetap disayang oleh para muridnya. Karena meski wataknya tegas,de ia sangat ramah dan murah senyum.

“Alhamdulillah. Terima kasih ya, Sep, kamu sudah beritahu teman-teman kalau hari ini tidak jadi libur,” kata Abah Salim sambil mengulum senyum.

“Sama-sama, Bah,” jawab Asep penuh hormat.

“Ya sudah, kalian selawatan dulu saja, sambil menunggu yang lain,” lanjut pria yang rambutnya telah beruban itu.

“Baik, Bah,” jawab Asep dan Faisal kompak. 

Lantunan selawat Badar menggema dari sebuah Toa—speaker corong— yang berada di atas kubah langgar. Alunan penuh rasa damai di waktu senja itu semakin menambah kesyahduan suasana desa. 

Satu per satu anak-anak mulai berdatangan. Tak berselang lama, Abah Salim memberi isyarat dengan tangannya agar selawatan dihentikan, karena sudah masuk waktu Magrib. 

Asep yang sudah langganan menjadi muazin lantas berdiri, ia meraih mikrofon kemudian mengumandangkan azan dengan suara merdunya. Mereka salat berjamaah yang diimami oleh sang guru. 

Setelah selesai salat dan berzikir, para penuntut ilmu itu kembali duduk melingkar, dengan sebuah Al Quran di hadapan masing-masing. 

Abah Salim pun bangkit dari duduk. Namun, baru saja kakinya melangkah, ia dikejutkan dengan kehadiran seorang pria paruh baya yang berhambur ke arahnya dengan wajah panik.

“Bah, ini gawat, Bah!” 

“Ada apa, Maman? Coba kamu tenang dulu,” tanya Abah Salim. 

“Nini Darsih, Bah ....”

“Ada apa dengan Nini Darsih?”

“Nini Darsih ... meninggal dalam keadaan mengenaskan!”

“Nini Darsih ... meninggal dalam keadaan mengenaskan!” kata Maman dengan napas tersengal. 

Anak-anak yang tengah duduk tertib saling pandang satu sama lain, kemudian kembali menatap Maman penuh rasa penasaran. 

“Astaghfirullah. Apa maksud kamu, Man? Kalau bicara yang benar!” ujar Abah Salim. 

“Lebih baik, Abah ikut saya sekarang.” 

Tanpa memedulikan anak didiknya, Abah Salim bergegas memakai sandal kemudian melangkah cepat. Dalam pikirannya saat ini hanya ingin memastikan ucapan Maman. 

Anak-anak yang ikut penasaran, mengekor langkah sang guru agak jauh di belakangnya. Termasuk Faisal dan Asep yang merupakan murid senior. 

Hanya butuh waktu lima menit mereka sudah sampai di tempat kejadian. Ada beberapa warga yang sudah berkerumun di sana. 

Menyadari para muridnya mengikuti, Abah Salim pun berbalik dan menghampiri mereka.  

“Kalian diam di sini, jangan dekat-dekat!” titah sang guru, serentak anak-anak itu mengangguk patuh.

Abah Salim menerobos kerumunan warga dan langsung masuk ke rumah besar peninggalan Belanda itu. Semua orang menutup hidung karena bau tak sedap yang menguar di udara. 

Beberapa detik saja Abah Salim di dalam rumah, kemudian ia keluar sambil menyumpal hidungnya menggunakan sorban.

“Man, tolong kamu kabari pak RT. Bilang padanya agar segera menghubungi polisi,” pinta Abah Salim pada Maman. Gegas Maman melakukan apa yang diperintahkan. 

Nini Darsih adalah seorang nenek tua yang hidup sebatang kara. Ia tinggal sendiri di sebuah rumah besar khas peninggalan zaman Belanda yang masih berdiri kokoh hingga kini. 

Nenek sepuh itu memang jarang bergaul dengan warga lainnya. Sejak kematian sang suami beberapa tahun lalu, ia semakin menutup diri. 

“Bapak-bapak, Ibu-ibu, Pak RT akan melaporkan kejadian ini ke pihak berwajib. Maka dari itu, saya mohon nanti ada yang bersedia untuk menjadi saksi,” ucap Abah Salim. 

“Memangnya kondisi Nini Darsih bagaimana, Bah? Kenapa bisa sampai bau begini?” tanya salah seorang warga. Rupanya, sebelum Abah Salim datang, tidak ada satu pun warga yang berani masuk ke rumah itu karena bau yang sangat busuk. 

“Kalau dilihat dari kondisinya, kemungkinan Nini Darsih sudah wafat sejak beberapa hari yang lalu,” jelas Abah Salim penuh iba. “Oh iya, siapa yang pertama kali menemukan jenazahnya?”

“S-saya, Bah,” ucap seorang wanita dengan suara bergetar. 

“Bagaimana kejadiannya?”

“Sejak kemarin saya tidak melihat Nini Darsih keluar rumah, makanya saya datang ke sini untuk memeriksa, khawatir beliau sakit.” Wanita yang merupakan tetangga paling dekat dengan Nini Darsih itu menjelaskan.

“Lalu, saat saya mengintip dari kaca jendela ....” Wanita itu tidak melanjutkan, kedua tangannya menangkup wajah dan mulai terisak. 

Cukup lama wanita berusia tiga puluhan itu bergeming. Tiba-tiba, isak tangisnya perlahan berubah menjadi kekehan, kemudian dilanjut oleh tawa cekikikan. 

Tubuhnya mulai meliuk-liuk seperti sinden yang sedang menari, seringai aneh ia lukis di bibir yang pucat. Matanya mendelik, memindai setiap orang satu demi satu. Tidak ada yang berani mendekati wanita yang sedang bertingkah aneh itu.  

Gemulai tubuh terus meliuk, seirama dengan alunan kidung yang dinyanyikannya dalam bahasa Sunda dengan suara melengking. Gerakannya terhenti saat matanya beradu pandang dengan seseorang. 

Dengan langkah pelan tetapi pasti, dihampirinya Faisal yang kini berdiri sendirian. Sementara teman-temannya berlarian menjauh karena takut. 

Faisal tak mampu mengelak, pundaknya kini dicengkeram kuat. Ia hanya terpaku, matanya membulat dan bibir yang terkatup rapat. 

Seketika tubuh kurus bocah itu gemetar, untuk sesaat jantungnya seakan berhenti berdetak. 

Si wanita yang tengah kesurupan itu semakin mendekatkan wajah dengan senyum mengembang. 

Setengah berbisik ia berucap, “Maneh, budak kasep. Hayu ngiring sareng Abdi.” (Kamu, anak ganteng. Ayo ikut bersamaku.)

Setelah itu, keduanya pun ambruk dan tak sadarkan diri.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status